Marga

Marga. Tiba-tiba saja saya teringat untuk menuliskan pengalaman saya seputar marga. Ini karena beberapa kali saya mendapat pertanyaan dari beberapa teman sekelas saya dulu di SMANSA Medan seputar marga Damanik yang “tiba-tiba” ada di belakang nama saya.

“Suamimu Damanik ya?” pertanyaan pertama. Dew nama teman saya itu.

“Bapakkulah yang Damanik.”

“Iih… Aku baru tahulah kalau kau Damanik.” Dew bersikeras. Lalu ia menoleh pada Lya teman kami yang lain. “Sejak kapan dia jadi Damanik? Kukira bukan orang batak dia.”

“Memang Damaniklah dia.. emang lu kemana aja waktu SMA..?” dan tawa kami bertiga pun berderai.

Sebenarnya Dew tidak salah juga. Meskipun kami semua – empat puluh delapan orang kalau tidak salah — selama dua tahun selalu sekelas, tapi kan tidak ada jaminan bahwa semua siswa saling tahu satu sama lain. Setidaknya yang umum-umum saja tentulah tahu. Misalnya si A itu kecengannya siapa, si B itu anak pejabat mana, lalu si C itu yang sering dimarahi guru, dst dst.

Dan keheranan Dew itu patut dimaklumi juga. Karena apa? Karena sebenarnya saya memang tidak pernah punya marga di belakang nama saya. Tidak pernah ada nama “Damanik” menempel di surat-surat atau akta resmi yang bertuliskan nama saya.

Papi saya memang tidak menuliskan marga di belakang nama saya dan abang saya waktu kami lahir. Alasan papi saya waktu itu karena marga bukanlah nama. Marga sudah seharusnya menempel di belakang nama anak tanpa perlu dilegalkan lagi di dalam surat.

Somehow, tentu saja ketika kami mulai besar dan mulai mendapatkan secara rutin ijazah sd, smp, dan sma, papi saya kelihatan sedikit kehilangan “identitas diri” kalau boleh saya bilang begitu. Papi saya kelihatan sedikit menyesal kenapa dulu tidak mencantumkan saja marganya di belakang nama anak-anaknya waktu membuat Akte Kelahiran. Apalagi nanti saat anaknya lulus kuliah kan pasti dipanggil tuh ke panggung saat wisuda. Tentu saja di dalam hatinya ada keinginan mendengar anaknya dipanggil lengkap dengan marga. Biar orang tahu bahwa itu adalah anaknya.

Saya sendiri lama-lama juga mulai merasa butuh identitas diri. Soalnya seringkali kalau ketemu orang baru, mereka akan menebak-nebak sampai capek, saya ini suku apa. Semua nama suku yang tipikal-tipikal mukanya mendekati diucapkan haha.. Mulai dari waktu ikut les komputer dan bimbingan belajar, lalu setiap kali buka rekening tabungan di bank, pasti suka ditanya suku apa. Apalagi ketika saya menuliskan fam mami saya di kolom ‘nama ibu kandung’, maka petugas bank akan mengeja nama itu dengan bibir keriting lalu dengan penasaran bertanya lagi itu nama dari suku mana.

Akhirnya. Ketika saya duduk di bangku perkuliahan, di situlah saya pelan-pelan mulai memperkenalkan diri sebagai seorang boru Damanik. Bagaimanapun, meskipun darah batak itu hanya setengah saja, tapi saya wajib mengikuti garis keturunan dari ayah. Tidak bisa tidak. Kalau kata mami saya, “Su melekat di tulang belakang mo…”

foto wedding nih 😀

Meskipun akhirnya pas wisuda nama saya tetap dipanggil tanpa marga, ya sudahlah tak apa. Tapi saya sudah menyiapkan langkah-langkah pembalasan selanjutnya. Hehee..

Langkah pertama adalah menambah nama “Damanik” di belakang nama saya secara resmi. Secara resmi? Bisakah? Bisa, tapi manual. Hehe… Pertama, saat dapat email kantor resmi. Hanya ada dua nama. Saya kemudian minta ke bang IT, tolong tambahkan marga saya di belakang nama saya sehingga nanti email saya akan berbunyi namadepan.marga@company.com.

Pertama dia bilang tidak bisa karena dari sananya tidak ada. “Apa pula gak bisa. Itu kan marga.” Saya merepet. Ya sudah, daripada panjang cerita dia dengar saya merepet, akhirnya dia tambahkan “Damanik” di belakang nama saya. Setelah nama email resmi berubah maka otomatis data profil saya sebagai karyawan juga berubah. Selanjutnya pun berjalan secara otomatis, mulai dari slip gaji sampai SK, dan so pasti id card…. Semua sudah pakai marga.

Mungkin saking kemaruknya, waktu lima tahun lalu saya bikin KTP Siantar untuk keperluan bikin Paspor, nama saya juga dicetak pakai Damanik (padahal kan harusnya gak ada). Dan ketika Paspornya jadi, ya namanya pakai Damanik, tentu saja. Haha… alhasil kalau mau pergi ke luar negeri, saya harus ubek-ubek laci dulu cari KTP Siantar saya ada di mana (hehe.. maklum waktu itu saya punya 2 KTP).

Dan belakangan ini, saya sempat was-was juga waktu tahun lalu mau berangkat ke luar negeri pakai paspor itu. KTP saya sudah KTP Jakarta, alamat beda, nama juga gak sama persis, beda dengan Paspornya. Fotokopi KTP yang alamatnya sama dengan paspor juga  saya sisipkan di samping paspor apabila diperlukan. Foto saya di KTP lama itu pakai kerudung pula, karena waktu ngurus-ngurus untuk umroh kemarin diminta bikin pasfoto harus berkerudung, nah pasfoto itu sekalian dipakai untuk bikin KTP Siantar itu. Tapi untunglah aman. Ya pasti amanlah, kalau cuma ke Asia doang mah.. *ngejek banget wakakaka….

Langkah kedua tentu saja dengan memproklamirkan diri sebagai boru Damanik setiap kali berkenalan dengan orang baru. Alih-alih menggunakan nama lengkap sesuai KTP, saya mulai membiasakan diri pakai nama panggilan dengan ditempeli marga saja. Suku batak kan punya kekerabatan yang sangat luas, jadi memberitahukan marga kita adalah keharusan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Ada satu kejadian yang juga melatarbelakanginya. Waktu saya kuliah dulu ada cowok di angkatan atas yang mau pedekate ke saya, datang bertamu ke rumah berdua sama temannya (biasalah, belum berani datang sendiri). Waktu ngobrol-ngobrol itulah mereka baru tahu kalau saya orang batak, dan waktu saya bilang saya Damanik, kedua cowok itu menganga karena terkejut. Karena ternyata si cowok yang mau pedekate sama saya itu juga Damanik! Saya ingat betul mukanya memerah karena malu sementara temannya menertawakannya. Ya dia memang gak salah, dia mana tahu saya orang apa, lha nama saja tidak ada marganya.

Makanya sekarang nama si Vay di akte kelahiran ditulis lengkap-lengkap dengan marga, biar kalau sudah besar nanti kalau ditaksir orang gak akan salah kaprah hehe….

Kalau dihitung-hitung, berarti sudah hampir sepuluh tahun saya ‘resmi’ menyandang identitas Damanik. *walaupun saya tetap tidak bisa berbahasa Simalungun*.

Sekarang sudah mulai terbiasa dengan panggilan ke-adat-an. Seperti dipanggil bou oleh keponakan. Atau dipanggil Eda kalau lagi jalan ke Pasar Inpres, hihihi…

Dan saya bangga. Tentu saja. Kalau sama marga sendiri saja tidak bangga, bagaimana bisa bangga dengan budayamu, bagaimana bisa bangga dengan bangsa dan negaramu? Jadi, pakailah margamu dari sekarang, jangan disimpan-simpan!

100 Comments

  1. kalo saya tidak punya marga, tetapi hidup di lingkungan yang penuh marga.. ambon ternyata banyak marganya, sekantor aja puluhan 😀

  2. Kalo saya gak punya marga mbak 😀
    Orang jawa jarang banget menggunakan nama marga 😀
    Btw, baru lagi nih themanya.
    Ah..jadi pengen 😀
    Pesen dimana toh mbak?
    Kasih bocoran lah :p

  3. Weleeeh aku juga bangga ama margaku kak!
    Identitas diri 🙂
    Untunglah dari dulu bapakku udh pasang margaku dimana-mana jd gak terlalu kerepotan kayak kk. Tapi, sempat repot juga siy, namaku kan panjangnya kayak kereta pai, kadang blum sampe marga, udh habis tempat buat nulis 😀
    huahahaha

  4. Oh ya lupa, saya pun darah Batak separuh yaitu dari Bapak, kalau Ibu saya Sunda asli 🙂

  5. Salut Eda he..he….mengangkat budaya Batak adalah mengangkat Budaya Indonesia juga 🙂
    saya sampai sekarang dalam keluarga besar walau sebagian besar keluarga besar tinggal di Bandung namun adat Batak masih melekat, panggilan Opung, Uda, Inang Uda, dan Bou masih kami pakai he..he…dan selendang Ulos saya bangga memakainya 🙂

    Perkenalkan saya Boru Ringo he..he… 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *