Saya mengenal istilah tip pertama kali ketika saya duduk di bangku akhir sekolah dasar. Waktu itu saya suka memperhatikan kebiasaan papi saya menyisakan uang kembalian lima ratus hingga seribu rupiah di atas meja setiap kali kami selesai makan. Saya heran, untuk apa dikasih uang lagi, kan kita sudah bayar? Papi saya bilang, itu tip untuk pelayan. Loh, untuk apa, kan mereka sudah digaji untuk melayani tamu? Begitulah sikap protes saya waktu itu.
Tidak terima dengan uang tip yang saya rasa besar itu, seringkali setelah papi saya berdiri, uang logam lima ratusan itu saya ambil. Hahaha… Maklumlah, waktu masih sekolah di Biak saya jarang dikasih uang jajan. Dapat uang jajan betulan itu setelah pindah ke Medan, besarnya Rp.300 per hari. Dan itu rasanya sudah banyak sekali buat saya. Jadi melihat uang lima ratus tergeletak di atas tray persis kayak melihat harta karun saja, hehehe… **Belakangan saya baru ngeh kenapa setelah sampai Medan saya dikasih uang jajan cukup banyak. Tentu saja agar saya tidak minder bergaul dengan teman-teman di sekolah, secara anak-anak kota besar gitu loh.
So, yes… setiap kali kami makan di rumah makan mana gitu, kalau saya lihat ada dua keping lima ratusan, maka akan saya ambil sekeping buat saya. Gak ikhlas, bo’… hahahaa… tapi tidak sering-sering, sih, bisa diomelin… 😀
Dari melihat kebiasaan papi saya memberi tip itu, lama-lama saya sadar bahwa sebenarnya papi saya mengajarkan kami anak-anaknya untuk belajar berbagi. Bahwa mereka, entah yang bekerja jadi pelayan di restoran, tukang creambath, office boy, petugas parkir, mungkin tidak seberuntung kita dalam mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan memadai. Jadi kalau memang kita ada sedikit rezeki, kenapa tidak dibagi sedikit pada mereka dengan memberikan tip secukupnya. Yeah, let say kalau kita bisa makan seharga seratus ribu lebih, masa iya gak bisa ngasih tip tiga ribu sampai lima ribu perak.
Sepengalaman saya, sekarang ini sudah banyak resto yang mengenakan service tax pada pengunjung. Untuk jenis resto yang mengenakan service tax seperti ini, saya biasanya tidak kasih tip lagi. Kecuali kalau pelayannya ramah dan sigap melayani, bolehlah dikasih ekstra tip sebagai komplimen. 😀
Beberapa tahun lalu, saya lihat satu door smeer yang menyediakan kotak besar seperti celengan dengan tulisan “Tip’s Here†sehingga si pemilik mobil bisa langsung memasukkan uang tip ke dalam kotak. Saya suka dengan model seperti ini, ini cara yang yang lumayan fair untuk mengatasi persaingan sesama pegawai. Maklumlah, kan tidak semua pengunjung royal dalam memberi tip, jadi biasanya pegawai-pegawai suka hapalin bos mana nih yang paling kenceng ngasih tip. Kasihan kan yang tidak kebagian. 🙂
Walau demikian, saya pernah juga menemukan klinik perawatan wajah yang melarang tamu memberikan tip pada pegawai mereka. Mungkin ini ada kaitannya dengan persaingan seperti yang disebut di atas ya, agar tidak ada pegawai yang rebutan customer royal dan sebaliknya mengabaikan tamu yang irit.
Untuk mensiasati kalau harus memberi tip, saya suka menyimpan uang pecahan dua, lima, sepuluh, dan dua puluh ribu di dompet. Jadi misalnya kalau pergi ke rumah makan dan bayar pakai kartu kredit (alias lagi gak ada uang cash :p), tetap bisa kasih tip. Besaran tip ya tergantung skala resto dan pelayanannya tentu saja. Sama halnya kalau ke salon. Kalau mau creambath or menipedi, pecahan tip yang dibawa juga harus banyak, karena yang handle juga biasanya lebih dari satu orang.
