Sore tadi, dalam perjalanan pulang ke rumah, saya melihat seorang pemuda duduk di trotoar sambil mengurut pergelangan kakinya. Di sampingnya ada motor tercagak, dan juga seorang polisi yang berdiri, terlihat mengawasi pemuda itu.
Dalam pikiran saya, hmm barangkali si Mas ini terjatuh dari motor saat tadi diberhentikan polisi. Bukan pemandangan yang aneh memang kalau banyak pengendara motor berusaha menghindar saat bertemu dengan polisi di sebuah operasi lalu lintas. Ini adalah sore yang sama dengan beberapa kali sore yang lalu, polisi-polisi melakukan semacam pemeriksaan surat-surat kendaraan roda dua di beberapa ruas jalan. Salah satunya di Jl. Pemuda arah Pulogadung. Dan karena ruas jalan ini cukup lebar untuk disalip-salipin sepeda motor, polisi pun berjaga di dua sisi jalan, agar motor-motor — yang mungkin mencurigakan – tidak bisa meloloskan diri. Alhasil ya begitulah, barangkali saat melihat pak polisi dari jauh, jantung jadi berdebar-debar, adrenalin pun meningkat, darah pembalap mengalir kencang sehingga otak pun berpikir cepat mencari celah untuk meloloskan diri, namun tak berhasil sehingga akhirnya si pembalap pun terjatuh dari kendaraan. Apes.
Mungkin saja si pengendara memang tidak bawa surat-surat, tapi mungkin saja surat-suratnya lengkap, tapi dia memilih untuk menghindar. Kenapa demikian? Setiap orang punya alasan sendiri.
Tapi kalau saya pribadi, sejujurnya saya katakan bahwa saya kurang nyaman bila harus berurusan dengan polisi atau kalau boleh lebih luas lagi, dengan aparat. Kalau boleh sih jangan sampai deh berurusan dengan mereka. Mungkin karena sejak dulu hampir selalu punya pengalaman kurang enak dengan polisi atau aparat sehingga aura yang selalu tertangkap dari mereka adalah rasa tidak nyaman. Waktu di Medan beberapa kali saya hampir kena tilang polisi hanya karena saya tidak mau minta maaf! Saya bilang hampir, karena biasanya memang tidak jadi.
Contoh pertama nih ya. Waktu masih kuliah, saya pernah hampir ditilang polisi karena berhenti cukup lama di depan rambu S dengan tanda silang, alias Dilarang Berhenti. Saat itu saya berhenti cukup lama karena menjemput teman saya yang stay di ruko pinggir jalan itu. Seorang polisi pas lewat dan langsung meminta SIM & STNK dari jendela. Saya berikan saja tanpa bicara apa-apa. Teman sayalah yang kemudian buru-buru turun dari mobil dan menyusul pak polisi untuk minta maaf, sekaligus meminta SIM dan STNK saya kembali. Saat kembali ke mobil dengan surat-surat di tangannya (katanya dia sudah damai dengan polisi), teman saya bilang polisinya sempat merepet, katanya dia minta si pengemudi yang minta maaf. Saya menggeleng, untuk apa minta maaf. Tilang saja kalau memang harus ditilang.
Kejadian lainnya saat saya sedang mengemudi berdua mami saya, dan kami juga diberhentikan polisi entah karena salah apa (yang jelas bukan karena menerobos lampu merah karena waktu itu kami berbelok ke kiri, dan itu boleh langsung). Polisi itu mengambil surat-surat lalu berjalan ke depan sana, berhenti sambil membaca-baca surat di tangannya. Mami saya yang baik hati langsung turun dan menyusul si polisi untuk minta maaf. Seharusnya memang saya yang turun untuk mewakili mami saya dong ya, secara itu surat-surat atas nama saya, tapi rasa gengsi dan keras kepala memaksa saya untuk stay di mobil. Saya tetap tidak mau turun. Silahkan saja ditilang kalau memang saya salah, kenapa mesti negosiasi? Dari mobil saya dengar si polisi merepet lagi, dia bilang saya sombong kenapa tidak mau turun minta maaf. Halah. Bacrit! Tilang sajalah! Dan tidak jadi lagi ditilang karena mami saya sudah berdamai dengan pak polisi.
Peristiwa lain yang cukup memalukan adalah ketika saya dan teman saya “ditilang†polisi di simpang Glugur – Medan gara-gara kami berdua menertawakan mereka. Ya sebenarnya gak ada maksud menertawakan, tapi ini gara-gara pak polisinya juga. Waktu itu kami berdua mau ke kampus. Si cowok teman kuliah saya itu memang suka nebeng karena rumahnya dekat. Saat berhenti di depan lampu merah itulah kejadiannya. Tiba-tiba teman saya – yang memang usil – senyum-senyum sendiri sambil memberi kode agar saya melihat dua pak polisi yang sedang berdiri di samping traffic light. Dan memerahlah muka saya. Dua polisi yang masih muda itu sedang bergandengan tangan, sambil digoyang-goyang pula tangannya. Aihmak… teman saya buru-buru mengingatkan, “Jangan ketawa, Sy. Jangan ketawa!â€
Tapi apa daya, si polisi sudah telanjur melihat saya tertawa diam-diam. Datanglah dia ke samping saya, menanyakan surat-surat. Dan saya melawan pula, saya bilang, “Loh, saya salah apa, Pak?†yang ternyata bikin doi makin murka. Katanya, “Pentil roda gak ada pun bisa kamu saya tilang!†Okelah, Pak. Aturlah. Langsung saya keluarkan surat-surat dari dompet sambil ngedumel sama teman saya itu. Saya bilang sama teman saya, “Ini gara-gara kau ya, bikin aku ketawain mereka.†“Kan dah kubilang jangan ketawa,†“Mana bisaaaa..†Maka turunlah teman saya itu. Dan kami berdua masing-masing koyak lima ribu untuk mendapatkan kembali surat-surat itu. Lengkaplah hari itu kami gak jajan apa-apa.
Sebenarnya ada banyak pegalaman dengan polisi yang kurang meyenangkan, dan gak akan kelar-kelar kalau diceritakan. Tapi itu dengan polisi Medan, yang mukanya sama sangarnya dengan muka awak. Sama-sama muka perang. Parbada.
Pengalaman pertama ditangkap polisi Jakarta adalah saat bersama suami lewat Menteng. Waktu itu kami ragu apakah ini boleh belok kiri langsung atau tidak, dan ketika hubby belok, sebuah mobil patroli sudah nguing-nguing di belakang. Dan hubby berhasil lolos setelah menunjukkan kartu pers. *itu memang kartu ajaib…beneran.
Pengalaman kedua ditilang adalah saat memutar di bundaran HI. “Selamat siang, Bu… Ibu mau ke kanan, harusnya dari jauh sudah ambil kanan Bu. Tidak boleh dari kiri,†kata polisinya. Tapi pak polisi Jakarta ini baik dan ramah, mungkin karena orang Jawa ya jadi negurnya enak, gak kayak polisi Medan. Jadilah saya pun pasang muka manis juga dan itulah pertama kalinya saya mau minta maaf pada polisi atas kesalahan saya. Ternyata bisa juga.
Sebenarnya polisi itu kan pelindung masyarakat ya. Seharusnya memang tidak perlu ditakuti, karena kalau masyarakat takut dan tidak punya trust pada polisi, mau minta tolong ke siapa lagi?
But despite all. Ketahuilah dua hal ini. Satu, bahwa meskipun saya hampir selalu punya pengalaman tidak enak dengan polisi, tapi saya sangat menghormati dan menghargai profesi polisi. Siapa sekarang yang masih mau memberi teguran ramah pada pak polisi yang bertugas mengatur lalu lintas? Pernahkah kita merasakan empati saat melihat polisi berpanas-panasan atau berhujan-hujanan? Bertahun-tahun lalu saat saya masih di Medan, saya bertemu dengan seorang pak polisi yang selalu bertugas mengatur lalu lintas, sejak saya SMP! Saat saya smp dan menyetir ke sekolah, saya selalu papasan dengan si bapak di simpang Jl. Krakatau Bilal, dan ketika saya kuliah saya bertemu lagi dengannya di depan Kantor Walikota. Dan pak polisi itu juga mengenali saya, saya bisa melihat dari matanya. Ah, sedih juga sih lihatnya, kasihan si bapak sudah menua tapi masih saja mengatur lalu lintas. Mudah-mudah Tuhan selalu melindunginya saat bertugas.
Hal kedua adalah, bahwa cita-cita saya saat saya kecil sampai saya duduk di bangku SMA hanya satu dan tidak pernah berubah. Saya ingin jadi POLWAN. Waktu kecil saya suka melihat polwan, gagah gitu. Semakin besar saya tertarik karena saya ingin jadi pemberantas kejahatan. Duh, mulia sekali ya, hiks..
Sayang semuanya terkendala satu hal. Saya kurang tinggi. Ya sudah, alih cita-citalah, cari yang tidak butuh syarat fisik hehe… dan jadilah seperti sekarang ini, jadi pegawai saja.
Jadi… siapa di sini yang takut pada polisi? 🙂
Kalau saya sih tak takut polisi…
Takut kalo di pistol doank… Khan bisa mati awak… 😀
Yah, meskipun pernah mengalami hal yang tak menyenangkan dengan polisi, atau meskipun banyak cerita miring tentang mereka, toh tetap saya juga sering mendengar kisah-kisah kepahlwanan mereka. Entah dimana, saya pernah membaca kisah seorang ibu beranak satu yang mobilnya mogok di jalanan surabaya yang waktu itu hujan dan banjir, nah si Pak Polisi inilah yang mendorong mobil si Ibu itu hingga bisa minggir dan tidak mengganggu mobil2 lain… 🙂
Dan saya sendiri, sering nanya alamat, nanya jalan sama Pak Polisi… 😀
Kebayang gak kalau saya nanya gini: “Pak Jalan ke Monas lewat mana Pak ya kalao jalan kaki?” 😀
Ah,
Aku suka baca komen ini. Akhirnya ada cerita positif juga, jadi senang aku bacanya.. 🙂
yang kasihan sopir angkot/bus, aku pernah lihat di terminal blok M masa kena tilang…gara2nya dia berhenti bukan di jalur kedatangan…padahal dia berhenti karena mobil didepannya ngga jalan. Atau kena tilang karena mengangkut penumpang di pintu jalur, padahal bukan salah sopirnya loch…penumpangnya sendiri yang naik, karena kalo naik dr dalam ngga kebagian duduk.
Ya itulah, pak sopir memang harusnya jgn ambil penumpang sembarangan, karena kan dia yg ditilang tar, penumpangnya enggak. Makanya itu di Jakarta ini kan ada tuh kemarin di mana gitu, ada besi2 yg dilumurin oli, agar para penumpang gak nunggu bus di situ…
Kalau saya sih bukannya takut, sebab surat2 lengkap dan tak ada yang salah pada kendaraan. Hanya saja berurusan dengan polisi bisa memperlambat waktu perjalanan.
hmm…
kadang2 polisi memang suka cari2 kesalahan kita, mbak…
pdhl ya kita jg gak sengaja melanggar aturannya…hehehe
mungkin ini yg menyebabkan para polisis ditakuti sekaligus dibenci oleh masyarakat ya… 😛
kalau menurut saya sih mbak, mereka bukan takut karena polisinya, tapi karena takut yang lain, hehehe
*curhat dan pengakuan sih sebenernya 😳
Jika membaca cerita2 diatas, saya paham mengapa ada yang tidak suka dengan profesi polisi, Mbak…
kalo saya sih biasa aja, lagian sering ketemu polisi yang mengurus kecelakaan lalu lintas di UGD saya 🙂
Saya punya pengalaman terakhir dengan polisi udh agak lama sekitar beberapa tahun yg lalu….ceritanya lagi jalan2 dengan keluarga…tiba2 di depan jalan ada busway dan jalur kanannya ke arah naik tol…padahal saya mau terus….berhenti sejenak…lihat garis2 jalan ternyata masih putus2….langsung aja ambil jalur kiri biar bisa terus….di kejauhan seorang polisi melambaikan tangan agar saya maju ke arah beliau.
Sambil mengucapkan salam, dia meminta SIM dan STNK, tapi sebelum saya berikan saya tanya…salah saya apa pak? bolak balik minta surat2…saya pun bolak balik tanya salahnya apa…akhirnya dia bilang kalau saya tidak boleh ambil lajur kiri karena garisnya tidak putus2…langsung aja saya bilang…mohon maaf pak sebelum saya putuskan ambil lajur kiri saya lihat garis masih putus2…pak polisi marah2…akhirnya menyuruh saya pergi tanpa ditilang deh….hehehehe…kuncinya jangan pernah kasih surat2 sebelum tahu salahnya….hehehehe
Wah.
Iya juga ya. Besok2 saya akan coba begitu. Kalau gak dikasih tahu salahnya apa, saya gak akan kasih surat-surat…