Seperti Pasir

Seperti Pasir

Secangkir teh susu : Menerangkan sesuatu pada anak tidaklah selalu mudah. Dan bila terus melakukan kekeliruan pun terasa tak nyaman. Seperti menginjak butiran pasir, meski kecil dan halus, namun menggelitik dan terasa tak tenak bila terus-menerus dilakukan.

Minggu kemarin, saat saya dan anak saya sedang bergandengan tangan di lantai dasar sebuah mall, kami berpapasan dengan sepasang lelaki dan perempuan sepantaran saya yang juga bergandengan tangan. Anak saya, sudah tahu bahwa orang dewasa memang umumnya berpasangan — pria dan wanita — meski dia belum mengerti tentang konsep menikah, atau pacaran.

Maka sehabis menoleh ke pasangan tadi, dia berpaling pada saya, dan bertanya, “Mami, memangnya tidak semua orang itu — punya anak ya?”

Saya terdiam sebentar, lalu menjawab begini: “Iya, Nak… Memang begitu. Ada yang punya anak, tapi ada juga yang belum dikasih anak sama Tuhan.”

“Teman Mami di kantor, yang punya anak cuma Mami sama Tante Anum, ya?”

“Gak kok, Sayang. Ada juga yang lain yang punya anak, tapi memang belum pernah ketemu Vaya saja. Tapi memang ada teman Mami yang belum punya anak,”

“Kenapa?” Nah. Sampai di sini pusing deh. Mencari jawaban yang mudah dipahami dan tidak membingungkan anak, itu tidak mudah. Jadi saya hanya berharap Vay bisa mengerti saat saya menjawab, “Karena anak itu rezeki masing-masing orang tua, Sayang. Kita tidak bisa tahu kita akan dikasih anak atau tidak sama Tuhan. Punya anak itu bukan seperti pergi ke toko boneka, dipilih-pilih, lalu dibawa pulang.”

Lalu dia berkata lagi, “Vaya mau punya anak jugalah nanti, biar ntar ada yang temani Vaya.” Ah, ternyata anak saya mulai merasa kesepian, ya. Lalu saya pun berkata padanya, “Iyalah, seperti sekarang Mami ditemani sama anak Mami.”

Kemudian dia mempererat genggaman tangannya, mengangkat kepalanya dan tersenyum lebar dengan gusinya yang ompong. Dan saya tiba-tiba merasa bersalah.

Merasa bersalah karena kadang suka mengabaikannya saat dia mengajak saya main, sementara saya sudah sangat lelah sepulang kerja dan ingin santai-santai menikmati serial favorit di TV. **padahal film itu masih akan ada re-runnya juga….

Merasa bersalah karena sering juga galak padanya karena hal-hal remeh, karena saya sedang stress dengan pekerjaan. **sampai dia komplen,”Mami nih, maraaahh teruss… maraaahhh teruss…”

Merasa bersalah karena memintanya berhenti berbicara dulu di saat saya sedang sibuk membalas email kantor misalnya. **padahal dia sebenarnya hanya tak sabar ingin cerita..

Merasa bersalah karena sering tak bisa memenuhi permintaannya agar pulang kerja lebih sore karena dia kangen sama saya. **makanya saya suka uring-uringan kalau diajak meeting terlalu sore, atau diajak rekan kantor kongkow.

Dst.. Dst..

Dan saat saya membayangkan wajahnya yang kecewa, saya pun bertanya-tanya dalam hati.

amihappy

Apa sebenarnya yang ada di dalam pikiran anak saya ini.

Bahagiakah dia? Senangkah dia? Apakah menurutnya saya ibu yang hebat, ibu yang cool, ibu yang menyenangkan? Atau sebaliknya?

Menanyakan itu pada diri sendiri jadi warning bagi diri saya. Sendiri bilang, anak itu anugerah terindah dari Tuhan, bukan seperti beli boneka di toko, tapi ternyata kadang kala saya sendiri lupa akan sumber kebahagiaan itu. Apa saya mau saat dia besar nanti dia akan balas mengabaikan saya? Tentu saja tidak.

* * *

Maafkan Mami, ya, Sayang.

34 Comments

  1. kebayang ya mbak gmn perasaannya saat dengar Vaya bilang entar kl besar pengen punya anak juga biar ada yg menemani ..

  2. Anaknya ngambek nich,, padahal sudah bawa jajan ditangan kanan kirinya,,
    Kasihan dek,,, sini maen sama anak om,,

  3. Saya juga sering merasakan seperti tulisan di atas. Ketika dia bertanya, saya selalu sebisa mungkin menjawab sebenar-benarnya, karena apa yang saya ucapkan selalu dia percaya dan itu dijadikan jawaban yang dipakai terus menerus. Sekali saya menjawab salah maka dia pun akan mengikuti itu. Apalagi anak saya sekarang semakin sering bicara dan bertanya ini itu, kadang kewalahan juga menjawabnya.

    Tentang waktu untuk anak, saya dalam perjalanan pulang bahkan kadang berjanji di dalam hati ketika tiba dirumah saya akan terus memberi perhatian untuk dia. Tapi ternyata tidak semudah itu, kadang secara tidak sadar saya mengabaikan dia beberapa menit.

  4. ortu kan juga manusia ya… gak sempurna. seperti halnya semua manusia juga gak ada yang sempurna. 🙂
    yang penting kita selalu berusaha dan belajar untuk jadi ortu yang terbaik buat anak kita.. ya gak…

  5. Setiap hak punya hak atas sebagian waktu kita, kalau kita mengabaikannya maka kelak kita juga yang akan diabaikan. Ih ngomongin anak kok jadi serius banget gini ya.. 🙁

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *