Sekaratnya Lahan Hijau

Saya paling senang kalau sudah mudik. Setiap kali mudik ke Medan, yang saya rindukan adalah suasana segar dan asri yang ada di sekitar rumah kami di daerah Krakatau. Komplek perumahan kami sebenarnya bukanlah komplek perumahan resmi yang pakai plang di depan jalan masuk dan rumah-rumahnya dibangun pakai jasa pengembang, sebenarnya komplek ini hanya petak-petak tanah yang dibeli oleh masing-masing keluarga yang kemudian dibangun menjadi rumah tinggal yang nyaman. Umumnya rumah di jalan rumah kami ukurannya luas, dengan rumput hijau di depan rumah. Berjalan melewati jalanan kami terasa seperti masuk ke daerah pinggiran kota (memang daerah Krakatau itu termasuk daerah pinggiran kota Medan), masih ada sedikit terasa suasana pedesaan karena di sudut jalan sana masih ada sepetak sawah milik penduduk. Biarpun rumah-rumah di sini besar-besar, tapi modelnya lebih konvensional dan natural. Pokoknya jangan dibandingkan dengan komplek perumahan mewah di kota yang rumahnya model gedong dengan pilar-pilar sebesar batang pohon yang berumur ratusan tahun.

Di halaman rumah kami, tumbuh rumput Jepang yang subur. Yang kalau diinjak, rasanya lembut di telapak kaki. Kemudian ada juga pohon cemara sedang di depan rumah, sebagai pelindung rumah dari panas matahari. Pohon ini adalah pohon kedua setelah pohon yang pertama tumbang karena sudah tua. Di sisi lainnya ada bunga-bunga yang ditanami oleh mami saya.

Inilah salah satu surga dunia untuk saya. Suasana alam, natural, dan serba hijau. Bukan cuma mata yang segar, tapi hati juga jadi fresh. Lihat saja bagaimana anak saya senang sekali setiap mudik. Dia senang berlari-lari di halaman mengejar kucing, atau bahkan berlari-lari di jalan depan mengejar ayam tetangga, karena jalan rumah kami memang sepi kendaraan. Sesekali becak dayung lewat, dan anak saya melongo takjub (alias norak gak pernah lihat becak hahaha..)

Lalu bagaimana dengan kondisi rumah kami di Jakarta? Dengan sangat kecewa saya katakan, di sini jauh sekali dari yang namanya asri. Rumah yang kami tinggali ini, berada di posisi yang tidak enak, dimana jalan depan rumah kami adalah tempat lalu lalang kendaraan termasuk mikrolet. Lalu di seberang jalan, para sopir ojek mangkal dengan motor-motornya, yang kalau pintu pagar terbuka, mata mereka dengan cepat mengintip-intip ke dalam. Di sini bukan hanya kenyang oleh suara berisik dari jalan raya, tapi juga kenyang oleh debu dan polusi. Pertama kali pindah ke Jakarta, saya agak stress juga lho karena tidak betah dengan kondisi yang ada.

Saya rasa, rumah tempat kami tinggal ini bukan tempat yang pas untuk membesarkan anak. Memang, tepat di seberang jalan depan rumah kami, ada taman komplek yang lumayanlah ukurannya untuk bawa anak main di depan. Tinggal berjalan empat langkah saja sudah sampai. Tapi, hayyaaahhh… taman itu sama sekali tidak terawat. Pertama, di sisi kirinya (yaitu depan pagar rumah kami), jadi tempat mangkal tukang ojek. Sofa-sofa butut digeletakkan di situ, termasuk juga kayu-kayu bekas entah untuk apa. Mungkin bekas tukang saat ngecor jalan, tapi biasanya semua kotoran diangkat, termasuk juga ketika kami ada kerja di dalam rumah, kami pakai sebagian space taman, tapi setelah itu semua dibersihkan oleh tukang kami. Tidak boleh ada sisa batu atau semen. Kedua, rumput taman itu tidak rutin dipotong, pernah tinggi rumputnya sampai mencapai setengah betis. Lalu di sisi kanan taman, di ujung sana, rumputnya sudah botak karena sering dipakai untuk main bola oleh pemuda setempat (bayangkan kalau musim hujan tiba, beceknya minta ampun). Lalu di sisi depan, mangkal gerobak tukang gorengan dan tukang bakso. Di taman itu ada beberapa pohon ditanam di sisi sebelah luar, sejenis pohon peneduh juga tapi dari jenis biasa yang saya kurang tahu namanya. Para gerobak jualan mangkal di bawah pohon-pohon itu.

Setiap pulang kantor, saya melihat ada saja ibu-ibu yang membawa anaknya main di taman itu, anaknya lari-lari di tengah taman yang rumputnya tinggi itu, sambil sesekali dikejar untuk disuapin. Saya meremang melihatnya. Soalnya saya pernah sekali bawa anak saya main ke taman (waktu itu taman lagi sepi dan tukang-tukang ojek juga lagi ngacir), dan saat membawa anak saya melintasi taman, aiihhh…. di tengah taman banyak batu-batu kasar. Gila! Ini taman hijau atau taman batu?

suasana taman komplek di depan rumah kami, kotor dan penuh batu

Dan belakangan, ketika malam tiba, entah siapa yang mengizinkan, taman itu berubah fungsi menjadi tempat parkir mobil-mobil sejenis mobil trans milik salah satu penghuni komplek. Hueh. Hebat bener ya. Beberapa bulan sekali juga taman itu dipakai untuk pasar malam dadakan selama seminggu, yang sudah pasti merusak konstruksi si taman. Saya benar-benar kehabisan ide kemana lagi mau bawa anak jalan-jalan sore. Di cluster depan katanya ada taman lain yang lebih bagus, tapi setelah saya lihat sih ya standar juga. Tetap belum bisa berasa nyaman bawa anak main di situ.

Satu-satunya penghiburan yang bisa dipilih adalah pergi ke daerah yang lebih hijau seperti melancong ke Taman Safari atau  TMII (yang tentu tidak bisa sering-sering karena biaya yang dikeluarkan umumnya relatif besar). Pantas saja setiap wiken tempat-tempat itu sarat pengunjung, sebagian besar sudah pasti adalah penduduk Jakarta yang haus dengan lahan hijau.

2007 – Kings Park – Perth.   *kapan ya Jakarta punya taman seperti ini…

Jadi teringat waktu beberapa tahun lalu jalan ke Perth. Di sana kanan kiri jalan itu taman semua. Sejuk. Asri. Alami. Huhuu, langsung terbayang indahnya suasana piknik sore hari di taman sementara anak berlari kesana kemari dengan riang. Anyway, rumah kami sekarang pelan-pelan sudah mulai hijau. Sudah ada pohon mangga, pohon giawas, dan tiga pohon keladi besar yang bolak balik potong-tebang karena daunnya lebar sekali sampai menutupi jalan, juga bunga-bungaan. Lumayanlah kalau mau piknik seadanya di rumah sendiri. 🙂

Kapan ya Jakarta bisa punya lahan terbuka yang indah? Minimal kalau ada 25% lahan hijau yang layak di Jakarta ini, Jakarta bisa jadi asri dan sejuk, dan tentu saja menjadi lebih sehat. Saya yakin, Jakarta masih bisa kok dihijaukan kembali seperti daerah-dearah lain di Indonesia yang masih hijau.

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

115 thoughts on “Sekaratnya Lahan Hijau

  1. Pingback: Pasar Malam « Secangkir Teh Susu

  2. Pingback: Trembesi sang Idola « Secangkir Teh Susu

  3. iya ya.. susah membangun kesadaran masyarakat tentang ‘keindahan, kebersihan, dan kenyamanan lingkungan sekitar’ pada tingkat/level yang sama… apalagi ada benturan kepentingan di sana…

Leave a Reply to Aulia Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *