Pengamen, Musisi or Penodong?

Tak semua orang suka pada pengamen, itu pasti. Terutama terhadap pengamen-pengamen yang hobinya nodong, mengamen bukan karena dirinya hobi menyanyi dan ikhlas jadi pengamen, tapi demi suara keroncongan di perutnya. Umumnya kalau di warteg-warteg, pengamen seringnya berdua dengan temannya, sementara yang satu baru jrang-jreng memulai dua bait pertama, temannya sudah meletakkan plastik ukuran sedang bekas permen  — yang mungkin dia pungut dari tempat sampah – di atas meja. Setelah nyanyian selesai, pengamen mulai keliling sambil menggoyang-goyangkan plastiknya di samping orang yang makan. Bikin emosi gak kira-kira?

Saya paling tak suka makan diganggu pengamen. Pertama, harus mengeluarkan uang dari dompet yang berarti saya akan mengotori tangan karena memegang uang. Kedua, ini yang terpenting, ya karena mereka mengganggu saat-saat makan siang yang berkualitas. Kita makan siang bersama teman pastinya ingin mengobrol tapi yang ngamen ini sengaja menyanyi keras-keras di belakang. Alasan ketiga, karena mereka bukanlah pengamen sejati. Tak beda dengan penodong.

Beberapa tahun lalu ketika saya masih suka makan di warteg belakang gedung Sarana Jaya, ada seorang anak perempuan berusia sekitar sepuluh tahunan, yang ‘mengamen’ di depan pintu, bahkan masuk ke dalam warteg yang sempit. Dia akan menyanyi dengan suara seperti penderita tuna wicara, seperti orang gagu. Padahal sebenarnya dia hanya berpura-pura. Berlalu dari warteg – setelah dapat uang dari yang iba – dia berjalan keluar dan dengaan santainya berbicara normal. Keesokan harinya, ketika dia datang lagi, si ibu pemilik warteg memarahinya karena kekurang-ajarannya, menipu orang dengan berpura-pura gagu. Dia dilarang masuk ke dalam wartegnya lagi.

Musisi Jalanan (foto pinjem dr Kaskus, nanti akan diinsert foto karya sendiri klo udah dapat yang bagus:) )

Belakangan ini saya tak suka lagi makan di warung-warung kecil sebelah kantor. Tak suka dengan gangguan pengamen. Paling aman sih makan di kantin DepHan, karena mereka jelas melarang pengamen masuk. Kalau mau nyanyi di luaran silahkan, asalkan tidak masuk.

Anyway, saya sebenarnya sangat menghargai profesi pengamen. Urusan bahwa mereka mengganggu waktu makan dan waktu ngobrol saya bisa saya lupakan, selama dia bisa bernyanyi dengan memukau. Ya. Memukau. Teman-teman pernah ketemu dengan pengamen dengan suara memukau? Trust me, saya sering bertemu dengan model begitu, ketika saya masih tinggal di Medan. Dua pengamen berpasangan, satu membawa gitar, satu membawa biola, dan membawakan lagu yang indah, siapa yang tega untuk tidak memberikan mereka tip lebih. Bahkan saat baru kerja dulu (di Medan), kami bikin festival band untuk para pengamen, dan saya sendiri yang berkeliling mencari pengamen untuk ikutan. Sampai saya pinjamkan gitar saya untuk mereka, mengingat mereka tak terbiasa memakai gitar listrik untuk akustikan.

Pernah pula saya dan teman-teman ketemu pengamen yang suaranya bagus sekali, mirip betul dengan penyanyi aslinya. Kesempatanlah Kakak, langsung request lagu (macam di kafe aja ya… hehehe). Setelah dia menyanyikan lima lagu, itu juga karena kami tak tega minta tambah melihat dia sudah ngos-ngosan, kita kasih dua puluh ribu untuk tip. Kan enak toh kalau dihibur dengan permainan musik dan nyanyian yang ciamik. Telinga juga butuh dimanjakan, jangan sampai mendengarkan seteman yang baling.

OOT, jadi teringat waktu masih dulu sering nonton live music di Rock Cafe, Medan. Malam itu, saya dan dua teman main ke sana sepulang kantor, dan sesuai temanya di cafe itu, yang tampil adalah band-band lokal pilihan. Layaknya live music, pengunjung tentu boleh dong request lagu. Band yang tampil ini not bad sebenarnya, tapi sepertinya ada yang salah deh di telinga. Saya minta kertas lagu, lalu saya tulis begini : “Bang, minta lagu ini….. *saya tuliskan judulnya* tapi gitarnya jangan baling ya.” Teman di sebelah saya mengintip dan setengah mati menahan tawa. “Kejam kalilah,” komentarnya. “Gak apalah, kan untuk kebaikan dia…” Dan siapa bilang saya kejam? Ketika waiter memberikan kertas lagu itu ke gitarisnya (karena yang baca-baca request song itu biasanya gitaris), saya lihat gitarisnya cekikikan (dan mungkin sedikit kehilangan kepercayaan diri). *maaf ya dek, kakak mantan gitaris soalnya….

Back to pengamen.

Pengamen yang sekarang buanyaaakk sekali saya temui, apalagi kalau bukan pengamen lampu merah yang bermodalkan krecekan, terutama bencong-bencong pengamen. Pengamen banci tak pernah setia, setia pada pangkalannya, gitu….! Setelah beberapa waktu biasanya orangnya ganti. Tapi saya selalu memberikan mereka uang kalau mereka lewat di samping mobil. At least banci-banci ini mengeluarkan modal, untuk make up, pakaian, jadi layak dihargai.

Pengamen yang setia dengan pangkalannya adalah ibu-ibu dengan krecekan. Yang di lampu merah Arion, lampu merah Pulogadung, itu tak pernah ganti sejak bertahun-tahun terakhir ini (hapal bo’). Dan juga ada seorang pengamen laki-laki di lampu merah Pulogadung, saya ingat dia sudah mangkal di situ sejak saya baru pindah ke Jakarta, means lima tahun lalu. Orangnya pendek, gempal, dengan rambut lurus seleher. Dia baru gondrong setahun terakhir ini kayaknya, karena sebelumnya rambutnya selalu pendek. Pengamen yang satu ini sopan sekali, dan kelihatan tak pernah mengeluh meski dari depan ke belakang semua pengemudi mengangkat tangan. Terbit iba di hati saya melihat dia tak memperoleh sepeserpun dari deretan mobil yang mengular, yang maju sedikit demi sedikit mengejar green light. Sejak kejadian itu, saya tak pernah absen memberinya uang, meski hampir semua mobil dari depan ke belakang tetap memberi tangan padanya. Walaupun ada pengamen baru bermunculan, misalnya anak-anak kecil dari lingkungan sekitar yang coba-coba jadi pengamen, atau penghuni tetap, si ibu kurus yang suka ngedumel kalau dikasih tangan, tapi hanya dia pengamen yang saya kasih. Meski dia belum selesai menyanyipun, langsung saya kasih, biar dia sempat ngamen ke mobil di belakang. Setelah saya pikirkan lagi, alasan saya menjadikan dia pengamen favorit adalah karena ketulusannya menjadi pengamen. Kadang kala dia berdiri saja di pulau jalan, alih-alih menyerbu kendaraan memanfaatkan detik-detik lampu merah, dia bersandar di pagar sambil main gitar, beryanyi untuk dirinya sendiri.

Jadi ingat beberapa bulan lalu saat saya dan teman makan di warung samping kantor. Kami berdua sedang tak ada uang recehan — dua ribu, seribu sampai gopekan sekalipun — jadi karena si pengamen terus menodong, teman saya nyemplungin seratusan logam (karena memang hanya itu yang ada). Si pengamen berlalu, tapi kira-kira semenit kemudian, mungkin dia baru lihat kalau dia dikasih cepek-an, dia balik ke tempat kami, dan melemparkan koin itu ke atas meja. “Ini Mbak, gak usah.” Kami terkejut, terutama teman saya langsung pucat pasi. *inilah cikal bakalnya kami malas makan di samping lagi.

Memang kurang ajar deh tuh pengamen. Dikasih tangan – dibilang maaf – memaksa. Dikasih uang kecil, gengsi. Beuh!

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

77 thoughts on “Pengamen, Musisi or Penodong?

  1. dulu saya juga pernah digituin.
    dikasih gopek duitnya malah dibuang.
    pengamen gak jelas yang gapernah mau bersyukur.
    kalo sekarang saya milih2 kalo mau ngasih ke pengamen.
    kalo nyanyinya gajelas ya ga saya kasih,
    tapi kalo mukanya melas dan nyanyinya enak ya saya kasih
    wkkkk

    bodo amat deh

  2. Saya juga sering nemu pengamen yang niat menghibur orang dan bernyanyi dengan baik dan bagus. Sisanya cuma penggumam (bukan pengamen), yang entah nyanyi atau kumur-kumur, trus menengadahkan tangan untuk minta duit. Mungkin dia nyanyinya juga, “Pak,, kasihan pak, blum makan pak..” Sama aja kaya’ ngemis donk.

    Pernah juga nemu sekelompok mahasiswa yang ngamen untuk pengumpulan dana. Trus saya tantang, “Nih ada duit 20ribu, tapi jangan nyanyi lagu pop mulu. Nyanyikan saya lagu Indonesia Pusaka atau Rayuan Pulau Kelapa” Eh, malah saling pandang mereka dan menawar untuk nyanyi lagu Indonesia Raya saja, itu pun tanpa alat musik. Hadeeeh,,, :p

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *