Tentang kopi Jawa. Sore itu hujan turun deras, jalanan Kalimalang tidak terlalu macet karena hari Sabtu. Saya bersama Vay ada di Starbucks, dia baru pulang bimbel dan saya menunggunya di situ. Kebetulan saya tidak sedang membawa mobil karena mobil lagi perbaikan di bengkel.
Dari Starbucks Kalimalang, saya memesan Grabcar untuk pulang. Dan mendadak hujan turun dengan deras. Saya mengirim pesan pada driver, agar langsung masuk saja ke dalam parkiran (meskipun parkiran Starbucks kecil). Siap, katanya.
Begitu mobil Karimun Wagon datang, saya disambut oleh seorang bapak tua dengan senyum ramah. Hujan membuat suasana terasa sendu, tetapi percakapan hangat di dalam mobil menghapus rasa lelah. Dari obrolan sederhana tentang kopi, perjalanan singkat itu berubah menjadi pengalaman yang lebih bermakna.
Sang Driver yang suka Ngopi Juga
Sopir saya kali ini seorang bapak Jawa. Dari perawakannya, terlihat sederhana dan penuh kesabaran. Ia bercerita kalau dia aslinya dari Bandung tapi dia orang Jawa, tetapi lalu merantau ke Jakarta, dan sudah 20 tahun di Jakarta. Pengalamannya bekerja dan merantau membentuk cara pandangnya yang terbuka, termasuk ketika berbicara dengan penumpang.
Dia bertanya saya asli mana, karena logat saya berbeda. Katanya dia juga begitu, meskipun ke Bandung, dia juga susah melepas totok jawa-nya. Makanya dia gak mau ngomong Sunda.
Hujan deras membuat jalanan agak merayap karena kendaraan harus pelan-pelan. Namun, bukannya merasa bosan, saya justru menikmati obrolan kecil yang muncul begitu saja. Ada sesuatu yang menenangkan dari percakapan ringan dengan orang asing di tengah derasnya hujan, seperti menemukan ruang teduh dalam perjalanan panjang.
Pertanyaan tentang Starbucks
Ketika tahu saya menunggu di Starbucks, bapak itu bertanya polos, “Kopinya enak, ya, Bu? Saya belum pernah tuh mencoba minuman Starbucks.”
Pertanyaan yang sekilas terdengar sederhana itu justru membuat saya berpikir. Di Jakarta, banyak orang menganggap minum kopi di Starbucks adalah hal biasa, bahkan jadi bagian dari gaya hidup urban.
Namun bagi sebagian orang, termasuk bapak ini, Starbucks adalah sesuatu yang jauh dari keseharian. Ngapain coba buang duit untuk kopi harga 50ribu? Kalau saya, memanfaatkan paket kopi plus makanan seharga maksimal 56 ribu (itu sudah extra shoot), jadi masih cukup worth.
Saya tersenyum dan mencoba menjawab sejujur-jujurnya. Kopi Starbucks memang enak, tapi pengalaman minumnya lebih dari sekadar rasa. Ada suasana, ada citra, ada gaya hidup yang ditawarkan. Kadang, kopi di sana bukan hanya soal biji kopi, tapi juga soal cerita yang mengelilinginya.
Mobil si bapak melaju menabrak genangan air hujan. Saya tertawa reflek karena cipratan tinggi itu hampir mengenai orang-orang yang menunggu di depan toko pinggir jalan. Si bapak kaget. “Oh tadi orangnya kena Bu?”
“Hampir, Pak. Masih ada jarak kok.
“Oh. Ya tapi kan memang risiko sih kalau hujan.”
Cerita tentang Kopi Jawa
Bapak driver kemudian balik bercerita tentang kopi jawa. Ia lebih sering minum kopi Jawa, kopi yang diseduh sederhana di rumah atau warung dekat tempat tinggalnya. Rasanya pahit, kadang pekat, dan diminum dengan campuran gula aren. “Kalau di kampung, kopi itu buat teman ngobrol pagi atau malam. Tapi saya sukanya pakai gula aren,” katanya sambil tertawa kecil.
Saya mendengarkan dengan antusias. Ada kebanggaan yang keluar dari suaranya ketika menyebut “kopi Jawa.” Kopi bagi dirinya bukan sekadar minuman pelepas kantuk, melainkan bagian dari budaya yang mengikat keluarga dan tetangga. Di situlah bedanya dengan kopi modern yang sering dibungkus dengan nama keren dan harga yang tidak murah.
Cerita itu membuat saya kembali menyadari: secangkir kopi Jawa menyimpan filosofi hidup. Kesederhanaan dalam secangkir panas bisa menghadirkan kehangatan yang tak tergantikan.
Menghubungkan dengan Kopi Sumatra di Starbucks
Saya kemudian bercerita bahwa Starbucks juga punya kopi dari Indonesia, salah satunya Kopi Sumatra. Saya juga ceritakan padanya bahwa di kampung kami di Simalungun sana, ada kebun kopi yang dipagar, milik Starbucks.
“Oh iya?” bapak itu agak terkejut.Ia tidak menyangka bahwa kopi dari negeri sendiri bisa hadir di kedai besar internasional.
“Pasti dikirim ke luar negeri, lalu dikirim balik ke sini ya, Bu?”
Saya jelaskan bahwa kopi Sumatra memang terkenal dengan cita rasanya yang kuat dan earthy, sehingga digemari banyak orang di luar negeri. Di balik cangkir yang disajikan di Starbucks, ada petani-petani Indonesia yang berperan penting dalam rantai panjang itu.
Kemudian saya juga berbagi cerita tentang kopi dari daerah lain, yang biasa saya beli ketika saya dinas kerja dulu. Dengan begitu kita jadi tahu ciri khas kopi daerah masing-masing.
Di sini saya merasa ada jembatan yang menghubungkan dua dunia: dunia sederhana bapak driver dengan secangkir kopi Jawa di rumah, dan dunia modern yang menaruh kopi Indonesia di etalase global. Pada akhirnya, kopi tetap menjadi medium yang mempertemukan berbagai latar belakang.
Refleksi Pribadi, Kopi dan Cerita Hidup
Perjalanan singkat di bawah hujan itu memberi saya sebuah renungan. Kadang kita lupa bahwa kopi bukan hanya soal rasa. Di balik secangkir kopi, ada cerita kehidupan, ada budaya, ada kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Obrolan dengan bapak driver membuat saya melihat kopi dengan perspektif yang lebih luas. Bahwa kopi bukan sekadar trend atau gaya hidup, melainkan juga identitas. Baik itu kopi Jawa yang dinikmati di rumah sederhana, maupun kopi Sumatra yang tersaji di gerai besar, semuanya membawa cerita masing-masing.
Baca juga: Manfaat minum kopi bagi wanita
Kopi menjadi semacam bahasa universal. Ia bisa menyatukan orang-orang dari berbagai tempat, status, dan latar belakang. Di tengah hujan deras dan jalanan macet, saya menemukan pengingat kecil tentang hal itu. Dari sebuah percakapan ringan.
Akhirnya…
Perjalanan sore itu mungkin singkat, hanya beberapa kilometer saja. Namun, hujan, kopi, dan obrolan dengan bapak driver membuatnya berkesan. Dari pertanyaan polos tentang “kopi enak di Starbucks,” saya belajar bahwa setiap cangkir kopi punya cerita. Dan setiap orang bangga akan kopi pilihannya. Tentu saja.
Kopi bukan hanya minuman. Ia adalah jembatan, pengikat, sekaligus pengingat bahwa kesederhanaan bisa membawa makna mendalam. Dan siapa tahu, suatu hari nanti bapak driver itu akan mencoba secangkir kopi Starbucks—lalu tersenyum ketika tahu, rasa kopi Indonesia juga ada di sana.