Selain yang di atas, yang sering saya beri tip adalah petugas trolley. Sebenarnya sih petugas trolley itu kan tidak bertugas menaikkan belanjaan ke mobil ya – tugasnya hanyalah mengumpulkan trolley-trolley kosong – tapi mereka juga tidak keberatan kalau dimintai bantuan. Dan saya pasti butuh bantuan mereka. Ya iyalaah… aduuh, bisa turun perut ini, kalau harus mengangkat karung-karung beras itu. 😀
Kebiasaan baru saya yang lain adalah memberi tip pada petugas mobil-mobilan remote control di indoor playground kecil lantai dasar di plaza dekat rumah. Soalnya kalau Vay lagi naik mobil di situ, dia tidak mau setir mobilnya dipegang, padahal mobil-mobilan itu harus dibelokin manual karena remote controlnya rusak. Alhasil si mas-nya harus belokin mobilnya dari ekor, bayangkan dong susah dan beratnya bagaimana. Jadi selalu saya kasih tip sebagai ganti ongkos lelah. Sekedarnya saja kok, kembalian dari beli karcis mobil-mobilan. Memberi tip di sini sekalian ada misi terselubung, maksudnya biar mereka hapal dengan si Vay, jadi kalau ada apa-apa bisa cepat diperhatikan. Ya memang akhirnya mereka hapal juga sama Vay, saking seringnya main ke situ, hehe…
Memang sih tidak ada aturan tentang harus tidaknya memberi tip. Tidak memberi tip juga tidak apa-apa. Dan kalau mau memberi, tentu saja sewajarnya dan yang penting ikhlas. ^_^
memang kepuasan yang kita terima dari seseorang yang mampu melayani kita dengan baik, tidaklah layak kita abaikan begitu saja….namun sadar atau tidak, tradisi tip inilah yang merusak mental setiap pekarja yang ada di indonesia ini…….
yah berbagi sedikit rizki gpp kan,cuma terkadang jadi kebiasaan tuh..
besar kecilnya tips juga tergantung yang penting ikhlas,aku tuh paling kalo ngasih tips,hmm kalo lagi ke salon ato luluran,kasian kan yah berbagi aja..!!
Apalagi jaman sekarang mah udah biasa ngasih tips,tul ga Zy..
Untuk pelayanan yang saya dapatkan dari orang lain saya sebisanya memberikan tip tentu jika pelayanan yang diberikan orang tersebut memuaskan. Tapi saya juga tidak segan-segan komplain jika mendapatkan pelayanan yang buruk….
Saya juga pernah menemui salah satu tempat foro copy yang pegawainya dilarang menerima TIP bahkan larangan tersebut ditulis besar-besar sehingga mudah dibaca para pengunjung
kalau peke kotak, tipsnya buat siapa yah mba???
syukur2 klo total isi kotak dibagi rata untuk semua pelayan yang dah bekerja.
salam kenal mba zee, 🙂
di china memberi tips belum trend. makan di restoran gak ada satu pun yg menyisakan tip di meja. wah, apalagi kalo makan bareng mertua..mereka tipe orang irit..mana mau kasih tips. di hotel2 juga, pelayan ngantarin kopor dll, mereka gak diberi tips dan gak minta tips. tapi biasanya aku bawa sendiri aja. toh kebanyakan cuman tas ransel yg dipanggul sendiri. atau kopor tarik yg kecil dan ringan. di salon pun sama gak ada satu orang pun yg memberi tips. jadi ntar saya malah dianggap aneh kalo kasih tips. apalagi saya motong rambut di depan rumah, cuman dirupiahin jadi 7000ribu rupiah. mau kasih tips berapa yah? di sini memang gak ada yg memberi tips. gak tau deh kalo kota gede macam shanghai, beijing, guanghzou .. kayaknya juga nggak..ntar mau aku tanyain ke teman2 kantor di guangzhou dan shanghai ahhh… kalo dulu di depok, potong rambut, saya kasih tips.
btw, kalo tips dalam kotak itu, bukannya ditilep sama yang empunya toko/salon/resto? dan gak dibagikan ke para pelayan/pekerjanya?
Kayaknya sih enggak ya Yan. Kotak tip itu justru untuk pelayannya. Kan jarang owner pegang langsung urusan operasional, jadi biasanya yg bikin ide begitu kalo bukan karyawannya ya managernya.
Hmm,, tntu yang diberi tip akan sangat bersyukur sekali 🙂
Salam semangat selalu Mbak, sudah lama tidak kesini 🙂
di beberapa resto besar, biaya pelayanan sudah dimasukkan ke tagihan kita. Tapi kalau ngasih tip lebih, ga ada salahnya dan ga ada yang nolak.