Kamu Pasti Bisa Asal Kamu Mau

Saya ingin bercerita tentang perjalanan hidup seorang pemuda. Ini postingan yang akan sangat panjang sekali, jadi saya sarankan membagi waktu untuk membacanya dahulu baru berkomen :).

Dahulu kala, di jaman ketika Indonesia masih hangat dengan isu Partai Komunis Indonesia, ada seorang anak muda – pemuda batak—pergi bersama abang tertuanya naik kapal ke Irian Jaya. Tujuan mereka adalah kota Jayapura. Abang tertua mendapat misi dari ayah mereka agar membawa adiknya, sebut saja D, ke pulau terpencil itu, sebagai “pelajaran” bagi D. Kenapa begitu? Usut punya usut, ternyata D sudah sangat meresahkan kedua orang tuanya dengan kenakalannya. D menamatkan sekolah menengah atasnya di Pontianak, dengan tinggal menumpang pada kakak perempuan satu-satunya tertua, sementara kedua orang tua dan sebagian saudara-saudaranya tinggal di Jakarta. Memang sedari kecil mereka tinggal di Jakarta, kira-kira saat dia berusia 11 tahunlah, orang tuanya mengajak mereka sekeluarga pindah ke dari Pematang Siantar ke Jakarta.

Semasa remaja, D menunjukkan sifat labil dan emosional khas seorang remaja pada umumnya. Dia tidak pernah takut dengan siapapun, kerjanya berkelahi saja selama SMA bahkan sejak dia duduk di bangku SD saja dia sudah berani menantang abang-abangnya berkelahi (D anak ke-6 dari 7 bersaudara), dan kakak perempuannya pun angkat tangan karena tak kuat menasihati. Pernah saat berkelahi, D pulang ke rumah untuk mengambil pistol abang iparnya yang hakim untuk menakut-nakuti temannya, sampai harus disusul oleh salah satu abangnya sebelum dia melakukan hal yang tak diinginkan.

Tak lama setelah D menamatkan SMA-nya, kedua orangtua kemudian mengambil satu keputusan. Kirimkan dia ke Irian Jaya, biar dia rasakan dulu bagaimana susahnya hidup, begitu kata si ayah. Tentu saja rencana itu tidak dikatakan langsung pada D, hanya kepada abang tertua yang mengemban misi tersebut. Tibalah hari yang ditentukan, dan mereka berdua pun pergi menumpang kapal laut menuju kepulauan Irian Jaya yang masih terpencil itu.

Tiba di kota Jayapura, mereka berdua mulai mencari-cari kenalan untuk bisa menumpang hidup. Bertemulah mereka dengan seorang bapak orang batak juga, pemilik bengkel sederhana di Jayapura. Rencananya mereka akan menumpang hidup sementara sambil mencari kerja.

Tapi belum lama di Jayapura, si abang pergi. Dia kembali ke Jakarta meninggalkan D seorang diri di kota yang sangat asing baginya. Ternyata si abang pulang karena mendapat kabar bahwa dia menjadi incaran aparat karena diduga terlibat partai terlarang, padahal itu tidak benar. Cuma memang style si abang ini parlente sekali – dengan rambut selalu dicat merah kayak bule dan kacamata hitam, dia terlihat terlalu keren dan mencolok. Di jaman politik bergejolak seperti dulu, janganlah berpenampilan terlalu nyentrik kalau tidak ingin was-was kena ciduk.

D sadar akhirnya bahwa dia telah dikerjai abangnya, dibawa jauh-jauh ke Irian Jaya, tapi lalu ditinggal. Kali ini dia benar-benar sendiri, betul-betul bisa dibilang sebatang kara di negeri orang tanpa keluarga kecuali si pemilik bengkel yang baru dikenal. Akhirnya, tinggallah D sendiri di Jayapura, dia menumpang hidup sambil bekerja di bengkel milik bapak yang kemudian dia panggil Tulang (paman).

Tapi D adalah pemuda yang berkemauan keras, berani, dan sangat percaya diri. Aku tidak mungkin mati hanya karena ditinggal sendirian di Irian sini, begitu katanya pada diri sendiri. Tunggu saja, aku akan buktikan pada keluarga di Jakarta nanti siapa aku, janjinya pada diri sendiri dengan penuh emosi.

Biarpun nakal dan hobi berkelahi, D adalah orang yang sangat mudah bergaul, sebentar saja dia sudah punya teman-teman orang Irian asli dan bersahabat dengan mereka. Kembali dia menjadi preman di sana, menjadi kepala geng dari kelompoknya. Berangkat dari keinginannya menjadi seorang tentara, D sempat melamar untuk masuk AD ketika ABRI membuka pendaftaran.  Tapi dari dua kali mendaftar, dua kali pula dia gagal, dan selalu gagal di bagian psikotes. Well, bisa ditebaklah kenapa.

Tak lama kemudian dia mendapat kabar bahwa sebuah akademi pemerintahan membuka pendaftaran penerimaan siswa baru. Segeralah dia pergi kesana dan mendaftarkan dirinya. Dahulu kala, menjadi seorang pamong praja adalah sebuah kebanggaan dan dia pun menyimpan impian itu dalam hatinya. Mungkin aku memang tidak cocok menjadi tentara, tapi siapa tahu aku berbakat di sini. Aku pasti bisa, batin D optimis.

Dan ternyata dia berhasil masuk dan diterima. Hati D membuncah oleh rasa senang dan bangga. Sekarang dia sudah jadi siswa APDN, dia tinggal di asrama, diberi uang saku, dan masih bisa berdisko sesekali dengan teman-teman. Walaupun D adalah pria bertemperamen, tapi dia juga hobi ngelucu. Pernah ada peristiwa lucu terjadi. Sore itu ada pertandingan bola persahabatan antara mahasiswa UNCEN dengan taruna APDN, dan kala itu para pemuda sedang berkumpul santai di lapangan sambil berbincang-bincang. Tiba-tiba terdengar suara bentakan, “Siaaapp!” Kaget bukan alang kepalang para pemuda Uncen yang sedang duduk-duduk itu. Pemuda-pemuda Irian itu langsung melompat berdiri dan bersiap. Dalam hati ada rasa takut dan cemas, jangan-jangan pemuda cepak berbadan tegap yang barusan datang itu adalah intel. Tidak ada satupun dari mereka yang mau diciduk dengan alasan apapun, karena kalau sampai kena angkut sama intel, alamat susah kembali. Situasi negara yang belum stabil mengharuskan setiap orang wajib waspada. Seorang pemuda Uncen bernama Michael memberi hormat ketika pemuda cepak itu lewat di depan mereka.

Ehhhh tak lama ketika pertandingan dimulai, ternyata pemuda cepak itu juga ikut bermain bersama tim APDN melawan tim UNCEN.  Hahaha… Michael melongo dan mengumpat dalam hati. Wah saya kena tipu, ternyata dia itu masih siswa juga. Pemuda cepak itu adalah D. Dan tak lama setelah pertandingan persahabatan selesai, Michael dan D berkenalan, dan menjadi sahabat.

Beberapa tahun berlalu, D pun berhasil menamatkan sekolahnya. Kali ini uang di kantongnya sudah lebih dari cukup, dan dia bisa pulang ke Jakarta untuk bertemu orang tuanya. Maka berbekal rasa rindu pada orang tua, D pun berangkat ke Jakarta, lengkap dengan seragam praja dan topi yang selalu berada di kepalanya. Ini saatnya dia penuhi janjinya, membuktikan pada orang tua dan saudara-saudaranya bahwa dia bisa mandiri biarpun dibuang ke ujung dunia sekalipun. Nama yang disematkan di dadanya pun sudah ditambah dengan titel “Tuan”. Inilah salah satu bukti kepercayaan diri D. Kakek buyutnya adalah raja Bandar Pulo, sebuah desa di Simalungun sana, dan sebagai keturunan langsung dia berhak menggunakan nama “Tuan” tanpa siapaun berani menggugatnya. Itu adalah gelar yang tidak bisa dipakai oleh orang lain yang bermarga sama kalau bukan keturunan langsung dari raja.

Turun dari kapal, D naik bis ke terminal bis yang lain untuk lanjut ke rumah orang tuanya. Waktu di terminal, dia melihat seorang copet yang sedang mengincar seorang ibu. D mendekatinya dan membentaknya dengan bahasa batak yang artinya adalah :  “Jangan kau ganggu dia, orang kita juga itu!” Si Copet keder dan berlalu.

Dan tibalah dia di depan pintu rumah. D berdiri dengan hati dagdigdug, lalu menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. Sudah beberapa tahun dia tidak memberi kabar pada orang tuanya, dan ini adalah kejutan untuk mereka dan juga dirinya. Saat daun pintu terbuka, seraut wajah yang mirip dengan wajah D tapi terlihat lebih tua berdiri di sana. Itu adalah ayahnya. Wajah tua itu terbelalak dan terkejut bukan main, menatap sosok pria keren berseragam di depannya. Mungkin awalnya dia kira ada seorang aparat nyasar ke rumahnya. Tapi bukan. Itu adalah anaknya. Tangannya bergetar saat terulur, lalu dipeluknya erat tubuh anaknya dengan penuh haru. Saking eratnya pelukan itu, topi di kepala D sampai bergeser. Suaranya bergetar menahan tangis, sungguh dia tak menyangka bahwa anaknya yang dulu bandel ini ternyata memang bisa jadi orang. Dulu dia pikir anaknya pasti akan merengek minta dijemput untuk kembali ke Jakarta, tapi ternyata tidak. Meskipun dia berencana memberi anaknya pelajaran, tapi tak urung hatinya dirundung rasa cemas karena tidak kunjung mendapat kabar. Anakku memang pemberani, anakku sekarang sudah jadi seorang pamong praja, senyumnya bangga. Ketika dia membimbing D masuk, gantian ibunya yang terkejut melihat D. Tangispun meledak, karena rindunya seorang ibu yang berpisah bertahun-tahun dari anaknya tanpa kabar. Kabarpun beredar ke semua saudara yang ada di Jakarta dan sampai ke si kakak perempuan di Pontianak. Sang kakak tersenyum haru mendengar kabar itu dan juga menyampaikan kabar itu pada suaminya sang hakim. Kelak ketika sang hakim telah menjadi Hakim Agung di negeri ini (yts makelaku Bismar Siregar), dan mereka pun sering berkumpul bersama di rumah abang hakim, biasanya acara kumpul keluarga itu akan diisi dengan mengenang cerita-cerita lama, salah satunya adalah tentang kebadungan D yang sang terkenal ke seantero sanak kerabat. Abang hakim inilah yang kemudian menjadi abang kesayangan D yang selalu dihormatinya dan juga menjadi tempatnya mengadu.

D tidak pesiar berlama-lama di Jakarta, dia harus kembali ke Irian Jaya untuk mengemban tugas barunya sebagai Camat di sebuah kecamatan di kota Merauke. Kembalilah D ke Irian, ke kepulauan yang sudah sangat dicintainya itu. Ternyata di Merauke sana dia bertemu dengan jodohnya, seorang gadis Ambon Manise yang sekolahnya juga dulu bertetangga dengan sekolahnya di Jayapura. Gadis manis berambut panjang dan tebal itu adalah seorang bidan yang ditugaskan di Merauke. Mereka pun akhirnya menikah dengan hanya didampingi oleh orang tua dan keluarga si Gadis saja. Di Merauke itu mereka tinggal dan mengarungi kehidupan rumah tangga sampai kemudian dikaruniai sepasang putra dan putri yang sehat.

Dua tahun kemudian, D kembali ke Jakarta dengan keluarganya untuk melanjutkan sekolah di IIP. Dia harus mendapatkan gelar penuh agar karirnya bisa terus naik. Bersama keluarga kecilnya, mereka mengontrak rumah sederhana di Pasar Minggu, dekat dengan kampusnya. Sahabatnya Michael masih di Jayapura dan juga sudah jadi pegawai negeri. D sudah pasti akan kembali ke Irian Jaya. Dia sekolah di sana dan pasti akan dikembalikan lagi ke sana. Tamat IIP, D kembali ke Merauke bersama istri dan anak-anaknya. Di sana dia menjadi Camat yang disegani. Pembawaannya yang tegas tapi penuh kasih sayang membuatnya dicintai oleh warga dan stafnya. Dia masih muda dan bersemangat. Kerjanya bukan hanya duduk di kantor saja tanda tangan ini itu, dia turun langsung ke setiap desa, masuk keluar hutan, ikut berburu babi bersama warga (walaupun dia tidak makan babi ya), juga main voli dan main bola bersama-sama warga. Suatu saat ketika D sedang inspeksi warga ke hutan-hutan, dia bertemu seorang ibu yang sedang memangku kedua anaknya yang  kembar. Ibu itupun meminta pada Pak Camat agar mau membawa salah satu anaknya karena dia sangat miskin dan tak sanggup membesarkannya. Hati D tersentuh. Dia pun kembali ke kota sambil membawa anak berambut keriting yang ringkih itu. Anak itu kemudian diberi nama Tigor dan tinggal di rumah bersama dengan kedua anak kandungnya. Namun Tuhan berkehendak lain. Setahun kemudian Tigor mendadak sakit panas dan setelah dirawat beberapa lama di rumah sakit, nyawanya tidak tertolong lagi. Dia pun pergi dalam usia yang begitu muda. Dengar punya dengar, saudara kembarnya yang kemarin tinggal di hutan juga sudah berpulang lebih dulu.

Perjalanan karir D kemudian mengharuskannya berpindah-pindah kota. Dari Merauke lalu ke Biak, dan lalu pindah lagi ke Wamena. Dia sudah menjelajahi hampir semua pulau besar di Irian Jaya, dan menjalin pertemanan juga dengan banyak orang.

…………………

Dua puluh tahun tinggal di Irian Jaya, D akhirnya memutuskan untuk memboyong keluarganya pindah ke Sumatera. Dia ingin agar kedua anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih baik, mengingat saat itu mutu pendidikan di Irian Jaya masih sangat kurang. Ia mengurus sendiri semua keperluannya, mulai dari surat pindah dirinya, surat pindah istrinya, dan keperluan lain, sementara istrinya mengurus perabotan rumah yang mau dijual.

Akhirnya mereka pun pindah. Menumpang pesawat Hercules sampai ke Jakarta, lalu menginap sebentar di rumah orang tua D, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan naik mobil sedan bekas yang dibelinya untuk transport menuju kota Medan. Mereka berlima : dia, istrinya, kedua anaknya, dan iparnya. Perjalanan panjang yang melelahkan ditempuh selama empat hari, tapi dinikmatinya karena ada keluarga yang menemaninya.

D mendidik anaknya dengan penuh cinta tapi juga keras. Dia selalu mengajarkan pada anak-anaknya, agar selalu berani untuk berbuat. Jangan pernah jadi penakut sebelum memulai sesuatu, percaya dirilah bahwa kamu bisa. Pernah anak perempuan kecilnya datang mengadu padanya sambil menangis karena baru berantem dengan seorang teman, lalu D menyuruhnya kembali ke sana dan harus bisa membuat temannya juga menangis. Tidak ada istilah kalah sebelum berperang. Suatu saat kelak, ketika seorang cucu menangis cengeng karena dimarahi ayahnya di depan D, D akan bilang begini, “Kamu tidak boleh cengeng. Jangan sedikit-sedikit menangis. Lihat itu bou, dari kecil dia tidak pernah menangis walaupun Opung marahi.” Dan tangis si Cucu langsung berhenti setelah mendengar kata Opungnya. Dan Opungnya pun melanjutkan ceritanya.

…………… sekarang ………….

Sekarang D sudah berumur. Dia sudah jadi opung dan sudah punya empat cucu. Dia sudah tidak segalak dulu lagi, sekarang dia sudah lebih tenang dan sangat menikmati hari-harinya bermain bersama cucunya. Biarpun sudah mau pensiun, semangatnya masih tinggi. Dia sudah bergelar S2 dan keinginannya saat benar-benar pensiun nanti adalah menjadi dosen. D tidak ingin berdiam diri saja, dia ingin terus bersumbangsih dalam hidupnya. Wajahnya sekarang sudah semakin mirip dengan almarhum ayahnya, karena toh sifat mereka juga tidak jauh berbeda. D masih berteman dengan Michael, sahabat yang dikenalnya karena peristiwa “intel gadungan” itu. Pernah sekali Michael datang mengunjunginya ke Medan dan mereka berdua yang sudah sama-sama berumur dengan tubuh membulat akan tertawa terbahak-bahak saat teringat kekonyolan jaman kuliah di Jayapura dulu. Michael sendiri saat ini masih menjabat sebagai Dubes di luar sana. Sungguh persahabatan yang luar biasa, bisa bertahan hingga puluhan tahun.

Satu hal yang paling menonjol dari D adalah, temannya banyak sekali! Kemanapun dia pergi, selalu ada temannya. Dan cara D menghargai teman-temannya adalah dengan cara mengenal lebih jauh tentang bahasa asli mereka. D bisa berbicara pakai dialek Jawa, Minang, Sunda, Irian. Bahkan ketika muda dulu dia bertemu orang bule di Wamena, dengan bahasa Inggris yang seadanya, dia tetep pede memberi penjelasan pada orang bule itu. D juga sangat bersahabat, saat dia pergi makan di suatu tempat dan ketemu dengan pengamen-pengamen Ambon, D dengan bangga mengatakan bahwa dia pu maitua (nyonya-red) adalah nona Ambon. Para pengamenpun senang karena tidak menyangka akan ditegur dengan ramah oleh tamu restoran, terlebih ketika mereka semua ditraktir makan bersama di situ.

Pokoknya setiap kali bertemu dengan teman-teman lama, selalu ada cerita baru tentang kebaikan hati dan kelucuannya. Kemarin ada temannya pejabat kepolisian yang baru pindah ke Siantar, dia bercerita dengan bangga dan penuh haru bagaimana dulu ketika dia baru tiba di Merauke dengan hati kecut, D lah yang menjemputnya di airport, padahal saat itu dia tidak kenal siapa-siapa. Tapi D membuka tangannya lebar-lebar sebagai keluarganya di Merauke sana. Itu sebabnya saat dia ditugaskan ke Siantar, yang pertama dia ingat adalah D, dan dia ingin segera bertemu dengan D.

Lalu beberapa waktu lalu juga datang beberapa anggota DPR dari Merauke ke Siantar. Mereka dulunya staf di kecamatan di Merauke, dan datang ingin bertemu dengan D. Mereka ingat dari namanya bahwa D ini adalah bos mereka di Merauke dulu, tapi orang yang mengantar mereka menjumpai D di rumah bertanya lagi pada mereka, apakah mereka yakin bahwa D adalah orang yang mereka maksud? Saat itu mereka masih ada di luar pintu, dan kemudian mereka mencoba mengintip dari luar jendela, memandang pada sosok yang duduk di dalam sana. Itu adalah wajah yang masih sama dengan wajah orang yang memimpin mereka dua puluh lima tahun yang lalu, hanya saja sekarang wajah itu sudah lebih berumur. Senyum senang tersungging di wajah mereka, dan mereka berkata, “Su pasti suda. Itu katong pu Bapa..”

………

Rekan-rekan blogger, postingan saya kali ini memang panjang sekali ya, hehehe…

Pemuda D itu adalah Tuan Damanik, dia adalah papi saya. Dan rasa cinta saya padanya sebesar rasa bangga saya padanya, banyak hal yang saya dapatkan dari perjalanan hidup beliau, baik itu perjalanan hidup yang mulus maupun yang penuh batu.  Saat beliau ada di atas bahkan ketika beliau terpuruk, semua itu jadi pembelajaran bagi saya dalam berproses. Saya juga tentu bangga dengan mami saya yang berani meninggalkan keluarga dan kampung halamannya di Irian Jaya sana untuk hijrah ke Medan mengikuti suami. Resiko menjadi seorang istri yang berbakti pada suami, sehingga harus berkorban, tidak bisa bertemu dengan sanak keluarga sesering mungkin.

Satu hal yang saya selalu ingat adalah, papi saya selalu bilang, tidak ada yang tidak bisa kamu kerjakan. Kalau orang lain bisa kamu juga pasti bisa. Masalahnya hanyalah kamu harus mau dan berani melakukannya. Sampai saat ini, masih banyak hal yang bisa dia lakukan di usianya yang sudah mulai uzur, tapi saya bahkan terlalu ragu untuk memulainya. Well, sampai di usia saya yang sekarang pun saya rasa saya belum ada setengahnya dari papi saya karena masih ada janji yang saya buat ke diri saya tapi belum terrealisasi.

Kisah ini saya tulis agar saya selalu ingat untuk berpikir selangkah lebih maju seperti si pemuda Damanik itu. **Luv u papiku, mamiku..

97 Comments

  1. wah, postingan yang inspiratif, semoga bahagia selalu deh dengan keluarga besar disana 🙂

  2. *usut air mata*
    Kenapa ya saya jadi terharu sekali membacanya. Mungkin memang semua kisah tentang orangtua dan bagaimana mereka menjalani hidup ini dengan kepala terangkat pasti, selalu bikin saya menangis, kk. Busyet nih air mata dari mana aja datangnya yak?

    Kk, di pertengahan cerita saya sudah menebak siapa D ini, hanya saja saya nggak mao scroll down hanya untuk tau siapa D sebenarnya… tapi ternyata tebakan saya benar! Hehehe. Salam buat Bapak Tuan D, ya, kk… sedikit tidak saya ingin seperti beliau (dan alm.bapak saya pastinya :D), kemana2 punya teman. Kemana2 banyak yang negor… kemana2 nggak sepi karena menganggap semua orang sebagai temannya.

    Hayo kk tanggung jawab! Kirimin tissue! 😛 hehehehe…

    Btw kk nggak perlu nyuruh baca sampe habis baru komen 😀 saya memang selalu baca sampe habis baru komen 😀

    • Zizy

      *tisu kukirim pake tiki ya teh hehee..
      *iya teh kan banyak yg fast reading, kasih komen cuma krn baca 2 paragraf terakhir doang hahaa.. tx ya teh sdh mo baca ampe habis….

  3. Qie

    Nice post…. subhannalloh. bagos seklai postingan ini. bisa di jadikan pelajaran hidup dan acuan 🙂

  4. saya tidak berpikir kalo saya bisa, tapi saya tau kalo saya memang bisa

  5. wow… very inspiring story!!!
    salut buat papi lu ya… hebat banget!!! 🙂

  6. ahahaha.. tak sia-sia aku persiapkan diri (ngeganjal perut dulu pakai peyek dan roti setangkup) untuk membaca postingan yang panjang ini.

    Salut kepada Papi-nya. Kayanya kita sama-sama punya cerita hebat tentang orang tua kita, apa karena mereka hidup di masa susah ya?
    (kita kan hidupnya di masa kurang susah, disusah-susahin :D)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *