Saya bukan penggemar kopi. Maksudnya saya tidak akan minum kopi hitam pekat itu kalau tidak karena kopinya memang enak atau karena terpaksa. Terpaksa di sini misalnya saat sedang ikut training or seminar di mana gitu, yang tersedia sebagai “pengusir kantuk†adalah si kopi pekat itu.
Tapi, kalau kopi yang di-mix ini itu, saya masih mau mencoba. Favorit saya adalah Caffe Latte. Dan minuman jenis ini hanya saya pesan kalau misalnya lagi kongkow dengan teman or keluarga di kafe. Yah, masa udah ke kafe minumnya teh manis juga, pakai es pula. Tinggal pesan mi rebus deh :p, hehehee…..
Kenal minuman begini waktu Starbucks masuk ke Medan bertahun-tahun yang lalu. Waktu itu semua menu kopi di Starbucks ditanyain ke baristanya dan juga dicobain. Dulu saya suka Latte Macchiato, lalu lama-lama jadi Caffe Latte. Actually belakangan ini saya jadi lupa apa sih bedanya kedua minuman itu. Padahal namanya mirip-mirip. **Padahal kalau ditranslate, Caffe Latte itu ya kopi susu, toh! LOL.
Kemarin sore saya bertemu dengan sahabat yang baru pindah ke Jakarta dan ketika kami nongkrong di sebuah kedai kopi Sarinah, lagi-lagi saya memesan Caffe Latte saat si mas pelayan bertanya. Seperti sudah otomatis saja, kenapa coba gak pesan Macchiato, padahal kan ada juga yang lebih berasa, pakai esens karamel misalnya. Nah, karena itulah malamnya saya coba googling, berusaha menyegarkan kembali ingatan tentang apa sih bedanya antara Macchiato dengan Caffe Latte. And I found the different between, di wikipedia.
Bedanya ada di takaran espresso alias kopinya. Pada Caffe Latte, rasa susu lebih terasa karena takaran antara susu dengan kopi adalah 3:1. Sementara pada Macchiato, kandungan espressonya lebih banyak. Jadi untuk 1 shot espresso, susu yang ditambahkan maksimal ½ shot. Barista biasanya memberi tanda di minuman agar orang bisa tahu bahwa minuman itu adalah Macchiato. Lihat saja dari “markâ€Â dari foamed milk, yang – kalau baristanya canggih – membentuk gambar tertentu dibentuk di atas minuman. Itu menunjukkan bahwa minuman itu memiliki sedikit susu di dalamnya.
Nah.. pantes kan lidah saya lebih suka Caffe Latte. Karena rasanya memang tidak terlalu keras. Anyway, kalau sudah ada ilmu sedikit, barangkali saya sudah bisa nih ya coba-coba jadi barista. ^_^
Kemasan penyajiannya menarik juga ya Zee
ini pasti ada sentuhan taste seni dari baristanya nih sepertinya 🙂
Yang jelas … for me …
Teh Panas Manis …
belum tergantikan
hahaha
salam saya Zee
setuju sama om enha…teh manis panas is the best…:-)
wahh, klo saya sih kopi aja saya embat mbak zee. hehe maklum saya kan suka begadang. 😀
kopi instan biasanya gak begitu kerasa efeknya mbak, jadi gak papa di konsumsi rutin, kalau kopi hitam atau kopi tubruk yang ampasnya buanyak sekali, hehe, musti cari momen yang pas tubuh siap buat minum itu, ngomong2, latte juga enak kok. 😀
Dulu saya penikmat kopi (yang campur-campur juga sih 😀 ), tapi semenjak kena gastritis dan mual setelah minum kopi, jadi berkurang deh. Setidaknya berani minum kopi setelah makan besar 😀
Wah kalau memang ada sakitnya, tentu tak bisa nikmat lagi minum kopi ya. 🙂
Wah, di aceh ada kopi yang super melek, namanya kopi ulee kareng. dicoba lah!
Haha, pas banget baca postingan ini sambil minum caffee latte.
Saya suka kopi, baik yg hitam pekat maupun yg di-mix. Tapi akhir-akhir ini sedang kerajingan mencoba berbagai macam jenis kopi hitam. Bukan mau sok-sok ngerti kopi tapi penasaran dgn cerita si pacar tentang kenikmatan menghidu segelas kopi.
A good cup of coffee can heal everything 🙂
Sudah coba kopi kok tong Ma….? Kopi Simalungun.
Wueleh, ada ya kopi simalungun #norakdetected
Sejauh ini masih nyoba kopi mainstream yg mudah didapatkan di Jakarta. Itu harus beli di Simalungun ya? Kira-kira ada ga ya di Jakarta
gak tau kenapa ya mbak, aq masih tetep demen sama kopi yg hitam pekat dan agak pahit…
soalnya kebiasaan dari kecil nemenin Ayah minum kopi
kalo kopi yg dimix gitu aku kurang bisa menikmati
minumnya kayak minum aer, cepet habis..
glek..glek..hehhehe..
tp aq mau nyoba yg ini ah, siapa tau resep dr mb zee cocok buat lidahku