Apa yang kamu ingat tentang guru sekolahmu dulu? Adakah kesan dan kenangan spesial tentang mereka?
Menurut saya, masa remaja adalah masa yang tepat untuk mengisi kenangan di kepala tentang sosok guru. Masa-masa dimana seorang siswa masih sangat labil dan emosional, sementara para guru pun tak mau kalah dan mengimbanginya dengan kegalakan (yeah… kamu boleh bilang : ketegasan) yang luar biasa. Walau sebenarnya toh sedari duduk di sekolah dasar pun juga kita sudah punya kenangan tentang guru ya toh.
Saya juga begitulah, dari SD sampai SMA, punya memori yang melekat di kepala tentang guru-guru saya. Saya bukan murid favorit, dan bukan pula murid pembuat onar (seingatku lho ya!), tapi entah kenapa, saya hampir selalu bisa melihat bahwa guru-guru saya tak pernah jauh-jauh dari yang namaya materi dan jabatan. Yup. Materi.
Waktu bersekolah dasar di Biak dulu, ada malam-malam dimana saya ikut les – kayaknya les matematika deh, lupa juga – sama seorang bu guru, saya lupa namanya, yang jelas ibu ini manis, dia orang Serui. Kami anak-anak lesnya di rumah seorang teman. Di situlah pertama kali saya mengerti artinya pilih kasih, karena si ibu guru tak pernah mempedulikan saya. Anak emasnya adalah seorang anak perempuan, anak pejabat di kota itu. Saya hanya dilirik sebelah mata. Dan ibu guru itu hanya akan bersikap manis, seperti tersenyum manis pada saya hanya kalau kebetulan papi saya yang datang menjemput. Kesan saya padanya: I don’t like her.
Saat duduk di kelas 6 SD di Medan, guru di sana tak begitu kelihatan pilih kasihnya. Meskipun sekolah dasar kami itu termasuk elit juga di jaman itu karena merupakan sekolah swasta khusus anak-anak tentara, tapi orang luar tetap bisa bersekolah di situ. Pernah sekali waktu papi saya datang dengan seragam putih-putihnya (mungkin habis pelantikan apa gitu), dan seorang pak guru langsung cengar-cengir hormat. Saya tak bilang saya tak suka padanya karena pak gurunya baik, hanya saja kejadian itu membekas di kepala saya. Sekali lagi, materi dan jabatan.
Waktu SMP, masuk di sekolah katholik. Kalau saya mengingatnya sebagai anak smp dulu, di sekolah itu memang banyak anak orang kaya. Sekolah kami itu yayasan, jadi baik yang berasal dari keluarga mampu ataupun yang kurang mampu tetap bisa bersekolah di situ, dengan standar uang sekolah yang berbeda (kalau saya tak salah). Orang tua saya tidak termasuk yang berlebihan tapi juga tidak kekurangan, tapi papi sudah wanti-wanti saya saat duduk di kelas tiga smp, harus belajar benar-benar biar bisa masuk sma negeri, soalnya uang sekolah di sma swasta katholik tentu mahal. Saat itu di Medan swasta terbaik memang swasta katholik. Beberapa guru saya di smp ini menurut saya juga bisa dikatakan matrek. Satu kejadian, saat kelulusan dan pengumuman nilai di depan kelas, saya melihat lagi pembeda-bedaan itu. Saya tidak dikasih selamat oleh bu Agnes saat dipanggil ke depan, sementara seorang teman lain yang dipanggil setelah saya dikasih senyuman yang muaniiieeessss sekali. Teman saya itu entahlah apa kerja bapaknya, kalau saya kan hanya anak pns. Padahal NEM saya lebih tinggi satu poin dari dia lho. Saya menyimpan kenangan itu dengan pikiran: baiklah bu, selamat menikmati parcel lah ya!
Memang akhirnya saya bisa masuk sekolah negeri terfavorit di Medan, meski harus seberang rayon. Dari sekolah kami, kalau tak salah hanya ada lima anak saja yang masuk situ. Sebagian besar teman saya yang lain meski NEM nya lumayan juga tapi mereka memang lebih nyaman melanjutkan ke swasta dibanding masuk negeri.
Eh tapi memang ada perbedaan mencolok antara guru di smp dengan guru di sma. Waktu smp, guru-gurunya galak dan tidak segan main tangan. Tapi di sma, guru-guru kami lebih wise dan menahan diri. Ada satu pak guru yang jadi guru saya di smp dan ternyata ketemu lagi di sma. Berbeda sekali dia. Di smp, teman-teman cowok yang bandel langganan dihajar pakai penggaris, tapi di smansa bapak guru itu baik dan sabar, tak pernah main tangan. Makin bertambah usia murid memang harus ditangani berbeda ya.
Ada satu guru yang saya benar-benar tak suka di sekolah ini. Ibu guru, mengajar pmp. Matreknya gak malu-malu. Waktu itu masih kelas 1, dan hari pertama dia masuk kelas, dia langsung memarahi saya di depan kelas karena melihat saya pakai buku pmp bekas abang saya yang menurutnya itu palsu. Besoknya saya dipanggil ke ruang guru. Ditanya bapak saya siapa, kerja dimana, dan nasihat ini itu, yang ujung-ujungnya dengan senyum (sok) manis dia minta kado natal dari saya. Mami saya sampai cemberut saat saya sampaikan permintaan itu.
Selain guru pmp, guru fisika dan guru kesenian saya juga termasuk yang agak-agak silau dengan materi dan jabatan. Guru fisika saya itu, sejak saya duduk di kelas 2, sering meminjam mobil saya di jam sekolah, untuk urusan pribadinya. Seperti yang dulu pernah saya tulis, sejak smp kelas tiga saya sudah nyetir mobil sendiri ke sekolah. Jangan salah tanggap dulu, sampai kelas 1 sma itu saya ke sekolah naik kijang kotak :D. Dan beberapa kali saya parkir jauuhhh banget, karena gak enak dilihat siswa dan guru. Secara waktu itu hanya saya yang bawa mobil ke sekolah. Kalau sekarang sih udah bejibun (kalau istilah teman saya, sekolah itu sudah semakin high class). Di kelas dua itu barulah papi saya beli satu mobil baru untuk kami. Jadi rutenya adalah, setiap pagi saya dan mami berangkat bareng, lalu mami saya turun di kampung keling, lanjut naik becak ke kantornya di Dinas Kesehatan, di petisah, dan saya belok kiri ke Cik Ditiro, sekolah. Papi saya kan kerjanya di Siantar, beliau ada mobil dinas. Abang saya sekolah di Luwuk, tinggal bersama uwak saya di sana. Jadi sayalah yang jadi supir di Medan. Ada untungnya juga sih bu guru sering pinjem mobil saya, nilai fisika saya setidaknya tak pernah turun dari angka 8.
Kalau pak guru kesenian, memang kelihatan sih kalau sangat perhatian dengan siswa yang berduit. Semua yang ditempatkan di OSIS adalah yang orang tuanya berduit. Saya tak suka dengan pilih kasih seperti ini. Pernah sekali waktu saya dipanggil pada jam pelajaran, oleh pak guru kesenian. Tiba di ruang guru, beberapa teman lain sudah berkumpul. Saya lihat semuanya, anak-anak berduit. Jadi begini, di sma kami itu dulu ada siswa-siswa yang bikin klub BoNa (singkatan dari bonafid), dan mendapat perlawanan keras dari guru-guru yang tak suka dengan klub tak jelas. Klub itu dipaksa bubar oleh wali kelas saya yang idealis ( I adore you, bu!) karena dianggap tidak jelas. Ohya, saya – sudah pasti – tak join di klub itu, karena saya jelas bukan anak bonafid dan tak suka dengan anak-anak yang sombong :D. Nah siswa-siswi yang dipanggil ke ruang guru itu ya anak-anak klub gak jelas itu. Muka saya masam waktu itu, karena sudah bisa menebak kemana maksudnya. Ternyata memang ada event khusus apa gitu, dan pak guru menunjuk kami sebagai panitia. Sebelum pak guru selesai bicara, saya beranjak dari situ. Kembali ke kelas. Bodo’lah situ. Cari saja orang lain.
Saya suka dengan pak guru itu, dia baik dan sangat apresiasi sama siswa, meskipun sedikit lebai sama siswa-siswi berduit. Tapi saya pernah dibuat kecewa oleh beliau saat pemilihan ketua seksi seni tari. Saya yakin saya mampu dan teman-teman juga mensupport saya karena dari kemampuan, I was the best dancer at the time. Tapi pak guru malah memilih seorang teman yang lemas (bahkan hampir tak pernah menari), dan tuduhan di hati saya sih dia pilih teman saya itu karena dia anak direktur rumah sakit. Walk out lah kakak.
But…. saat saya kuliah, meski masih menyimpan kecewa di hati, saya pernah sekali datang ke rumah pak guru kesenian yang silau materi dan jabatan itu. Tak bisa saya pungkiri, saya memang mengagumi sosoknya. Pelajaran kesenian bersama beliau itu berkesan karena kami selalu menyanyi dan menyanyi.
