Kenapa saya membahas topik ini? Karena ini penting. Beberapa waktu lalu, masyarakat dibikin geram oleh rekaman cctv seorang pengasuh anak yang menendang bahkan menginjak-injak anak asuhannya yang baru berusia 3 tahun. Saya sampai menitikkan air mata menonton kekejaman itu. Rasanya ingin saya kasih bacagi tuh orang kalau ada di depan saya. Infonya kejadian itu bukan terjadi di Indonesia, tapi di negeri tetangga, entahlah tetangga yang mana, kan tetangga kita banyak toh.
Kejadian lain juga saya dengar dari seorang teman kantor. Pengasuh anaknya sudah ikut dia hampir dua tahun, lalu tiba-tiba suatu hari pengasuhnya itu ketahuan memukul anaknya. Ketahuannya karena teman saya melihat badan anaknya biru-biru, dan si anak memang ketakutan mau melapor. Haduuhhh saya emosi jiwa dengarnya. Malam itu juga si pengasuh disuruh keluar dari rumah teman saya itu. Ceritanya si pengasuh uring-uringan sejak pacaran, jadi kekesalannya disalurkan ke anak asuhannya. Keterlaluan sekali. Inilah yang terjadi saat orang tua mulai nyaman dengan pengasuh dan mulai kendor pengawasannya. Pengasuh dianggap baik-baik saja karena sudah lama ikut kerja, padahal siapa sih yang tahu isi hatinya.
Tak mudah memang mempercayakan anggota keluarga kita begitu saja pada pengawasan orang asing. Di satu sisi kita kurang nyaman tapi di sisi lain memang tak ada pilihan selain percaya. Lumrah bagi para orang tua di kota besar kejar-kejaran dengan waktu demi materi, yang tujuannya tentu saja untuk anak dan keluarga. Anak mau masuk sekolah, anak mau main, anak mau ulang tahun, anak mau perform, semua butuh uang off course. Apalagi kalau punya banyak anak. So, orang tua yang mampu — dan yang juga kerepotan menghadapi anak-anak usia ‘beringas’ (begitulah saya menyebutnya) sangat sangat butuh bantuan. Satu anak satu nanny, pemandangan biasa. Kalau tak ada pengasuh, bisa pening mamak!
Tapi pengasuh juga manusia. Emaknya saja pusing menghadapi beringasnya anak mereka, apalagi mereka yang bukan siapa-siapa yang setiap hari harus mengurusi anak-anak itu. Memandikan, memakaikan baju, membasuh sehabis pup or pee, memberi makan, membersihkan muntahnya, membereskan mainan yang berantakan, melerai pertengkaran, sampai menemaninya tidur. Dan tentu ada saat-saat dimana para pengasuh menunjukkan sifat aslinya, tentu saja saat tidak ada orang tua si anak.
Sebagian orang tua bisa memasang CCTV di penjuru rumah. Sekarang CCTV sudah murah toh, akses internet apapun ada tinggal pilih. Orang tua yang bekerja bisa mengaksesnya dari mana saja selama ada koneksi. Via handphone bisa, via laptop bisa.
Tapi sebenarnya ada yang tak bisa diintip oleh CCTV. Apakah itu? Kekerasan psikis. Yak, kekerasan fisik mungkin bisa dipantau lewat video pengintip, tapi kekerasan psikis? Kekerasan psikis adalah suatu bentuk kekerasan secara emosional yang dilakukan dengan cara menghina, melecehkan, mencela, melontarkan perkataan yang menyakiti perasaan, melukai harga diri, menurunkan rasa percaya diri, membuat orang merasa hina, kecil, lemah, jelek, tidak berguna dan tidak berdaya. Serem ya bacanya.
Dan seringkali orang tua lupa dan alpa mengawasi kebersamaan si kecil saat bersama pengasuh, sehingga tidak segera menyadari kalau ada bibit-bibit kekerasan psikis di situ. Saat anak menjadi semakin beringas, tuduhan kita adalah memang si anak yang bermasalah. Sebaliknya, melihat anak diam saja kita mengira segalanya baik-baik saja.
Saya suka gemas kalau melihat para pengasuh bertingkah seenaknya terhadap momongan mereka di depan umum. Bukan sekali dua kali saya lihat pengasuh-pengasuh yang membentak anak asuhannya dengan kasar. Contoh kasus terakhir saat kemarin sore saat saya menemani Vay main di Lolipop Kelapa Gading. Ada tiga pengasuh dengan tiga anak, masing-masing menyuapi satu anak. Mereka duduk di meja kecil di samping meja saya. Melihat gaya pengasuhnya, kelihatan kalau mereka bukan pengasuh dari yayasan, karena memakai baju bebas. Sementara pengasuh dari yayasan umumnya diwajibkan memakai seragam mereka saat bekerja (baik di rumah ataupun keluar rumah), kecuali malam hari saat sudah beristirahat.
Saat itu anak terkecil – perempuan – tebakan saya umurnya dua tahunan, mengganggu abangnya yang sedang makan. Abangnya sudah lima tahunan. Dan mbaknya si abang, yang mungkin terganggu kegiatan menyuapinya, langsung menghardik si kecil dengan kasar dan mengusirnya agar menjauh. Saya terkejut sekali. Dua mbak yang lain diam saja dan malah satunya tertawa melihat kejadian itu. Sementara itu si abang dan juga seorang lagi saudara laki-laki yang lebih kecil dari dia terlihat tidak perduli. Saya jadi heran. Ini anak-anak diam saja menghadapi kekasaran perilaku pengasuhnya, lah ini berarti mereka sudah terbiasa toh. Biasanya yang berhak memarahi (yeah….let say membentaklah) anak kan orang tua, nah ini kalau pengasuh bisa sekasar itu pada si anak berarti ada yang salah. Perkiraan saya ada beberapa kemungkinan. Pertama, si anak takut pada si pengasuh dan tidak berani melaporkan pada orang tua. Kedua, orang tua mungkin tak perduli dan tak percaya saat anak melapor karena percaya pada wajah sok malaikat dari pengasuhnya. Ketiga, si anak memang lebih sering menghabiskan waktu dengan pengasuh sehingga terbiasa dengan didikan penuh bentakan. Keempat, mungkin orang tua memang memberi lampu hijau terhadap pengasuh untuk memberi didikan. Kelima, mungkin sekali kekerasan verbal adalah hal yang biasa dilihatnya dari keluarganya di rumah.
Karena kelepasan membentak anak di depan orang lain, ketiga mbak-mbak itu jadi melirik-lirik saya yang mengawasi mereka. Saya sendiri memang tak bisa menegur langsung karena merasa belum saatnya ikut campur. Berharap-harap agar orang tuanya datang, tapi ternyata tidak. Seperti biasa, parents lebih suka menitipkan anak sampai puas bermain di situ sementara mereka menyelesaikan suatu urusan, dan kemudian kembali dua tiga jam kemudian untuk menjemput. Para pengasuh yang kasar ini, lagaknya memang seperti preman, anak dibiarkan main entah dimana sementara dia makan dulu mengenyangkan perut. Anak mau makan syukur, gak ya gpp, kan gak ketahuan orang tuanya ini. Bulan lalu, masih di Lolipop, saya lihat seorang pengasuh membentak anak perempuan asuhannya yang sudah besar, sekitar 7 tahunan. Awalnya saya pikir itu orang tuanya karena duduknya membelakangi, eh ternyata itu mbaknya. Lagi-lagi saya dirundung rasa heran, kenapa anaknya diam saja. Orang tuanya juga tidak ada. Belum lagi pengasuh lainnya yang hobinya main telepon, tak perduli anak asuhannya lari kemana. Jadi kalau ada dua tiga orang pengasuh sekaligus, pasti ketiganya ngejogrok ngobrol, anak-anak gak dijaga.
Dulu, keponakan saya pernah mendapat verbal abuse semacam itu. Saat itu ponakan saya masuk-masuk ke kamar belakang di rumah mami saya, dan bikin berantakan di dalam. Nah bedinde di rumah itu mengancam akan mengasihnya cacing bila dia nakal. Keponakan saya bukannya takut malah menjawab begini : “Coba saja, nanti Sasha lapor sama Oma!” dan si bedinde ganti ketakutan, mohon-mohon agar jangan melapor ke omanya.
Lalu bagaimana dengan pengasuh anak saya yang sekarang? So far yang saya lihat, pengasuh ini cukup baik, dia sudah kerja dua tahun. Tidak pernah membentak-bentak si Vay, cukup sabarlah menjaga Vay, ya so far itu yang saya lihat sejauh ini. Beberapa kali kalau main ke playground, saya pura-pura pergi keluar padahal saya diam-diam mengintip dari tempat yang tak terlihat. Kemanapun Vay pergi selalu dijaga betul-betul. Sejak kejadian dulu yang dia saya marahi dengan keras karena membiarkan Vay jatuh di depannya (sampai benjol besar pula!) sekarang dia gak berani lagi meleng. *takut dicekek sama mami vayalahhh…
Selain itu di rumah juga dilarang menggunakan bahasa yang kasar. Untung pula mbaknya dari Jawa sana, jadi tak akrab dengan kata-kata orang Jakarta semacam : “Goblok” atau “Bego”. Tontonan sinetron juga dilarang di rumah ini karena suka banyak adegan marah-marah gak jelas. Cuma yaaaaa…. saya nih yang memang suka bilang “Kambing!” di sepanjang jalan, sampai Vay hapal :D. Cerita mbaknya, kalau ada motor yang menyalip mobil jemputan sekolahnya, dia langsung nyeletuk : “Itu kambing, mbak.” 😀
Eniwei bukan berarti pengasuh Vay ini juga tanpa cacat. Minggu lalu si pengasuh ini bikin saya marah karena satu kejadian. Jadi ceritanya kami mau pergi ke MOI dan Vay bersikeras mau membawa tas koper barunya. Tapi si mbaknya ini menolak karena dia tahu nanti kalau Vay capek, dia yang harus menenteng tas koper itu. Belum lagi Vay mau mengisi semua mainannya ke dalam tas, dijamin bakal berat kan? Saya mendapatinya berkata agak keras pada Vay dan menarik tas koper itu dari tangan Vay agar tidak usah dibawa, dan Vay menangis kencang karena tetap ingin tas kopernya dibawa. Si pengasuh meninggalkannya menangis di depan TV. Mungkin kemarin itu mbaknya Vay ini lagi bete karena berantem sama pacarnya, entahlah. Saya yang melihat kejadian itu di depan pintu balik lagi masuk ke dalam rumah. Saya bilang pada Vay kita akan bawa tas kopernya, lalu saya bantu dia memasukkan mainannya, dan wanti-wanti bahwa nanti dia harus menarik tasnya sendiri.
Lalu saya bilang pada si pengasuh (bilangnya pakai emosi juga, alis naik dan mata melotot) : “Lain kali jangan larang-larang si Vay bawa mainannya. Kalau dia mau bawa mainannya, biarkan. Mau bawa tasnya, biarkan. Itu kan tugasmu. Jangan maunya naik gaji saja.” Heran, lha itu tugas dia sebagai pengasuh kok, malah milih. Kan bagus toh kalau si Vay bawa mainannya ke MOI, jadi di sana dia tak perlu main di arena video games.
But overall, saya cukup percaya padanya untuk mengurus Vay selama saya di kantor. Vay juga saya ingatkan selalu, kalau dimarahin mbak atau misalnya dipukul, kasih tahu ke mami. Dia juga saya nasihati, jangan terlalu nakal sama mbaknya, soalnya kan takut juga kalau misalnya mbaknya balas mukul dia gimana kan. Vay mengangguk-angguk, dan memang kalau suatu saat dia dimarahi mbaknya dia langsung laporan ke saya sepulang dari kantor. Dan saya akan tanyakan ke mbaknya ada kejadian apa hari itu. Ya mudah-mudahan saja selama saya ngantor Vay baik-baik saja, soalnya kebeneran IP Cam juga mati, jadi gak bisa mengawasi dari kantor.
Tulisan ini untuk mengingatkan saya juga sebenarnya, bahwa anak itu jelas tanggung jawab orang tua. Bukan pengasuh. Memang, cara setiap orang tua dalam mendidik so pasti tidak sama. Latar belakang budaya, status sosial, pendidikan, didikan turun menurun dari orang tua, dan banyak lagi jelas berpengaruh. Tapi tetap dong ya, kalau bisa saat memilih pengasuh itu diseleksi dan juga diawasi benar-benar. Yeah, kalau menurut saya nih, carilah pengasuh yang memang suka bekerja mengasuh anak, yang di kampungnya juga sudah terbiasa mengurus adik-adiknya. Jangan paksakan mbak-mbak model bedinde untuk mengasuh anak karena sensenya tentu beda. Memang tak jaminan sih pengasuh berseragam lebih baik dari yang tak berseragam, jelas tak ada jaminan (karena yang kasus terrekam kamera di atas tadi itu kan pengasuh berseragam), makanya tetap harus diawasi.
Menemani anak bermain di playground mungkin sedikit membosankan. Tapi lama-lama gak kok. Coba deh. Soalnya saya juga mengalaminya. Awal-awal saya coba tinggalkan Vay dan mbaknya di playground. Tapi dasar gak rejeki ya ninggalin anak, gak sampai setengah jam pergi, mbaknya nelepon, katanya Vay kecarian. Saya buru-buru balik. Dan paaaas banget begitu saya masuk ke dalam playground, saya lihat seorang anak sedang menangis sambil dipegangi security karena kecarian mbaknya yang menghilang entah kemana. Langsung deg-degan berat, takut kejadian itu menimpa anak saya.
Akhirnya sejak saat itu saya ikut di dalam, duduk di satu tempat menunggu Vay main. And finally, saya sadar bahwa kehadiran orang tua menemani anak itu adalah hadiah tak ternilai bagi mereka. Lihat saja wajah anak-anak yang ditemani orang tuanya bermain. Matanya berbinar-binar setiap kali lari menyongsong ibu atau bapaknya, melaporkan kehebatannya bermain luncuran atau main lempar bola. Mana mungkin binar seperti itu ada kalau dia ditemani main sama mbaknya. Ya toh?
*Tulisan ini nih, hasil dari duduk di dalam playground nemenin anak main, jadi bisa mengamati tingkah polah para pengasuh. Dan langsung rasanya bersyukuuuur sekali bisa ada di dalam nemenin Vay, setidaknya anak saya ada ibunya yang menemani dan mengawasi.
Saya masih mempercayakan pengasuh pada Ibu yang sudah berumur, mereka lebih mengerti dan terkadang menganggapnya sebagai cucu sendiri. Sampai di jeput segala kalo hari libur 🙂
untung kagak pake pengasuh anak
nice 🙂
saya senang mengikuti postingan anda
postingan yang menarik .
salam kenal yya dan sempatkan mampir ke
website kami.
Hmm,seremm bgt sih mbak
dengan kenyataan yang ada, kita memang jadi gak mudah percaya pada orang asing
harus bener2 selektif juga ya Mbak, soalnya kan buat anak..
makasih mbak postingannya inspiratif
jujur, aku kadang merasa berdosa jika ingat dulu anak2 diasuh/ditemani oleh asisten dari pagi hingga maghrib.. mungkin ini hal dilematis yang dialami banyak perempuan bekerja dimanapun… jika sudah begitu, aku hanya bisa pasrah, berdoa sepanjang tak sedang ada dirumah agar anak2 baik2 saja.. pulang kantor kayak dikejar2 setan karena ingin cepat2 sampai rumah, dan selalu menolak ajakan teman untuk makan/jalan dulu di mal sepulang kerja.. untuk ngurangin ‘dosa’, malamnya aku temani anak2 bermain walau mata udah 5 watt..( dulu anak2 jadi terbiasa tidur larut, menunggu ibunya pulang kerja untuk diajak main.. )… untuk semua perempuan yg bekerja, semoga anak2 kalian baik2 saja dirumah..
Kalau bisa sih anak diasuh oleh keluarga juga, jangan sampai terpaksa sekali mencari pengasuh jika ada anggota keluarga yang masih bisa menjaga.
Pengasuh tu seharusnya baik ya mbak.
gak semena-mena sama anak kecil.