Arisan, kondangan, meeting, pertemuan guru murid, kopdar, reuni adalah banyak dari ajang pencitraan. Sebut yang lain lagi untuk menambahkan tapi intinya kumpul-kumpul adalah momen dimana orang akan berusaha menampilkan citra terbaik dirinya di depan orang lain.
Lihat parkiran, yang mobilnya paling mewah, itu punya siapa ya? Wah lihat itu si anu, dia pakai Blackberry terbaru, yang white pula, kan white lebih mahal dari yang black. Aiihh gile bo’ berlian di cincinnya gede banget, berapa puluh juta itu ya. Hmm pantas aja foto anaknya di facebook bagus-bagus, wong kameranya canggih begitu. Eh itu sepatunya bagus banget, merek apa sih, pasti deh mahal. Besok kan gue mau reuni sama teman-teman SMA nih, kudu bawa iPad dan nyetir mobil baru dong pastinya, kan bukti kesuksesan diri. Eh, itu dia baru beli iPhone4 lho. Yang 32Gb.
Jadi ceritanya waktu dua hari lalu saya ikut field trip dari sekolah anak saya ke TMII, secara tidak langsung saya mulai mengamat-amati – mostly – para mommy yang menemani anaknya field trip. Sebenarnya sih bukan hanya saat field trip, karena proses pengamatan ala intelijen ini (halah, gaya banget ya) sudah sejak si Vay pertama kali masuk sekolah. Waktu field trip kemarin, ibu-ibu dari kelas lain (bukan sekelas anak saya) ada yang gayanya – menurut saya – keren banget. Bercelana sependek mungkin, pakai kets bermerek dan kelihatannya masih baru, bawa ransel (juga merek mahal) di punggung, wah pokoknya sporty banget, dan yang melihat pasti langsung nebak ni orang pasti tajir. Lalu ibu yang lain lagi, kelihatan sedikit ‘menjaga level’ saat menggandeng anaknya, seolah anaknya adalah Michael Jackson yang tidak bisa disentuh sembarangan. Kalau kita tegur anaknya, mukanya seperti kurang senang, seakan-akan bilang eh gak level deh kita. Ada pula yang pakai kalung mas besar, gelang mas keroncong, cincin berlian, pokoknya lengkap deh.
Saya sempat menangkap lirik-lirikan seorang mommy, emak temannya Vay (yang tampil keren tentunya), just because I shot my princess with SLR. Entah apa yang ada dalam pikirannya, apakah membanding-bandingkan dengan entah punya siapa, atau mungkin pengen punya. Tapi pandangan matanya itu ketahuan sih, dia lagi menilai. Dalam hati saya bilang, Oh come on, it’s just the low end SLR. Kalau saya pakai eos-eos yang high end itu, bolehlah. LOL. Masalahnya ini satu-satunya yang tersisa setelah yang lain dibawa kabur si PRT. Hiks.
Berdasarkan pengamatan saya, pencitraan ini menular. Artinya ketika ada satu atau dua ibu yang setiap hari ngantar anak ke sekolah gonta-ganti tas dan sepatu, maka minggu berikutnya akan ada ibu lain – yang sebelumnya gayanya standar saja kalau ke sekolah anaknya – menyusul bawa tas yang bagusan dikit. Atau kalau misalnya ada ibu-ibu baru di sekolah anak kami dan dia diantar suaminya pakai mobil ke sekolah, maka minggu berikutnya akan ada ibu-ibu lama yang gak mau kalah. Kalau sebelumnya doi naik motor ke sekolah, sekarang bawa mobil, dan kunci mobil dicantolin di kantong belakang celana (biar kelihatan merek mobilnya). Ujung-ujungnya ya jadi bersaing haha…
Malah pernah tuh ada dua ibu yang awalnya saling menanyakan kerja dimana, lalu akhirnya malah jadi ngotot-ngototan gak mau kalah. Saya yang dengar mereka ngotot-ngototan cuma senyum saja diam-diam.
Well, manusia kan pada dasarnya memang suka dipuja dan disanjung, juga tidak pernah puas, selalu ingin lebih dan lebih, jadi ya manusiawi aja kalau kita bisa terimbas ikut ke dalam persaingan menonjolkan citra. Seperti saya, tentu saja juga pernah tergoda untuk gak mau kalah menonjolkan citra, wajar dong, saya masih manusia biasa. Belakangan ini pun tergoda banget ingin beli gadget ini itu yang high end, tapi ya gak jadi-jadi selain karena gak ada budgetnya, juga karena ternyata setelah dipikir-pikir toh saya gak perlu-perlu banget (kecuali dibelikan ya kita sih terima-terima saja, huehehe…).
Tapi pencitraan juga perlulah, karena pencitraan yang positif bisa saja membawa pengaruh positif buat yang melihat. Misalnya ya, kalau hari ini kita ketemu cewek yang terlihat cantik karena dandannya yang natural, lalu dalam hati kita berniat ah besok pengen coba dandan kayak dia tadi ah biar bisa terlihat cantik dan segar, itu berarti si cewek tadi berhasil menciptakan pencitraan yang positif. Atau saat kita lihat teman kita pakai iPad dan kita pun mencobanya lalu merasa itu akan cocok dipakai untuk menunjang kerjaan kita, itu yang namanya pencitraan positif. Kalau bisa menunjang appearance dan attitude yang positif, pencitraan memang perlu. Jelas !
Hoho. Sesuaikan dengan pribadi masing-masing saja sih. Dan yang terutama adalah jangan berlebihan. 😀
Saya itu selalu protes. Apakah seorang yang gendut itu selalu dicitrakan sebagai tukang makan, ya? Padahal makan saya sedikit, Bu. Paling ngemilnya aja yang banyak (doh).
zee…ga bisa kita hindari situasi seperti itu…yang penting saya selalu menekankan kepada anak2 bahwa segala sesuatunya yang paling penting adalah fungsinya. Jangan kita terkecoh membeli sesuatu karena brand tapi usahakan atas dasar fungsinya.
kok sekolahnya vay gitu2 banget mbak :p. Ati2 lo, kalo orang tuanya suka gegayaan, bisa2 nular ke anaknya. eeh bisa2 nular ke anak kita (*nakut2in). mama temenku udah pakai iphone, kok aq belum? mama temenku udah bawa mobil camry kok aq masih innova? *weleh (*nakut2in lagi) hehehe
heheh..ada2 aja ya kelakuan orang ya
pencitraan emang penting asalkan menjadi diri sendiri aja.. malah tidak punya beban.. dan tentunya nyaman.
setuju?
Kapan-kapan kalo pas beli TV baru saya mau bawa juga ah ke kantor. Kan critanya mau pamer 😆
justru saya akhir2 ini agak dibingungkan dng pencitraan. pencitraan bukan dimaksudkan untuk memperlihatkan diri kita sesungguhnya kah?
anehnya, saya lebih suka tampil apa adanya. meskipun banyak juga yang menyarankan saya lebih bergaya. jiaah… bergaya.
Hahahaa… bergaya juga tidak salah kok… kan kalau enak dilihat orang artinya berpahala 🙂
Ya pencitraan itu baik ko dan sah2 saja, selama tidak di paksakan.
Tetapi kalo menurut saya yg baik itu pencitraan akan karakter atau kepribadian bukan kekayaan.