Stop Urusi Anakku. Urus Anakmu Sendiri.

Apa sih hal yang paling sensitif buat wanita? Banyak! Kalau menurut saya, ada tiga hal yang sebaiknya tidak dilakukan oleh orang lain agar tidak bikin wanita jadi sewot, jengkel atau murung berkepanjangan. Pertama, jangan mencampuri urusan percintaannya, seperti bertanya kenapa belum ada pacar atau kapan menikah karena umur sudah berapa. Kedua, bila dia sudah menikah dan belum punya momongan, jangan sering-sering bertanya kenapa belum hamil juga (kemudian terlalu berlebihan kasih nasihat soal kesuburan). Dan yang ketiga adalah, bila wanita itu sudah jadi ibu, jangan mengajarinya bagaimana dia mengurus anaknya. Apalagi berkomentar kurang enak tentang anaknya. Itu alamat bakal ada piring pecah di dapur.

Jadi ceritanya siang tadi salah satu teman dekat saya di Palembang mengirim bbm. Katanya : “Aku emosi kali tadi waktu di sekolah anakku.” “Kenapa?” “Ada ibu-ibu di sekolah anakku, kerjanya ngomentari anak oraaaang aja.” Anak teman saya itu sebaya dengan Vay, dan memang baru mulai sekolah awal minggu ini, karena memang di daerahnya sana (Palembang kampung istilah kami) tidak ada sekolah lain selain sekolah yang dibiayai oleh perusahaan di komplek perumahan pegawai, dan di situ anak harus benar-benar berusia tiga tahun baru boleh masuk sekolah. Namanya juga anak-anak, di dalam kelas mereka saling berebut mainan, termasuk juga anak teman saya ini. Teman saya ini cukup berbesar hati saat berkata : “Kau tahulah, kan si Raf memang jarang bersosialisasi, tapi kan pelan-pelan nanti dia bisa juga setelah masuk sekolah. Aku juga sengaja gak mau masuk ke dalam kelas, maksudku biarlah anakku beradaptasi, trus juga gurunya bisa bebas mendidik anak kita.” “Eh. Datang pula ibu satu itu, dari tadi dia asyik keluar masuk kelas aja. Begitu keluar dia dari dalam kelas terus dia bilang sambil nunjuk aku, Ini nih anak ibu ini, rebutan mainan. Kalau mainan kayak gitu di rumah saya sih ada, anak saya gak akan mau rebutan.” Oalah… kalau boleh saya berkomentar, itu benar-benar ucapan angkuh yang tidak pantas diucapkan. Guru saja tidak berani menegur atau memarahi langsung anak di depan orangtuanya, ini main ngomong langsung pula di depan ibunya. Saya ikutan panas. “Siapa kali rupanya ibu itu? Gak kau tunjangkan dia, Ti?” Teman saya lalu melanjutkan ceritanya. Katanya waktu jam sekolah usai dan anaknya keluar, ibu yang usil tadi bilang begini: “Kamu yang tadi pukul tante ya. Tangan Tante masih sakit, lho!” Dan teman saya kemudian menjawab menjawab dengan nada pelan tapi sinis : “Iya, Tante. Tapi Tante juga jangan ganggu Raf lagi yaa…” Karena menurut teman saya, anaknya tak pernah memukul orang dewasa kecuali dia merasa terganggu. Who knows kan, barangkali aja itu ibu gemes sama si Raf lalu dicoel-coel. “Hih kampret betul. Kalau aku udah kujawab, cerewet banget sih tante satu ini!” *sambil ngasah golok.

Eh tapi saya bersyukur lho, di sekolah Vay ini kita para orang tua cukup tahu diri untuk tidak menegur anak orang lain. Kan kita juga pasti gak enak hati kalau anak kita ditegur atau diusilin oleh orang lain, jadi kenapa kita harus mengusili orang lain?

Saya bilang ke teman saya, coba usulkan ke sekolahnya agar mulai besok parents tidak usah ikut masuk ke kelas. Mari kita percayakan saja anak kita pada guru. Kalau kita terus-terusan masuk, guru juga serba salah mau menerapkan aturan. Yang ada kita sibuk menjaga anak kita agar tidak tertabrak temannya misalnya, atau bisa jadi memaksa anak kita memperoleh mainan lebih dulu dari anak lain, mumpung orang tuanya gak lihat. Kita pun jadi orang tua yang egois karena merasa anak kita lebih baik dari anak orang lain.

Ilustration (Image from : http://www.123rf.com)

Dan so far ya, saya puaslah dengan sekolah Vay ini, Kinderfield. Dari awal saya pilih sekolah ini memang karena aturannya, dimana anak hanya masuk kelas sendiri tanpa didampingi orang tua atau caretaker. Jadi anak-anak masuk kelas, dan kelas ditutup/dikunci. Tidak ada jendela tempat ibu bisa mengintip. Orangtua hanya bisa melihat anak bila mereka sedang ada aktivitas keluar kelas. Eh tapi di awal tahun ajaran ini, bukan hanya kelas yang ditutup, tapi gedung juga dikunci selama jam kelas. Hari Sabtu juga begitu, kita tak lagi bisa menonton anak kita berolahraga di hall. Tapi bisa dimengerti sih, soalnya setiap kali anak melihat maminya, yang tadinya udah gak nangis jadi berurai air mata lagi. Mereka memang hanya dibolehkan menemani anaknya pada hari pertama saja. Jadilah kami para orang tua disuruh menunggu di luar gedung. Dari kejauhan kami mendengar suara tangis murid-murid baru. Sabtu kemarin seorang Ibu baru menunggu di sebelah saya dengan wajah susah. Saya menghiburnya dengan mengatakan, “Gpp kok, paling cuma seminggu pertama dia nangis. Itu juga maksimal 15 menit. Setelah itu juga biasa.” Karena begitulah si Vay waktu awal-awal. Tiap dilepas di depan pintu kelas langsung pasang aksi menangis, eh begitu pintu ditutup, gak ada suara tangisan lagi. Waktu saya buka pintu dan intip, saya lihat dia langsung main sama teman-temannya. Huu… abunawas bener.

Mungkin itulah gunanya anak memulai preschool tanpa didampingi orang tua. Karena para pendidik bisa lebih leluasa dan tegas menerapkan aturan tanpa rasa khawatir akan dipelototi si ibu yang mendampingi anak. Setiap kali ada satu anak yang kelewatan mengganggu temannya, Miss di sini akan menegur mereka dan mereka diajarkan untuk say sorry ke temannya. Selama tidak say sorry, akan kena hukuman. Kinderfield punya visi misi bahwa anak yang bersekolah di situ akan terjaga keamanannya secara fisik dan psikis.

Dan gak disangka-sangka ternyata si Vay dapat nilai tertinggi di kelasnya dulu untuk nilai “Sosialisasi”. Kata Missnya, setiap ada anak baru, dia yang duluan ngajak main, diantar ke kursinya, lalu kalau nangis dibujuk-bujuk sambil usap-usap punggungnya. “Cup. Cup. Jangan nangis, yaahh..” Hahahahaa…. sumpah saya ngakak abis dengernya. Benar-benar abunawas…. di sekolah baik hati, di rumah destroyer. Kalau mbaknya ribut, dimarahin sama dia. Katanya : “Huuush… Quite..!” Ih gaya bener ya..

Last. Sometimes mungkin kita terlalu terbiasa membanding-bandingkan anak orang dengan anak kita (termasuk saya), merasa anak kita lebih baik dari anak orang lain. Bahkan ada tuh yang karena anaknya lahir lebih dulu dari anak kita, sekali saja kita curhat tentang anak, langsung panjang kemana-mana nasihatnya, dialah si dokter anak, dialah si psikolog. Duh. Duh. Stop! Stop! Cukup!

Stop urusi anakku. Urus anakmu sendiri. Saling menjaga toleransi kan enak, toh.

Sekian.

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

54 thoughts on “Stop Urusi Anakku. Urus Anakmu Sendiri.

  1. Hihi Sini Vay maen sama Tante Eka..

    Ah jadi gak kak ditunjang itu si ibu2 kawan dari kawanmu itu?
    Tunjang ajalah, tunjaaaang

    *kompor*

    Hahaha

  2. Iya deh Mbak, paling sebeeel banget klo udah dikomentarin soal anak… dan jujur aja klo masalah perkembangan, aku bandingin keadaan anakku sendiri before and after… selama ada perubahan positif, walau sepertinya anakku nggak sepintar anak2 lain, aku sangat bersyukur 🙂

  3. lucu amat si vay…sweet girl kalo disekolah ya, hahahahah

    belom punya anak sih, jadi belom sempet direse’in soal anak. tapi yang nomor 2 itu….KENYANG! ditanyain soal anak melulu. Kepo amat dah yak…

    semoga ntar pas punya anak gw bisa ngerelain itu anak dipegang sama gurunya, hihihihihihi.

  4. Zee …
    Kuncinya ya cuma satu tadi …
    Yang tidak berkepentingan dilarang masuk …
    (sampe Hall pun di kunci …)

    boleh juga nih …
    mereka sangat sadar … justru kedatangan pihak lain bisa mempengaruhi perhatian dari peserta didik …

    Mengenai urus anakmu sendiri … Setuju banget …

    Salam saya

  5. Ria

    hahahahaha…mbak zee aku ngakak baca postinganmu yang ini…terlebih pas kamu cerita bagian vay abunawas dan sudah bisa marahin si Mbak dengan kata quite! hihihihi lucunya…

    Pelajaran deh, semoga nanti kalau aku sudah punya anak juga bisa nahan2 cerewet ke ibu2 yg lain 😀

  6. zee…kalau saya paling ga suka sama orang tua yang tidak terima dikasih tahu kalau anaknya dibilang melakukan kesalahan. Bagi dia anaknya adalah malaikat yang ga pernah berbuat salah. Saya kalau ketemu ortu macam gitu….bawaannya udah bete duluan deh pokoknya. Kalau bisa anaknya ga usah main sama anak kita *sewot*

    • Zizy

      Hahaha…
      Yg gini-2 emang sensitif ya. Soalnya kadang ada yg anaknya nakal banget tp dibiarin aja mengganggu anak orang. Klo gitu saya juga gak pengen anak kita main ama tuh anak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *