Kesenjangan Itu Nyata
tukan kopi keliling

Kesenjangan Itu Nyata

Secangkir teh susu: Keterlaluan ya. Blog ditinggal sekian lama, sudah berdebu sedikit. Padahal sebenarnya ada sekian banyak hal yang bisa dituliskan di sini. Sebenarnya. Seperti juga yang akan saya tulis berikut ini. Mengingatkan saya, bahwa nikmat yang dimiliki saat ini sudah sepantasnya disyukuri.

 

“Ini, nih, Mbak. Foto. Foto.” Saya menoleh ke kiri, mengikuti arah yang ditunjuk oleh teman saya yang duduk di depan. Dari balik penghalang yang disebut jendela mobil, saya melihat sebuah gerobak yang ditarik oleh pria paruh baya. Di tengah gerobak ada anak perempuan kecil yang duduk, dengan si ibu berjalan di sisi sebelah dalam dan kakak laki-lakinya memegang ujung belakang gerobak.

Saat itu kami memang sedang terjebak macet parah di daerah Bintara, karena baik saya maupun driver kantor tidak begitu hapal jalan tikus. Alhasil untuk mengantar saya ke rumah dari tol Bintara saja sampai sejam lebih karena macetnya. Makanya agar tidak bosan, segala macam kegiatan kami lakukan, mulai dari mengobrol, gosipin orang, sampai memotret apa saja yang bisa didapat di jalan.

Si ibu pemulung menyadari bahwa kami melihat ke arahnya. Dia tersenyum lebar lalu mencolek anak perempuannya, menyuruhnya melihat ke kami. Anak itu menoleh malu-malu, berbeda dengan abangnya yang tersenyum sampai keluar gigi. Saya dan teman saya balas tersenyum dan melambai. Teman lain yang duduk di sebelah kanan diam saja, masih mengantuk.

“Kasih duit, Mbak, kasihan,” kata teman saya itu lagi. Saya ragu.

“Gapapa nih? Gue takut aja mereka tersinggung.” Seperti biasa, saya selalu tidak ingin sampai menyinggung hati mereka yang kurang beruntung. Kan meskipun tidak mampu sekalipun, bukan berarti mereka mau disamakan dengan peminta-minta. Teman saya membuka jendela dan mengulurkan tangan kanan berisi uang.

“Itu, ambil…” Kata si ibu pada anak perempuannya. Si abang langsung sigap melangkah dan menyambut uang itu, sebab sebentar lagi mobil kami tentu akan meninggalkan gerobak mereka. Setelah menerima uang, mereka tertawa senang, dan ibunya melambai pada kami. Kami berlalu, dan barulah saya bisa lihat wajah bapaknya yang menarik gerobak. Ah.

“Kasihan, ya, anak-anaknya itu sekolah gak ya.” Saya berkata sendiri, entahlah apakah kedua teman saya mendengar atau tidak. Yang di sebelah saya tetap cuek seperti biasa, yang di depan sepertinya juga merenung seperti saya.

Tiba-tiba semua seperti berkelebat di depan mata. Makan enak hampir setiap hari, menghabiskan sekian puluh ribu untuk secangkir latte setiap dua hari sekali, ngomelin pelayan di kafe kantor karena tersinggung dengan sajian makanan ala kadarnya yang tidak sesuai harga, beli oleh-oleh buku cerita dan sticker buat anak di rumah, beli lensa baru untuk smartphone yang kemudian bahkan tidak dipakai karena casingnya terlalu keras dan takut merusak gear, drive thru mekdi kalau mendadak lapar di tengah jalan, tip empat ribu untuk petugas parkir di mall.

Kemudian berkelebat lagi yang lainnya. Bapak-bapak renta di Tugu Tani yang memikul karung besar di punggungnya, pemulung muda yang stress dan terduduk menangis di luar gerbang kantor dan mengancam setiap orang yang hendak lewat dengan kaitnya, anak laki-laki muda penjaga parkir di McD Salemba yang selalu berharap dikasih uang parkir meski sudah tertera “Parkir Gratis”, penjual kopi keliling yang memandang penuh harap pada orang-orang di pinggir jalan, sampai tukang koran bertampang preman yang selalu mangkal di lampu merah Matraman.

tukang kopi keliling

Kesenjangan itu nyata adanya. Saat kita punya uang, kita (merasa) berhak untuk mengomel. Saat kita sedang tidak punya apa-apa, kita harus merendahkan diri untuk meminta sedikit bantuan pada orang lain. Seperti seorang teman yang beberapa bulan lalu dirampok dengan modus ban kempes di daerah Menteng. Karena tak ada uang sama sekali, dia akhirnya terpaksa meminjam beberapa ribu rupiah pada security bank, termasuk pinjam telepon untuk memblokir kartu-kartunya. Katanya, ternyata begini ya rasanya tidak punya uang.

“Ini Bu, M-I-nya,” kata tukang koran sambil menyodorkan koran pada saya. “Dari kemarin dapat lampu hijau terus.” Katanya tersenyum. Wajahnya yang legam dengan rambut agak gondrong itu sepintas memang seperti preman. Sebenarnya sudah setahun lebih saya selalu lewat situ tiap pagi dan karena saya suka menghapal wajah orang maka saya ingat tukang koran itu. Dia sangat bersemangat jualannya, dan banyak juga mobil-mobil yang lewat jadi langganannya. Tapi baru sebulan terakhir ini saya memberanikan diri membeli koran darinya. Awalnya masih jarang-jarang karena seringnya saya dapat lampu hijau jadi selalu tancap gas. Namun demikian si tukang koran itu sudah hapal wajah saya dan koran apa yang saya mau. Setiap saya berhenti, dia otomatis memberikan koran yang satu itu.

Seminggu terakhir ini, saya selalu menyiapkan uang pecahan di dashboard agar bisa setiap hari membeli koran darinya, meski selewatan. Sebenarnya, saya tak butuh koran. Koran-koran itu saya beli lalu saya letakkan saja di kursi belakang. Tapi, saya pikir…. apa salahnya membeli koran harga tiga ribu setiap hari compare dengan puluhan ribu yang dikeluarkan untuk latte misalnya, mudah-mudahan yang kecil itu bisa membantu dia mendapatkan nafkahnya hari itu.

Tukang toran di Matraman – tetap semangat kerja mencari nafkah

Tadi pagi, karena dapatnya lampu hijau lagi, saya buru-buru mengambil koran dan langsung menyerahkan dua lembar uang dua ribuan, kemudian berlalu meninggalkan kembalian seribu rupiah, maksudnya ya kalau tidak sempat dikembalikan ya sudah tidak apa-apa dan si abang tukang koran itu berkata, “Bu, kembaliannya.”

“Nanti saja, Mas.”

“Senin, ya Bu.”

Ah.

31 Comments

  1. menyentuh mbak, emang harusnya sekali kali liat ke bawah agar kita selalu bs bersyukur apa yang kita punya yah…ini lah hidup kadang juga kita kadang kurang beryskur apa yang telah kita dapat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *