Sore tadi, saat meneguk latte dari paper cup yang menemani saya dalam perjalanan pulang, pikiran saya melayang pada kejadian beberapa jam sebelumnya.
Hanya perkara secangkir kopi. Percaya tidak, sifat seseorang bisa terlihat dari secangkir kopi itu?
Cerita ini berawal di pagi hari, ketika seorang rekan yang baru pindah ke grup kami (sebut saja X) berbaik hati mengeluarkan selembar uang pink untuk dibelikan kopi untuk kami teman-temannya. X bilang nanti kami saja yang beli, dia tidak ikut. Jadi untuk berempat; si X, lalu saya, teman lain sebut saja A, dan satu lagi sebut saja C. X bilang atur saja, dan saya bilang biar cukup kita beli yang size short saja, harganya dua puluh lima ribu.
Saat jam makan siang tiba, saya dan A pergi keluar, kita pergi ke salah satu mall langganan untuk mengurus sesuatu, kemudian tentu saja berniat membelanjakan uang kopi tadi saat pulang. Tadinya mau pergi bertiga dengan C, tapi saat jam dua belas tiba mendadak dia kedatangan tamu, dan kita yang sudah menunggu dia di bawah; menelepon dia juga tapi tidak diangkat-angkat, akhirnya memutuskan pergi duluan. Yup, waktu istirahat terus berjalan. Tapi saat di mall, kita sudah konfirmasi ke C, kalau kita jalan duluan karena tidak ada kabar dari dia jadi ikut or enggak, dan kita bilang kita pasti bawa kopi jatahnya dia. Termasuk juga untuk X.
Setelah urusan selesai, saya dan A tiba di kedai kopi. Sesuai rencana di awal kan mau beli yang short saja, tapi kemudian saya berubah pikiran untuk pilihan saya, oh saya kan tidak cukup kalau minum yang short, jadi biarlah saya up size saja ke tall, gak apa-apalah nambah.
Nah ternyata, untuk pesanan X – ice blended vanila cream – minimum sizenya tall, dan harganya tiga puluh tujuh ribu, lalu A pesan hot chocolate, size tall, harganya tiga puluh lima ribu, then untuk C kita tetap pesan caffe latte short, dan saya pesan caffe latte tall. Saat ditotal, jadinya seratus dua puluh enam ribu. Ya mau bagaimana lagi, yang tall memang lebih mahal. A berinisiatif menambah lima belas ribu, karena katanya harusnya dia gak ikutan ditraktir. Jadi saya tinggal menambah sebelas ribu rupiah. Jadi penggunaan uang seratus ribu untuk minuman itu kalau diurut dari yang paling banyak adalah X, C, A, lalu saya. Tapi secara size; saya, X, dan A, sama besar, sementara C kecil. *Pusing? Enggaklah ya…. 🙂
Tiba di kantor, kita papasan dengan C di lobi bawah. Langsung dong dikasih caffe latte-nya di dalam paper bag itu. Asyiiikkk, seru C.
Saya bilang, “Cuma dapat yang short ya, soalnya uangnya gak cukup. Minumannya X mahal soalnya, gak ada size kecil pula. Jadi tadi kita berdua nambahin juga bayarnya.â€
“Oh lu gak bayar pake kartu kredit lu?†Saya memang biasa bayar pake kartu kredit yang satu itu, yang bisa dapat free up size, tapi tadi memang tidak dipakai, soalnya ada uang cash. Kalau tetap pakai kartu kredit, yang ada uang cash tadi pasti dipakai juga untuk yang lain, bukan disetor ke bank untuk bayarin pemakaian, bener gak? Boros dobel jadinya .
“Tadi memang gak pake,†jawab saya sambil berlalu ke pintu masuk.
Tapi saat C membuka paper bag dan melihat bahwa cup itu kecil sekali (8 oz, atau 240 ml), wajahnya berubah.
“Loh kok kecil banget ini?â€
“Size short memang segitu.â€
“Tapi ini kecil banget lho.â€
Saat saya mau nge-tap ID Card agar gate bisa terbuka, terdengar suara C memanggil. “Zy! Zy..!†saya celingak-celinguk, eh ternyata C menunggu saya di dekat gate pintu keluar.
“Ini deh, gak jadi.†C mengulurkan bungkusan berisi caffe latte itu.
“Loh, kenapa?†Pertanyaan itu keluar berbarengan dari mulut saya dan A. Apa dia tersinggung dengan size yang diberikan? Merasa dianaktirikan? Merasa kami tidak adil?
“Enggak, enggak, gua mo pergi soalnya.†Lalu dia berlalu begitu saja.
Muka kami berubah. Sama-sama kaget. Saya meraih paper bag itu dan berkata pada A, “Gapapa, nanti kita kasih saja sama yang lain.â€
“Tuh kan Zy, dia ngambekan orangnya. Harusnya tadi gue gak usah ikutan pesan, kan kalian yang suka kopiii… gue sih gak masalah gak usah minum hot chocolate juga gapapa…†Oh iya, teman saya A ini memang tipe teman yang sangat menjaga perasaan temannya, meski saya tahu beberapa kali dia dan C pernah diem-dieman karena “tidak sependapatâ€. Kalau saya, tentu juga berusaha menjaga perasaan teman, tapi saya bisa menentukan sejauh mana batas toleransi itu.
“Gak usah dipikirinlah, Mbak. Udah tua kok masih ambekan, kalau seumuran Vaya ngambek mah gpp.â€
A tertawa. Tapi saya tahu dalam pikirannya ada kata yang tak terucap, dan beberapa saat kemudian kami berdua mengucapkan kata yang sama. Berkaitan dengan sifat anak manusia. Sebuah sifat yang berasal dari hati, dan keluar entah disadari atau tidak, karena perkara secangkir kopi.
Ah! Apa ya yang terjadi besok kalau X ketemu dengan C dan berkata, “Hei, utang kopi gue udah lunas ya!†Kira-kira C akan bilang apa ya?
Duh, masa sih ada yang kayak gitu mba Zee?
Rada buang buang energi juga yah..
Sedangkan kalo diitung nominal juga paling selisih sekian ribu..
Ngambek jauh lebih penting sepertinya yah..hihihi…
Buang energi banget. Kesannya gimana gitu ya. Udah dikasih, udah mau, tapi terus dibalikin….
Mending beli dan bayar pake duit sendiri ya, Mbak. Nggak risiko diomelin, hihihihik…
Trus, sama nggak enaknya kalau pas traktiran ternyata yang nraktir pesen makanan/minuman yang harganya jauh lebih murah daripada pesanan kita. Ini kalau saya ya, suka nggak enak sendiri 😆
Itu dia, kan ga enak klo X dibelikan yg lebih murah secara dia yg traktir. Sy da tahu pasti ga cukup klo beli 4, jadi ya nambah sendirilah…. ehehehe…
oh, jadi ini toh maksud lattenya terasa pahit.
kalau dari filosofi kopinya dee, sifat seseorang memang bisa dilihat dari kopinya. yang paling saya ingat hanya kopi hitam saja, haha.
Hahah…. Iya tuh ada banyak filosofi kopi yang aku baca juga…
Salam kenal Zy.
Eh kok gw jadi negbayangin tempat kerjanya sama kaya kantor gw yang dulu ya? Hahaha. imajinasi berlebih. Tapi emang ada siih orang yang ga bisa ditawar sedikitpun dan kalo kek gitu mending dicuekin ajah. Hihihihi
Eh mungkin saja sama kantornya…. *halah…
Tapi masalahnya ngambeknya itu ga jelas. Di awal sudah OK short.. terakhir malah begitu…. 🙂
huahahahaa
tapi emang ada aja yang model gitu ya zy. yang udah tua tapi ngambekan. 😛
Sekarang banyak banget udah tua2 tp ngambekan lhoo… 😀
udah ada anak kawan mu itu kak?
Masih single Elz….
Benaran seperti anak kecil ya 🙂
Kalau nggak sesuai hatinya, ngambek.
Aku juga kalau punya teman seperti itu nggak mau dekat-dekat.
Kejadian tadi jadi catatan buatku… Jadi kita sudah tahulah orangnya gimana…