Adalah sebuah jalan kecil dan pas-pasan berupa pertigaan ala tusuk sate yang harus saya lewati hampir setiap hari bila mau pergi keluar dari perumahan. Saya katakan hampir karena kadang kalau saya sedang malas, saya akan memilih lewat jalan lain, yang lebih besar. Tapi jalan ini jadi pilihan pertama karena aksesnya ke jalan raya lebih cepat.
Beberapa tahun lalu saat baru pindah ke Jakarta dan menemukan kenyataan sempitnya jalan yang harus dilalui setiap hari, saya benci sekali dengan jalan itu. Bayangkan saja, jalannya itu dimulai dengan permukaan yang lebih rendah, dan di tengah sana menanjak, lalu kembali turunan, dan sempit sekali. Kanan kiri langsung pintu pagar atau tembok samping rumah orang. Bila yang lewat bukan orang situ, pasti akan terjebak di dua titik karena tidak hapal; saat akan membelok masuk ke jalan tersebut dan berpapasan dengan mobil dari arah berlawanan, atau saat di puncak jalan ketika baru sadar ada mobil yang muncul dari bawah. Apalagi kalau ada yang parkir di tepi jalan dengan tidak sopan, duh pusing sudah.
Saya selalu berdoa dulu setiap akan lewat jalan itu, terutama saat pulang kantor, berharap di ujung bawah sana tidak ada mobil yang mendadak mau belok. Sebenarnya ada kaca bulat besar yang dipasang di simpang jalan, tapi kaca itu tidak berfungsi juga alias tidak ada yang peduli. Toh kalaupun ada mobil dari arah sana, tidak bisa ditebak siapa yang akan mengalah. Dan, anak-anak kecillah yang jadi pengatur jalan di situ, berharap mendapat gopekan dari yang lewat. Jadi ya, sekarang setelah bertahun-tahun lewat jalan itu, saya pun hapal sudut mana saja yang bisa dipakai untuk menyempil tanpa menyenggol bak sampah atau pot tanaman.
Awalnya benci, lama-lama saya suka dan nyaman saja lewat situ. Jalan kecil itu selalu bercerita dan saya menyukainya. Sekali waktu saat saya pulang agak malam, saya berpapasan dengan keluarga pemulung. Terkejut hati ini karena di tengah penerangan yang temaram, terlihat dua anak kecil berbaring bersebelahan di dalam gerobak yang penuh entah oleh apa saja, tertidur pulas sementara pria dewasa itu menarik gerobak dibantu istrinya. Refleks saya lihat anak saya yang juga sedang pulas di sebelah saya. Si pria berusaha menarik gerobaknya semakin ke pinggir, tentu maksudnya agar kami bisa leluasa lewat, meskipun sebenarnya dia tidak perlu melakukan itu karena jalanan masih cukup luas.
Lain waktu, di pagi hari juga suka ada keluarga pemulung lainnya yang selalu lewat jalan itu. Seorang ibu yang sudah  tua dan selalu mengenakan topi gunung – yang bulat dengan tepian melingkar – menarik gerobak ditemani cucunya yang juga mengenakan topi. Di satu sisi salut dengan semangat si nenek yang terlihat masih kuat namun di sisi lain trenyuh karena kalau anak perempuan itu harus menemani neneknya, apa dia sekolah? Tapi ketika di scene berikutnya saya lihat nenek dan cucu itu sedang tertawa bersama, hei… ternyata mereka bahagia juga kok! Tidak ada alasan untuk tidak tertawa kan, meskipun itu menertawakan nasibmu sendiri.
Para tukang sampah yang mulai berkeliling setiap pagi, adalah para pekerja keras yang mengajarkan betapa rezeki harus diusahakan dan hidup harus disyukuri. Mereka mengangkat semua kotoran dan sampah tanpa jijik, meski kadang pemilik rumah enggan memberi tip tambahan untuk mereka. Membelalak kaget saat mendapatkan dua puluh ribu rupiah sebagai tip karena sudah membantu memotong pelepah pohon pinang yang tersangkut di kabel. Katanya penuh haru, “Ini kebanyakan, Pak.â€
Sore hari, di sudut bawah jalan, di dekat sebuah pos hansip — yang berjaga untuk beberapa rumah besar di situ sepertinya — ada bapak tua penjual buah. Gerobak dorongnya hanya berisi pisang dan pepaya saja, yang kadang pisang jualannya itu terlihat sudah terlalu matang — mungkin karena sudah berhari-hari tidak laku.
Malam hari di akhir minggu adalah ceritanya anak tanggung yang pada nongkrong. Dan herannya mereka nongkrong di ujung jalan, mungkin maksudnya biar pemandangan bisa ke mana saja; kanan, kiri, dan depan. Semakin malam tentu semakin ramai, dan kehebohan itu terdengar sampai ke rumah kami yang berjarak hanya tiga rumah dari pertigaan itu. Kadang teriakan-teriakan ribut disertai langkah-langkah cepat orang berlari, sepertinya antar geng sedang berantem.
