Seperti Sisa Cappucino di Dasar Cangkir

Seperti Sisa Cappucino di Dasar Cangkir

[soliloquy id=”7437″]

Teringat ketika bertemu seorang sahabat, akhir tahun lalu. Sahabat saya ini dulu teman lama waktu di Medan namun kemudian ikut suami pindah ke Sorong. Saat itu saya bertanya, bagaimana Elz, kehidupan di Sorong? Saya ingin tahu, bagamana sih perasaan orang kota yang pindah ke daerah yang jauh dari hingar bingar kehedonan dunia ini, berbanding terbalik dengan saya yang menghabiskan masa kecil di daerah, lalu menghabiskan masa remaja di kota besar.

Lalu Elz bercerita kalau di sana memang jelas beda dengan kota besar. Karena waktu luang juga cukup banyak, dirinya dan keluarga sering mengadakan pertemuan, dengan tujuan yang positif, berbagi ilmu dan apa pun yang positif untuk anak-anak penduduk asli. Lalu ceritanya lagi, penduduk asli di sana adalah orang-orang yang tak pernah lupa untuk bersyukur atas apa yang mereka miliki. Selalu bersyukur dan juga berdoa. Saya tak tahu apakah sekarang ini Elz sudah terbiasa dengan perubahan kehidupan, dari kehidupan di kota besar menjadi kehidupan di kota kecil, namun entah kenapa, saya bisa merasakan betapa tenteramnya kehidupan itu. Barangkali karena saya teringat pada kehidupan masa kecil kami di Biak dulu, yang juga selalu mensyukuri apa yang ada. Karena yang ada pun sudah mencukupi, meski tak berlebihan.

Luar biasa betapa itu sangat berbeda dengan yang sekarang saya jalani di kota besar ini. Mengukur jalanan sejak pagi demi mengejar materi, dikelilingi kesombongan gaya hidup kota besar yang sangat penuntut, berselimutkan stress dari pagi hingga malam yang membuat kepala mau meledak dan gigi ingin menggigit gelas (!). Bahkan dengan semua kemegahan yang disediakan kota ini pun, seringkali masih mengeluh dan tak puas.

Malam tadi, ketika taxi pesanan tiba di depan pagar dan kami sudah naik di dalam, ternyata supir taxi bilang dia tak tahu jalan. Lalu ternyata taxinya tak pakai GPS. Saya langsung mengernyitkan dahi, “Bagaimana sih bapak ini, jadi supir taxi tapi tak tahu jalan. Satu bisikan menganjurkan untuk turun saja dari taxi, tapi satu bisikan lagi bilang “Sabar, kan handphonemu bisa GPS.” Oke, akhirnya taxi jadi berangkat dengan bantuan GPS dari handphone saya.

Kami akan menuju ke daerah Kelapa Gading, karena saya, tante saya, juga Vay akan bertemu dengan tante saya yang lain, yang baru tiba dari Sorong dan besok akan lanjut ke Medan untuk ketemu adiknya (which is mami saya). Pertemuan ini memang dibela-belain meski jauh, karena kita akan bertemu tamu jauh yang tak bisa sering-sering sowan dikarenakan jarak yang tak mudah ditempuh apalagi si tante ini juga sudah sepuh.

Setelah mencari-cari, akhirnya ketemu juga hotel kecil tempat tante saya menginap. Kami turun dan akhirnya bertemu dengan tante saya di kamarnya dengan cucu-cucunya. Mengobrol, saling menanyakan kabar. Si Tante cerita, tadinya memang beliau ingin ditemani oleh salah satu anak atau cucunya ke Medan, namun karena tak ada yang bisa menemani, ya sudah sendirian saja. Toh sampai di Jakarta kan juga akan dijemput. Katanya, anaknya yang di Surabaya sempat khawatir, apa maminya berani terbang ke Jakarta sendiri? Lalu si Tante melanjutkan, “Tante bilang, tidak apa-apa to. Kan yang penting kita berdoa biar Tuhan kasih kekuatan.” Lalu ceritanya lagi beliau sempat capek karena tiba di terminal harus jalan kaki jauh dari pesawat turun ke landasan lalu masuk lagi ke gedung lalu jalan sampai keluar dan itu jauh. Pastilah ya, compare to bandara di Sorong. Saya katakan, berikutnya tante bisa minta dibantu petugas pakai kursi roda kalau memang kaki sudah capek sekali.

Keluar dari situ, hati saya sedikit melunak. Perkataan si tante itu membekas di kepala saya. Beliau sangat ikhlas dengan hidupnya, beliau juga percaya bahwa doa akan membuat hatinya lebih tenteram karena tahu Yang Di Atas akan selalu mendampingi umatnya. Dan itulah yang membuat ingatan saya kembali pada cerita Elz itu, tentang orang-orang yang ikhlas dan tak pernah lupa bersyukur.

Di dalam taxi, saya merasakan perlahan-lahan rasa sesak di dada yang dibawa sejak dari kantor tadi mulai melunak. Saya bisa melihat dengan jelas sekarang kalau si bapak supir ini sabar dan helpfull (padahal saya sempat judes gara-gara dia tak tahu alamat), terbukti dia mau diminta menunggu di hotel itu karena tahu nanti saya akan susah cari taxi lagi. **Ah kau Zy memang Si Kepala Batu yang pemarah.

Seperti sisa susu dari cappucino yang habis diminum, bersisa di dasar cangkir. Itu sudah tinggal ampas, tak tertoleh lagi.

Kalau kata orang bijak, kuncinya satu. Berdamai dengan diri sendiri.

Thanks sudah berkunjung ke TehSusu.Com. Subscribe to Get More. Enter your email address:Delivered by FeedBurner

25 Comments

  1. mt

    Aih, Tante sang guru kehidupan. Betapa ringan menjalani kehidupannya.
    btw penuturan kisahnya seperti menikmati cairan capuccino mulai dari bibir, lidah,melintasi tenggorokan.

    • Zizy

      Ah kang MT. You are the best life story teller.

  2. Tak kirain ini tadi ngebahas ‘Cappucino’
    eh ternyata malah dapat pelajran hidup baru dari si mbak, makasih ya mbak..
    Ngingetin aja “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yg sabar” 🙂

  3. akupun srg ga sabaan dan marah karena hal2 yg sepele gini..tp sepertinya ini sjk tingga di jkt sih mba ;p..kyknya dulu pas masih tinggal di aceh, aku masih bisa dibilang lumayan sabar.. mungkin ritme hidup antara kota besar dan kecil yg bikin kita berubah juga ya

  4. Dan kalimat terakhir itu luar biasa banget, berdamai dengan diri sendiri…ah betapa susahnya hal sederhana ini dilakukan…

    Mbak, saya jadi ngiler pengen cappucino nih lihat fotonya pd postingan Mbak ini…

    Salam,

  5. dan itulah yang paling susah.. berdamai dengan diri sendiri, karena diri ini lah yg egonya paling besar

  6. Iya ya mbak. Yang perlu berteman itu dengan hati sendiri. Kalau sudah ok untuk kehati yang lain jadi lebih terbuka 😊

  7. tapi kadang (sering bahkan) berdamai dg siri sendiri itu susah ya, Kak *itu aku sih* hiks hiks 🙁

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *