Toleransi

Sejak sadar bahwa acara sekolah sering jatuh di hari Sabtu, maka les electone Vay pun dipindah ke hari Minggu. Maksudnya sih biar gak sering-sering bolos, seperti waktu choir competition bulan lalu jadi bolos lesnya. Sayang dong, sudah bayar terus bolos.

Di kelas Yamaha ini kan, setiap anak harus ditemani orang tua atau caretakernya. Nah, sejak Vay mulai bersekolah, saya sendiri kan belum pernah menemani dia di dalam kelas, karena memang peraturan sekolahnya begitu, anak tidak boleh ditemani (bahkan diintip saja juga tidak bisa).

Jadilah saat-saat menemani Vay di kelas electone-nya ini jadi pengalaman pertama saya, dan juga Vay sendiri. Dia bilang dia senang sekali karena ditemani maminya. Tidak mau ditemani mbak, katanya. Nah, pertama kali masuk kelas di hari Minggu, saya agak-agak kaget karena ada ibu-ibu yang baweeeeeel banget sama anaknya. Kalau orang tua lain santai saja menemani anaknya belajar, yang satu ini kayaknya streng banget gitu, lho.

Duh, maaf nih, saya kayak tukang gosip aja ya, haha.. tapi gak tahan aja untuk cerita. Ibu yang satu itu seperti polwan yang ngatur lalu lintas, anaknya harus serba sempurna dan ikut peraturan. Contohnya, saat gurunya meminta anak-anak kumpul di depan untuk nyanyi bareng, emak yang satu itu langsung ikut ke depan. Kalau ibu-ibu atau bapak-bapak lain maju sebentar untuk memotret lalu kembali ke tempat, atau ada yang berdiri lebih lama untuk merekam anaknya, ibu yang satu itu tetap di situ, berdiri tegak sambil memberi perintah pada anaknya, sebut saja Boy. “Boy, Mama gak dengar lho, suara kamu dari sini.”

Atau, “Boy, Boy, jarinya. Seperti ini.” Hadeehhh tolong ya, itu ganggu banget. Anak-anak sudah pada semangat nyanyi sambil diiringi piano gurunya, ada suara cempreng pula masuk, memberi perintah. Saya menangkap lirikan sebel seorang bapak yang sedang merekam anaknya. Sama! Sama dengan saya yang minggu lalu merekam Vay sedang nyanyi rame-rame, dan suara ibu yang bawel itu jadi masuk di tengah-tengah. Maksudnya, aduh Buuu… kalau gak puas, kenapa gak ambil privat aja.

Eh, tapi terus saya juga mikir, kalau saya sendiri gak puas dengan model ibu bawel kayak gitu, kenapa bukan Vay saja ya yang saya masukin les privat? Ah tapi Vay-nya gak akan mau, karena dia model anak yang happy kalau banyak temanya.

Hari ini nge-purple pink…

Biasalah, foto2 dulu sebelum pergi les… :)

Yeah, ternyata begini ya rasanya berada di tengah anak-anak yang belajar sambil ditemani orang tua. Cara orang tua mendidik anak macam-macam, jadi ya sudahlah, terima saja. As long as yang dia ganggu hanya telinga saya, ya sudahlah. Dan itu hanya berarti satu hal: toleransi.

Anyway, karena lesnya ini di mall, alhasil sehabis Vay les ya kita jalan-jalan dulu sebentar di mall. Makan siang, ke toko buku, cuci mata (gak mungkin juga ya bok belanja terus tiap minggu….), baru pulang.

Sore tadi, plus ngeteh dulu sebentar di Killiney. Vay dong, masa minta roti pakai meses. Mana ada roti meses di kopi tiam. Disuruh cicipi roti kaya dan butter gak mau. Malah marah, katanya gak enak. Untunglah ada roti selai kacang, jadi bibir yang tadi manyun pun kemudian merekah.

Sambil menunggu roti selai kacangnya…. mainin tempat gula dulu.

tips mami: membekali anak dengan buku, pulpen dan krayon, biar gak bosan menunggu

So, that’s my weekend. Ibu yang bawel, dan roti kaya yang enak banget di mulut. Bagaimana dengan weekend-mu? 🙂

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

35 thoughts on “Toleransi

    • Zizy

      Ya Gie. Begitu masuk di dalam, baru deh bisa melihat langsung bagaimana dia menyerap pelajaran dari gurunya.

Leave a Reply to Zizy Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *