Kartu Nama. Semua tentu tahu fungsi utamanya sebagai alat untuk memperkenalkan diri Anda pada kolega baru. Ketimbang mencatat nomor telepon di kertas atau ketak-ketik di handphone, tentu lebih mudah kalau saling bertukar kartu nama. Semuanya lengkap di situ. Bisa jadi ada alamat rumah, alamat kantor, e-mail, no telepon kantor, no ponsel, akun facebook, akun twitter, dan alamat website pribadi.
Dulu, waktu saya baru jadi pegawai, rasanya bangga banget kalau punya kartu nama. Biasa dong, baru-baru kerja, masih butuh eksistensi. Setiap dapat kenalan baru, bagi kartu nama. Ketemu teman kuliah, kasih kartu nama. Norak benerlah hahaha…
Tapi ada gak enaknya juga bagi-bagi kartu nama itu. Karena saat itu saya jabatannya jadi pekerja lapangan alias jadi markom, kasih kartu nama ke outlet-outlet itu wajib. Dan resikonya adalah, siap ditelepon kapan saja oleh nomor tak dikenal. Dan keperluannya macam-macam, mulai dari komplen sp atau voucher rusak, minta flyer dan souvenir untuk toko, minta sponsorship, minta kartu nomor cantik, sampai penelepon-penelepon gelap dengan hidden number. Eipss sorry ya, sekali dua kali dapat hidden number, saya langsung minta tolong teman saya di bagian MSC untuk setting nomor saya agar para hidden number itu bisa terlihat. Begitu ketahuan yang iseng-iseng itu, biasanya saya telepon balik biar pada tengsin.
Saya serasa jadi Call Center 24 jam. But, mau bilang apa? Begitu kartu nama kita sampai ke tangan orang lain, jelaslah sudah bahwa kita adalah representatif dari perusahaan. Mana bisa kita tolak telepon yang masuk dengan alasan, “maaf mas itu bukan bagian saya.” ? Yang ada bisa dipecat, karena customer langsung komplen ke atasan hehe…
Jadi kalau ada komplen kartu atau voucher rusak, saya biasanya akan mengarahkan si penelepon agar datang langsung ke kantor bertemu dengan CS kami. Nah, dulu itu, para frontliner lebih pemalu dari frontliner-frontliner sekarang. Entah kenapa mereka sepertinya kurang pede kalau harus datang ke gedung besar ber-AC dan bertemu dengan CS berseragam. Apalagi kalau mereka merasa berasal dari outlet kecil yang cuma menjual tiga-empat buah SP dan beberapa lembar voucher. Jadi kalau saya sudah dengar suaranya melempem karena diminta datang ke kantor, maka saya akan kasih “bonus†buat dia. Saya katakan, nanti saya yang akan menemui dia begitu dia tiba di kantor. Padahal belum tentu saya ingat orangnya yang mana, karena semua toko handphone waktu itu saya bagikan flyer produk beserta kartu nama. Tapi saya tahu, kedudukan saya dan dia sama. Saya juga pegawai, cuma kebetulan saja duduk di kantor yang dingin ber-AC.
Beberapa tahun berlalu, nafsu memiliki kartu nama pun berkurang. Pekerjaan saya tidak lagi mewajibkan saya untuk keluar kantor dan bertemu dengan frontliner atau outlet. Bukan, jangan salah, saya tetap cuma pegawai biasa, gak naik-naik jadi bos juga haha..! Pekerjaan saya lebih banyak di depan komputer dan berhadapan dengan tabel-tabel. Karena itu ketika beberapa teman yang juga back office masih juga ikutan membuat kartu nama, saya tidak ikutan. Alasannya tentu saja karena saya tidak merasa perlu. Cetak kartu nama kan minimal harus dua boks, mau dibagi-bagi kemana kartu nama yang banyak itu? Sayang kan kalau cuma jadi penghias di meja saja hihihii…
Dua minggu lalu, ada marketing kartu kredit datang ke kantor. (Entah kenapa kok mereka bisa gitu masuk ke dalam ruangan, lalu datang ke kubikel-kubikel). Seseorang datang ke kubikel saya, lalu memohon agar saya mau membantunya mencapai target. Iming-imingnya bebas iuran tahunan dan hanya butuh copy KTP saja. Saya bilang, saya mau, tapi harus kartu platinum. *yoilah, kalau Gold juga, untuk apa? Psst.. platinum promo diskonnya banyak :D. Oke. Done, kata marketingnya. Tak lama datang temannya, cowok tinggi berpenampilan rapi, dan bersemangat. Dia berdiri di depan kubikel saya sambil menawarkan paket-paket investasi lainnya, sambil sesekali memuji foto Vaya yang ada di CPU. Biasalah, cara-cara approach dengan cara menanyakan anak udah berapa bu, aduh cantik sekali anaknya ya, dan bla bla bla lainnya.
Sesaat kemudian dia mengeluarkan kartu namanya, dan memberikannya pada saya. Saya terima dan letakkan di meja.
“Ibu punya kartu nama?†tanyanya.
“Wah, saya gak punya kartu nama, Mas.â€
Dia terlihat terkejut. “Oh, Ibu gak punya kartu nama? Bisa begitu ya. Bu. Di sebelah sana, semuanya punya kartu nama.†Dia menunjuk ke arah belakang saya. Maksudnya adalah sisi sebelah, divisi lain. Mungkin dia heran kali ya, kok bisa gak seragam gitu di kantor ini. Atau mungkin dia ragu saya bukan pegawai kalau gak ada kartu nama? Hehehee…
Saya cuma senyum saja. Lalu saya bilang : “Mas, si Mas ini mau nyari orang yang punya kartu nama atau nyari orang yang BISA bayar tagihan kartu kredit?†🙂
*eniwei, saya punya kok kartu nama, tapi kartu nama pribadi u/ Devushka, itu juga model print sendiri, sesuai kebutuhan aja printnya hehehee…
Siapa yang punya stok kartu nama banyak? Bagi-bagi, ayoo.. sebelum kadaluwarsa. 😀
ada sih, kartu nama dari komunitas visual art yg saya ikuti. dgn title “illustrator artist”
tp jarang dibawa :)) wah, iya ya, musti bikin nih, kartu nama desain sendiri.
kartu nama gue masih nyisa 1.5box numpuk di sudut meja krja. posisi gue tidak mengharuskan gue untuk banyak ketemu orang, jadi yah tuh kartu nama awet deh. hehehehe, rada mubazir menurut gue, mana bentar lagi harus diganti karena kantor sebentar lagi pindah alamat.
dengan adanya kartu nama lebih oraktis buat kita untuk memperkenalkan kita pribadi
kalau kartu nama blogger ada gak ya
saya semenjak kerja aja py kartu nama abis dibuatin sih..kalo saya yg buatin suka males..
Gw mah dari dulu pas kerja) ga punya kartu nama. kalo kartu gaple mah ada. Hihihi, lumajan kalo lagi ga ada kerjaan bia dimainkan 🙂
hihi, jadi ingat seorang teman yang bikin kartu nama karena menang lomba di wikipedia
Iya, mendingan tetep bikin kartunama, tapi lebih pribadi, hanya orang-orang terdekat saja yang kita beri 😉