Selain guru-guru matrek (maafkan bahasa saya), guru-guru idealis juga banyak. Ada satu guru yang saya ingat karena keidealisannya. Doi guru gambar, lupa saya namanya. Tapi kita menyebutnya Pak Blacksweet, karena kulitnya yang hitam manis. Saya hanya mengenalnya setahun saja karena beliau meninggal karena sakit. Pak Blacksweet selalu menenteng kertas gambar kemana-mana, dan menawarkan pada siswa yang lupa bawa kertas gambar. Jadi kita bisa beli ke dia. Suatu kali pernah beliau dibuat tersinggung oleh teman yang mengolok-olok kebiasaannya menjual kertas gambar. Dia bilang: “Kalian kira saya cari uang dari jualan ini? Tidak dibeli juga tidak apa-apa.†Ah kasihan si bapak.
Lalu ada Pak John Step, guru matematika di kelas tiga. Siswa-siswa suka menggosipkan beliau yang hobi minum. Meski galak juga di kelas, tapi dia ini termasuk idola anak-anak. Info terakhir sih sudah meninggal.
Yang terakhir tentu saja kepala sekolah kami. Kelihatannya tidak galak, tapi beliau tegas juga. Pernah seorang teman saya ditendang di tengah lapangan karena telat datang saat latihan, dan pas pula teman saya itu habis teler (narkoba memang sudah jadi sahabat siswa sejak dulu, kawan). Despite all, semua guru yang dilewati sejak kecil hingga besar memang cukup tepat bila dikatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, karena dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka, telah membentuk pribadi-pribadi yang ada saat ini.
Selamat Hari Guru, buat semua guru dimanapun berada!
beruntung dong saya yah, tidak pernah menemukan guru yang matrek 😀 terutama waktu SMP di Pancur batu sana, mungkin karena wakaseknya bapatua,abang bapa, bisa cari mati kali guru2 yang mau cari duit dari ponakannya kan hehehe
soal pilih kasih itu, memanglah teramat menyebalkan, tapi mo gimana lagi, sepertinya memang sudah hukum alam kali begitu, ya ga sih?! cuma kadarnya ya beda2, kayak karat emas aja hehehe
iya pilih kasih itu memang selalu ada sih… tp masih gpp lah asal bukan karena matrek ya.
Ah, jadi ingat guru matematika yang dulu ngasih les ke saya, sejak itu nilai di raport 8 (walau tak pernah lihat hasil di kertas ujian) =))
Aku ngerti lah kondisi “matre” tadi, dan aku sudah pernah dengar sendiri dari ruang kerjaku di kantor guru. Abuse of power ini yang bikin palak, kak.
Enak kali emg yg les itu ya, nilai pun terjamin hehe…
Alhamdulillah …
Saya tidak pernah menemui guru yang materialistis seperti itu …
Dan jujur saja … hati saya pernah tersayat-sayat ketika saya memergoki seorang guru SD saya dulu … menjadi penjual bakso …
Ya … penjual bakso pikulan … pada sore dan malam hari … Beliau sengaja beroperasi di tempat yang agak jauh dari lingkungan sekolah …
Saya masi ingat betul namanya … Namanya Pak Sri Widada … (di panggil Pak Widodo) guru saya waktu kelas tiga SD …
Apa kabar Pak Widodo …
Semoga bapak sehat-sehat selalu …
Dan semoga kehidupan bapak sudah semakin baik sekarang …
Salam saya Zee
Ah Om, saya jadi ikut sedih mendengarnya..
Tapi saya salut juga Om, karena pak Widodo itu tetap mau berusaha di jalan yg halal ya Om….
masa sih mbak sampai main tangan ya,serem banget ya kalau ketemu guru kaya gitu
iya mbak, klo di smp dulu emg iya guru2 biasa main tangan..
Zee ..kok banyak ketemu guru minus ya…?
aku dulu karena sekolah dari SD sampai SMA di sekolah punya perusaahaan tempat papaku kerja, guru2 juga pegawai perusahaan itu, jadi nggak ada deh guru yang kasih les2an dan jadi matrek
rasanya jaman aku itu tak ada les tambahan, semua sudah dapat cukup di sekolah
Ya begitulah bu…. sekolah di negeri salah, di swasta pun salah, tetap ada yang minus juga.
haduhhh kok guru-gurumu banyak yang minus ya?
Selama aku sekolah di yayasan katolik dari TK sampai SMA tidak pernah ketemu guru yang matrek padahal aku termasuk anak yang menengah ke bawah. Juga bukan ranking satu.Tapi peraturan sekolah memang guru yayasan itu tidak boleh sama sekali memberikan les di luar pelajaran.
Waktu SMA ada guru matematika juga yg menawarkan les, tp aku gak mau… karena udah bisa ketebak :D.
Kadang kalau dipikir-pikir, ga semua gu
Hadeuh, udah kecepencet aja dah ini,
Kadang ya kalau dipikir-pikir, ga semua guru layak disebut guru. Mengingat kelakukan mereka yang kadang matrek. Tapi akhirnya malah mereka yang memberikan hidup kita warna, melihat sisi lain manusia yang dianggap sempurna karena harus digugu dan ditiru.