Musim Hujan

Musim hujan datang lagi. Hampir setiap hari, Jakarta diguyur hujan lebat, kalau gak siang hari, ya sore. Seperti hari ini, sejak tengah hari sudah mendung, tapi hujan belum turun. Ruangan yang sudah dingin oleh AC, serasa makin membeku.

Sekitar jam empat, hujan mulai turun. Deras. Campur angin puting beliung. Halaqhh… gak bener, becanda, maksudnya cuma angin kencang biasa kok, he hee … tapi yang namanya angin kencang ya mengkhawatirkan juga, terutama buat para pengendara.

Kalau biasanya jam setengah lima saya sudah cabut dari kantor, kali ini saya masih betah ngendon di kursi sampai jam 6 lewat. Soalnya saya pikir, kalau keluar hujan-hujan ya sama aja kejebak macet. Udah kebayang antrian panjang mulai dari Monas sampai Tugu Tani, doughh…. males dah…! Sempat kepikir juga mau ke Burger King lagi, tapi lagi-lagi karena mikirin macet di Sabang & Wahid Hasyim langsung males. **iya, nih, klo udah ketemu fast food, suka kemaruk πŸ˜€

Akhirnya jam enam hujan reda juga, dan saya keluar jam enam lewat seperempat. Jalan di depan gedung sepi, cuma ketika sudah sampai di ujung, memasuki Jl. Budi Kemuliaan (mo ke arah tempat polisi-polisi mata ijo kebiru-2an itu lohhh :D), antrian agak panjang. Biasanya sekitar jam lima sore, beberapa satpam dari gedung kantor yang gede itu (itu loh….yg di depan patung kuda), membantu mengatur lalu lintas di depan agar tidak stag. Tapi mungkin karena ini sudah malam, hujan pula, jadi gak ada yang menjaga.

Saya lihat ada empat pemuda setempat, bantu-bantu lalu lintas. Soalnya kalo ada yang mau belok ke kanan, tentu butuh bantuan untuk memotong antrian kendaraan di depannya. Dan cowok-cowok ini so pasti berharap mendapatkan sekeping dua keping gopek-an. Ini sih pemandangan biasa di Jakarta, hampir setiap jalan besar dan kecil (bahkan gang juga ada!) yang ada putaran atau belokan, ada polisi gopek nya. Di putaran jalan besar juga ada, cuma di beberapa jalan protokol saja mereka gak berani beroperasi, bisa diangkut soalnya.

Saya kalau berangkat ke kantor lewat Jl. Abadi, biasanya selalu ngasih gopek buat tukang ojek yang nyambi ngatur jalan. But, berhubung bypass jadi sempit karena pembangunan koridor busway, saya tidak pernah mau lewat situ lagi. Cari jalan lain, biarlah agak jauh, tapi lebih lancar, dan ujungnya lebih cepat sampai.

Back to anak-anak muda tadi. Ketika lampu merah di depan sana sudah berubah jadi hijau dan mobil-mobil pelan jalan, seorang dari mereka — yang memegang gelas plastik — menghadang mobil saya dan mengacungkan gelas.

“Apaan lu, minta-minta duit?!” Saya pelototi dia. Dia langsung keder dan mundur. Enak aja ni orang, wong saya tuh belok ke kiri kok, dan itu sama sekali tidak butuh bantuan (kecuali gw mo motong ke kanan, bolehlah). Mo jadi polisi gopek kok ya maksa, heran… saya juga tahu diri kalo udah dibantu.

Kayaknya ni orang, tang mentang saya cewek lalu dia kira bisa diintimidasi. Mirip sama kejadian paginya, ketika saya berada di sisi jalan yang lain, hendak belok ke kanan (masuk ke Budi Kemuliaan 1). Waktu itu memang sudah hampir jam delapan, dan kendaraan dari arah berlawanan agak ramai. Seorang petugas DLLAJR berdiri di belokan situ. Karena arus yang padat, ia menyuruh mobil yang akan belok ke kanan untuk jalan lurus, seperti yang terjadi pada mobil di depan saya. Dia langsung tidak jadi belok karena disuruh lurus. Wah, ini petugas kayaknya malas nih, pikir saya. Soalnya macetnya itu gak banget-banget kok, hanya macet karena di depan lampu merahnya agak lama saja, dan mobilnya juga tidak terlalu banyak. Beda kalo sore hari.

Hmm, kalau saya ubah haluan lurus, jalan jauh nih ceritanya. Dari belakang Sarja itu hanya ada jalan kecil, yang ukurannya pas-pasan. Bisa saya bayangkan kalau saya memaksa lewat situ dengan mobil segede ini, terus dari sana ada mobil lain. Ah, bodo’ ah. Saya tetap pasang sign kanan, dan berhenti, tetap dengan tujuan belok. Si petugas mengayunkan tangan, menyuruh saya lurus. Saya menolak dengan mengangkat tangan dan menunjuk gedung di sebelah. Biar dia tahu kantor saya memang di situ, jadi masa iya saya harus muter jauh lagi. Mungkin dia rada sebel karena ada yang melawan, tapi akhirnya dia potong juga arus dari arah sana dan membiarkan saya dan beberapa kendaraan di belakang saya lewat. Makasih ya pak, jangan marah-marah dong, kan itu memang sudah tugas Bapak. πŸ™‚

Back to sore yang sudah tidak hujan.

Sepanjang jalan pulang, hujan tidak turun lagi. Dan syukurnya jalanan lancar-lancar saja. Tidak terlalu macet. Dan masalah justru timbul ketika jalanan agak lancar seperti begini. Hanya saja 500 mtr sebelum Simpang Coca Cola, seorang pengendara motor tertabrak mobil di samping kanan saya. Saya memang melihat kelebat dari spion, sepertinya ada motor yang memotong dari belakang saya hendak ambil kanan, dan kayaknya kejadian nih. Saya mencondongkan tubuh bermaksud melihat lebih luas dari spion, dan ternyata benar. Mobil minibus itu berhenti, eh tapi mana motornya??? Oh, itu dia. Tergeletak di sampingnya, tepat dekat pembatas jalur busway. Si pengendara pura-pura pingsan (saya tahu pastilah dia pura-pura pingsan, wong di jalan itu mobil-mobil tidak ada yang kencang kok). Si Sopir buru-buru turun dan mengangkatnya, dan lelaki itu — kayaknya sih bapak-bapak — bangkit dengan sigap. **padahal tadi kesannya dia jatuh pingsan. Huuu…

Yah, biarpun sebenarnya saya yakin ini salah si motor, tapi tetep aja kasihan dia sampai tertabrak begitu. Hikmah dari kejadian itu tentu saja, saya langsung jadi lebih hati-hati mengemudi. Biar aman dan selamat sampai di rumah :).

11 Comments

  1. Zee

    9. iya om koz, serem jg junk food sering2…tp ini cm sesekali kok
    10. soalnya kmrn kan msh rame, klo kejadiannya malam trs sepi,mending jgn turun deh, cr pos polisi aja…seremmm.

  2. waduh, repot juga nih kalo musim hujan bawa kendaraan…untung yang pingsan ga ada niat jahat πŸ˜€

  3. Zee

    4. bener, ga aman banged, tp mo gimana lg? kekeke..
    5. trs yg jd pemeran ketabraknya sapa? uam yah… :p~
    6,7. yup, madut… πŸ˜€

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *