Musim hujan 2025 datang seperti tamu yang tak sabaran, mengetuk pintu terlalu keras dan langsung membawa kekacauan. Pada awal Januari 2025, banjir Bandar Lampung merendam ratusan rumah, memutus akses jalan, dan memaksa warga mengungsi. Berita dan gambar beredar cepat, tetapi masalahnya bukan tiba-tiba muncul begitu saja. Otoritas setempat mengonfirmasi bahwa selain curah hujan tinggi, penumpukan sampah di drainase dan sungai menjadi pemicu utama banjir.
Kejadian ini terasa seperti tamparan yang mengingatkan betapa rapuhnya sistem pengelolaan lingkungan. Bahkan daerah yang tidak mengalami banjir secara langsung pun seharusnya ikut waspada. Lampung Timur adalah salah satunya. Meski tidak sedang terendam, Lampung Timur memiliki sejumlah indikator rawan: volume sampah rumah tangga meningkat setiap tahun, sistem persampahan desa belum merata, dan ruang terbuka hijau terus terdesak.
Masalah sampah bukan hanya soal estetika kota. Ia punya hubungan langsung dengan banjir, kesehatan masyarakat, dan keberlanjutan wilayah. Krisis banjir Bandar Lampung menjadi bukti nyata bahwa pengelolaan sampah bukan lagi sekadar proyek teknis, melainkan urgensi ekologis.
Baca juga: Pengelolaan Sampah Terintegrasi di Jawa Barat, Sinergi Pemerintah & Masyarakat
Ketika Sampah Mengubah Aliran Air dan Hidup Warga
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, komposisi sampah Indonesia tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 60% timbulan sampah nasional berasal dari sektor rumah tangga dan sebagian besar berujung ke TPA tanpa proses pemilahan terlebih dahulu.
Jika sistem pemilahan tidak berjalan, sampah plastik akan mengalir ke selokan, kemudian ke sungai, lalu bertemu dengan air hujan yang datang dalam jumlah besar. Drainase menangis kewalahan, air meluap, dan jalan-jalan berubah menjadi kolam.
Tantangan utama dalam manajemen sampah dan dampaknya terhadap banjir
Minimnya pemilahan sampah rumah tangga
Sebagian besar warga masih mencampur sampah organik, plastik, dan residu, sehingga saluran air mudah tersumbat saat hujan deras. Ketika pemilahan tidak berjalan, petugas kebersihan kewalahan, dan volume sampah yang masuk ke drainase meningkat jauh lebih cepat daripada kapasitas pembuangan.
Pengelolaan TPS dan armada pengangkut yang belum merata
Desa dan kelurahan dengan jarak jauh dari TPS cenderung mengalami penumpukan sampah liar. Sampah yang menumpuk di tanah terbuka lalu hanyut saat hujan, masuk ke aliran sungai kecil, lalu bertemu kembali di titik kritis hingga memicu luapan air.
Konsumsi plastik sekali pakai yang belum menurun
Kebiasaan penggunaan kantong plastik, kemasan minuman, hingga wadah sekali pakai masih menjadi kultur belanja harian. Ketika residu plastik terus meningkat dan tidak terurai, sistem drainase yang seharusnya mampu menahan beban air menjadi kolaps dalam hitungan jam saat hujan ekstrem.
Melihat kecenderungan tersebut, Lampung Timur sedang berada di titik persimpangan: melakukan penataan besar-besaran sekarang, atau berhadapan dengan bencana yang sama di masa depan.
Apa yang Terjadi di Lampung Timur Hari Ini?
Lampung Timur belum terdampak langsung oleh banjir Bandar Lampung besar di awal 2025, tetapi sejumlah wilayah sudah menunjukkan tanda-tanda awal kerentanan ekologis. Volume sampah rumah tangga terus meningkat setiap tahun, dan jaringan drainase di beberapa kecamatan dilaporkan berisiko tersumbat saat puncak musim hujan.
Indikator yang menjadi perhatian:
- Sistem pengangkutan sampah desa belum mencapai seluruh wilayah, sehingga timbulan sampah komunitas cenderung mengalir ke parit dan sungai saat hujan.
- Sebagian ruang terbuka hijau berubah menjadi area komersial atau permukiman, mengurangi daya serap tanah di daerah padat penduduk.
- Sebagian besar warga belum menerapkan pola 3R (reduce, reuse, recycle), dan sampah langsung dikirim ke TPA tanpa proses pemilahan.
Program https://dlhlampungtimur.org/ sudah berjalan di sejumlah titik, tetapi perlu konsistensi dan perluasan agar pencegahan bencana benar-benar bekerja.
Sebuah Program dari DLH, Sampah Menjadi Bahan Bakar Jumputan Padat
Program Bahan Bakar Jumputan Padat (BBJP) menjadi salah satu inovasi yang sedang dikembangkan untuk mengurangi volume sampah residu menuju TPA serta memberikan nilai ekonomi baru pada limbah. Prinsipnya adalah mengubah sampah yang tidak dapat didaur ulang menjadi bahan bakar alternatif untuk industri.
Bagaimana program ini bekerja:
- Sampah dipilah di desa atau fasilitas TPST, kemudian sampah residu dikeringkan dan diolah menjadi pelet padat sebagai bahan bakar substitusi.
- Sampah yang diolah untuk BBJP merupakan residu non-organik yang tidak memiliki nilai daur ulang, sehingga mengurangi tekanan terhadap TPA.
- Desa percontohan yang mengikuti program ini melaporkan penurunan volume sampah yang dikirim ke TPA dalam 3–6 bulan program berjalan.
Program ini dianggap sebagai awal masa depan industri hijau karena sampah tidak hanya berkurang, tetapi sekaligus menghasilkan energi terbarukan lokal.
Baca juga: Gaya Hidup Hijau, Dari Kebiasaan Harian Menuju Gerakan Bersama
Peran Pemerintah, Industri, dan Masyarakat
Transisi menuju sistem persampahan berkelanjutan di Lampung Timur memerlukan kolaborasi lintas sektor, bukan hanya keputusan regulasi.
Peran kunci masing-masing pihak:
- Pemerintah
Memperkuat regulasi pembatasan plastik sekali pakai di pasar, sekolah, dan pusat belanja, sambil memastikan layanan kebersihan dan pengelolaan TPS didistribusi merata.
- Industri
Brand lokal dan pelaku UMKM dapat menerapkan skema drop-point produk daur ulang, mengganti kemasan sekali pakai, dan mendukung supply chain ramah lingkungan.
- Masyarakat
Mengadopsi gaya hidup rendah sampah melalui pemilahan sampah harian, kompos skala rumah tangga, penggunaan wadah pakai ulang, dan partisipasi bank sampah desa.
Kolaborasi ini bukan teori abstrak. Sejumlah desa binaan telah menunjukkan bahwa kombinasi edukasi warga dan fasilitas TPST mampu mengurangi ketergantungan pada TPA secara signifikan.
Mulai dari Kita
Jika Lampung ingin terhindar dari bencana ekologis seperti banjir besar, maka perubahan harus dimulai dari pola konsumsi dan manajemen sampah sejak hari ini. Edukasi masyarakat harus berjalan seiring insentif daur ulang dan penerapan teknologi hijau. Program pengelolaan sampah bukan hanya agenda pemerintah, tetapi jaminan keselamatan ekologis generasi selanjutnya.
Untuk memastikan konsistensi, masyarakat dapat mengikuti informasi dan edukasi persampahan melalui platform resmi https://dlhlampungtimur.org/, sekaligus mendukung program yang sedang berjalan di desa masing-masing. Lingkungan yang bersih bukan hadir dari hujan keberuntungan, melainkan dari pilihan yang diulang setiap hari.