Saat para cowok mengapeli pacarnya dan memarkir mobil sembarangan di depan pagar, di situlah cerita emosi dimulai. Jalanan semakin sempit, plus bila mereka yang pacaran itu juga memanggil tukang nasi goreng dok-dok untuk mensupply makan malam mereka.
Lalu lintas di jalan itu juga akan semakin ramai apabila jalan raya di depan sana macet parah, sehingga banyak kendaraan dari luar yang memilih masuk lewat jalan komplek. Inilah fase tertinggi emosi jiwa, karena kita harus ekstra hati-hati memperhitungkan setiap inchi. Pernah sekali waktu saya terjepit karena ada mobil dari arah seberang yang terlalu ke tengah mengambil jalan, sampai saya harus menutup spion agar saya bisa maju pelan-pelan. Kaca jendela pun dibuka agar bisa jelas mengintip jarak. Di belakang mobil tersebut mengekor juga sebuah mobil dinas warna hijau tua dan berplat dasar hijau juga, dengan kaca jendela terbuka. Saat akhirnya saya lewat dan jendela kami berpapasan, supir mobil hijau itu meleceh begini: “Huh! Gitu aja takut!†Eh kok ‘sopan’ kali kau, kawan. Emosi jiwa, refleks saya bentak balik. “Apa lu, nyet!†Udah, gitu aja. Sampai rumah langsung minum air putih dua gelas.
… … …
Dan sore tadi, jalan itu kasih cerita baru lagi ke saya. Gerbang besi besar di salah satu sisi jalan, yang selama ini tertutup rapat dan hanya kelihatan sembulan dedaunan dari pohon-pohon besar di dalamnya, terbuka. Ya. Gerbang itu terbuka! Di dalam sana, ada rumah besar yang kelihatan setua pohon-pohonnya. Wow. Setelah bertahun-tahun, akhirnya saya tahu kalau di dalam sana ternyata ada penghuninya, manusia, dan sudah tua. Selama ini saya kira isinya makhluk halus bo’.
(ini adalah #repost backdated, karena database hilang dari hosting, mohon maaf atas komentar teman2 yang hilang)
Pingback: dan.. Para Pemenang.. « Celoteh Niee
zizy…postingan ini, bikin trenyuh…terharu…berkaca kaca..dan mengingatkan bahwa betapa beruntungnya kita yaa..
pengen nangis baca tentang keluarga pemulung…jadi inget anak anak, pas baca kalimat…ini kebanyakan pak, Ya Allah…maknyess…
bener bener penuh cerita ya zy…dan terekam serta terceritakan dengan baik olehmu…as always…postinganmu selalu bermakna… 🙂
iya benar, ngelihat begitu pasti deh jadi sadar kalau kita harus banyak2 bersyukur…
Emg jalan jakarta kecil2 ya mbak. makanya sampai skrg aku blm berani bawa mobil sendiri di jakarta. perlu keahlian diatas rata2 sepertinya.. 😀
Kalau di Jakarta memang awalnya agak deg2an nyetir karena rata2 ngebut ya. Tp krn skarang macet jadi semua ga bisa ngebut hahaha…. jadi aman aja nyetir, kecuali di jalan kecil :D.
walaupun jalan yang kecil tapi mempunyai cerita yang besar yah 😀
di deket rumahku jalanya gede tapi sepi terus -,-
Jalan gede yang sepi itu seperti rumah orangtua ku di Medan. Enaknya sih jadi bisa santai sepedaan atau jalan sore… 🙂
Cerita yang menarik selalu ada sisi positif yang bisa diambil hikmahnya
Cwerita soal jalan membuat saya teringat rumah famili. Saya kurang sreg kalau berkunjung ke sana karena tak ada tempat perkir dan melalui jalan yang sempit. Akibatnya mobil harus di parkira jauh di sana, di jalan raya. Bah..ini tentu kurang nyaman dilihat dari nsegi pengamanan.
Benar jeng, selalu ada cerita di mana-mana yang bisa menjadi bahan pelajaran dan renungan.
Ketika di Magelang dan melaksanakan longmars, betapa dongkolnya hati ini, ketika saya baru saya turun dari ketinggian ehhhh..di depan sana saya lihat teman-teman sudah mendaki lagi…he he he he..banyak amat ya turunan dan tanjakan yang bisa merontokkan mental kita. Hidup memang seperti itu, ada kalanya naik dan juga turun yang harus disikapi dengan bijak.
Salam hangat dari Surabaya
Saya pun demikian PakDe, kalau tahu tempat yg mau dikunjungi jalannya sempit, rasanya gak sreg, krn kurang nyaman.
Makasih PakDe sudah main ke sini 🙂
terharu lah mbaca tentang “pengangkut sampah”
semoga saja mereka selalu diberikan ketabahan dalam menjalani hidup ini…
Amiiinn…