Rasa Bersalah

Jumat siang, saat pergi keluar kantor untuk lunch, seorang teman terlihat sedikit cemberut. Biasanya dia ceria tapi kemarin kelihatannya seaperti sedang ada pikiran. Kami pergi bertiga (saya, Syl dan Anm) sama dengan formasi malam sebelumnya. Makan siang di suatu tempat di Grand Indonesia Shopping Town, buru-buru ke Ace Hardware mencari sesuatu yang urgent (karena sudah tertunda seminggu) lalu singgah sekejap di Kempi Deli beli latte for me and cappucino for Syl. Teman saya yang satu itu masih juga belum ceria. Beberapa kali saat ditanya tentang sesuatu misalnya, dia kedapatan melamun. Well, teman saya ini orang yang selalu happy, hatinya lembut dan jarang berprasangka (tapi kau harus cukup dekat untuk bisa kenal dia). Kami suka pergi bertiga, tapi ya kalau memang mood lagi sama-sama enak.

Saat di mobil dalam perjalanan pulang ke kantor, teman saya itu bilang, “Aku pengen pulang cepat, tapi pekerjaan masih menumpuk. Gimana caranya itu ya?” So classic ya. Saya selalu kasih saran yang sama, bawa saja pekerjaan pulang, walaupun membawa pekerjaan pulang ke rumah itu tidak disarankan, tapi buat saya itu membantu. Daripada uring-uringan di kantor sampai maghrib karena pikiran sudah ke anak di rumah, lebih baik pulang tepat waktu dan di rumah kerja sambil mengawasi anak. Hati kita sudah di rumah, itu yang penting. Tapi teman saya itu tak bisa tentu saja. Karena suaminya bekerja di kompetitor perusahaan kami, tentu secara kode etik dan tanggung jawabnya sebagai karyawan, dia harus menjaga rahasia perusahaan sekecil apapun.

Barulah pada saat kami jalan kaki bersisian dari parkiran ke gedung kantor, ketika saya mengeluhkan kalau malam nanti harus ikutan acara karaoke untuk farewell teman yang resign, barulah teman saya itu mengeluarkan unek-uneknya. Saya bilang, saya gak nyaman karena ini berarti dua malam sudah saya pulang telat, dan kepikiran anak di rumah. Tadinya saya minta hubby untuk mengantar Vay ke GI sore itu, maksudnya selama saya acara farewell, Vay bisa main di dekat situ, tapi hubby tidak bisa mengantar. Dan saya jadi tak tenang karena merasa, masa sih dua malam berturut-turut gw senang-senang kayak lupa anak? Nah teman saya itu juga begitu, katanya dia merasa bersalah sama anaknya. Anaknya (6 thn) kemarin malam tanya padanya, “Mami kok pulangnya telat? Masa Mami lebih pentingin pekerjaan Mami sih dari aku? Padahal aku kan cuma sendiri..” Ah…. sedih gak sih dengarnya. Ternyata kami punya masalah yang sama, merasa bersalah kalau meninggalkan anak untuk me time. Dari kami bertiga, memang hanya Syl yang masih single.

Kamis malam, memang kami bertiga hang out ke Grand Indonesia (yeah, GI lagi GI lagi). Sebenarnya siang harinya kami juga sudah ke GI, karena kantor kami launching Ramadhan campaign di sana, dan saat itu kami sekalian cuci mata dong lihat-lihat diskon. Nah karena waktunya mepet, Syl belum puas. Jadi saat kembali ke kantor, Syl mengajak kembali ke GI lagi sorenya. Di Banana Republic ada diskon tambahan 10-20% untuk pembelian di atas 5 pcs. Karena jarang hang out bareng after office hour, saya pikir ah tak apalah sesekali, menemani teman hang out. Bagaimanapun kualitas pertemanan juga harus dijaga kan. Walau hati kecil sebenarnya bertentangan, antara demi teman atau demi anak di rumah. Kami menghabiskan waktu di GI cukup lama, jadi baru bergerak balik ke rumah sekitar jam 9 malam, dan saya tiba di rumah pukul 10 malam mendapati Vay tertidur pulas di sofa. Ah kasihan anakku, sorenya itu waktu saya telepon dia bilang saya akan pulang malam karena mau jalan sama teman-teman, dia menjerit marah. “Mami pulaannngg….!” Uhuk. Dan ternyata 11-12 yah dengan teman saya, Anm yang juga merasa sangat bersalah sama anaknya. Jumat pagi kemarin, untuk menebus kesalahan saya pulang malam, saya sengaja terlambat ke kantor, biar pagi itu bisa bercengkerama sebentar dengan Vay.

 

Tadinya Vay diminta gaya cemberut utk postingan blog, tapi gak mau.. Sukanya gaya imut..

Memang benar sih, me time itu sangat perlu untuk keseimbangan hidup, karena meskipun sudah jadi seorang ibu, seorang wanita tetap perlu waktu untuk dirinya dan juga teman-temannya. Tapi kalau tanya saya, sebisa mungkin saya ingin me time saya adalah me & her time. Kalau bisa bersenang-senang sambil membawa anak, kenapa tidak. Apalagi buat ibu bekerja yang waktunya jadi sangat sedikit untuk anak dan keluarga, me time itu sesuatu yang sangat mahal.

Dan semalam, sehabis pulang berkaraoke acara farewell teman, tiba di rumah lagi-lagi Vay sudah tidur di sofa, saya gendong dia masuk ke kamar sambil saya katakan,”Tenang, Nak. Besok Mami jadi milikmu seharian…”

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

22 thoughts on “Rasa Bersalah

  1. DV

    Hehehehe merasakan hal yang kurang lebih sama dimana waktu untuk memperhatikan keluarga seolah rebutan dengan kesibukan kita ya? 🙂

    Makanya tambah anak, Zee.. ntar kamu kan ambil cuti hamil dan melahirkan so bisa lama2an ama suami, Vay dan.. adiknya hehehehe

  2. Me Time itu memang sangat perlu Zee

    Cuma memang kita perlu pintar-pintar mengatur frekuensi dan durasinya …

    syukur-syukur justru me time nyaman itu ada didekat anak …

    salam saya Zee

  3. ini dilema seorang Ibu yang bekerja… keseimbangan kata kuncinya….. saya juga sering merasa seperti itu, apalagi seorang ibu ya….. semoga bisa membagi waktunya dengan baik ya… salam.

  4. Setiap orang tua rasanya pasti pernah dan mungkin sering mengalami perasaan bersalah terhadap anak seperti ini. Kalau kita tinggalkan demi pekerjaan sih oke, tapi untuk kegiatan pribadi, hmm rasanya gimana ya. Apalagi kalau ketika ditinggal itu dia tidak berada bersama orang ayah/ibunya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *