Tak semua orang suka tertawa. Tapi saya suka. Berkumpul dengan teman-teman lama atau teman baru yang cocok pasti ujungnya adalah ger-geran penuh tawa.
Siang tadi, saya janji ketemu di Grand Indonesia dengan seorang sahabat dari Medan. Kami mengobrol ngalur ngidul, membahas ini itu, dan kadang diselingi dengan tawa. Kerinduan akan kehangatan berkumpul dengan teman telah memberikan rasa nyaman di hati, sehingga sering kali kami lupa bahwa kami ada di ruang publik dan – mungkin – tawa kami bisa mengganggu ketenteraman orang lain. Maklumlah, kami orang Medan, gak cuma cakap aja yang kuat, ketawa pun sama kencangnya.
Angin bertiup kencang saat saya dan Wied mengantri taxi. Seketika rambut saya berantakan, terbang semua ke arah wajah. Saya langsung putar badan, dan bilang begini ke Wied : “Aku berdirinya gini ajalah, biar rambutku gak terbang-terbang. Tapi kita ngobrolnya jadi membelakangi gini.†Lalu kami tertawa.
Di depan kami orang-orang mengular menunggu taxi burung biru. Ada yang berpasangan, ada yang berkelompok, ada juga yang sendiri. Pria di depan kami melirik dengan wajah datar, mengamati sebentar sebelum mengalihkan pandangan pada teman wanita di sebelahnya. Lalu di depan Wied, seorang ibu muda dengan anak kecil, beberapa kali mencuri-curi pandang ke saya seakan berusaha mengenali. Yeah mungkin saya mirip orang yang dikenalnya. Di depannya lagi seorang wanita karir yang keren berdiri dalam diam. Semua berwajah ketat, mungkin capek dan bete kali ya, soalnya taxi yang datangpun seperti keran air macet, lima-lima menit baru ada. Tiap kali kami mengobrol dan tertawa (dan dengan suara kuat), kepala-kepala itu menoleh. Mungkin penasaran, mungkin terganggu, entahlah.
“Aku rasa orang-orang ini sudah lupa rasanya tertawa,†kata Wied. Yeah. Bisakah mereka lupa rasanya tertawa? Bisa, tentu saja. Sebagian orang memang ada yang sangat serius sehingga jarang tertawa, bahkan tertawa bersama keluarganya saja mungkin tak sering. Kalau setahun dua tahun lalu saya suka lupa kapan terakhir saya tertawa lepas, belakangan ini saya malah lupa kapan saya tak tertawa. Ya. Sepertinya saya telah menemukan tempat dan orang-orang yang pas, sehingga cukup sering kami tertawa bersama. Tertawa itu membahagiakan, menghibur, dan membuat nyaman. Sungguh. Jangankan tertawa, melihat orang tertawa atau menebarkan senyum pada saya, yang tadinya rasanya bete, pelan-pelan mencair.
Anyway, saya jadi teringat pada seorang teman Vay di sekolah. Anak baru. Wajahnya selalu tanpa ekspresi. Dingin saja, tak pernah tersenyum. Bahkan saat orang lain tersenyum padanya dan mengajaknya berinteraksi, bibirnya tak jua mengukir senyum. Lekuk bibirnya selalu melengkung ke bawah, seperti icon unhappy face. Saat ibunya menjemput dan menggandengnya, dia tetap tak tersenyum, beda dengan anak-anak lain yang giginya langsung keluar saat melihat parentsnya menunggu di depan pintu. Tak tahulah kenapa gadis kecil itu tak pernah tersenyum, entah tak suka sekolah atau kenapa, ya saya tidak tahu. So far waktu ngobrol dengan ibunya, ibunya juga tak pernah menyinggung kalau anaknya tak suka sekolah misalnya.
So, muncul tanya yang lain di hati saya : “Apakah dia tahu rasanya tertawa?†Bukan “lupa†lagi seperti kata Wied, tapi “tahuâ€. Hanya rasa penasaran saya saja, tak bermaksud men-judge tentu saja. Kan orang luar hanya bisa melihat kulitnya saja toh. Karena saya waktu kecil (sampai sekarang kadang juga masih sih), juga tipe orang yang jarang tersenyum, sampai teman-teman orangtua saya bertanya ke papi mami saya, kenapa itu anaknya yang nomor dua mukanya ketat terus, hahah…! Tapi ya, itu karena belum ketemu aja selanya. Kalau udah tahu, yang ada ya ketawa terus, becanda terus gak kelar-kelar.
Saya sih tak masalah kalau orang-orang di sebelah saya tertawa, karena kesenangan mereka itu biasanya menular. Happy toh jadinya. So, senyumlah. Ketawalah.
Tertawa itu seperti makan kenyang. Makin banyak tertawa, makin kenyang. Kebanyakan tertawa, kekenyangan. 😀
Tertawalah dengan riang, sebab akan mengurangi beban deritamu… 🙂
Hi tumben nulis lagi 🙂
Aku percaya kalau ada orang yang bilang bahwa tertawa itu mbikin urat wajah lancar peredaran darahnya…
Sering hari2ku berlalu tanpa tawa, aku selallu mengusahakannya meski sebentar untuk tertawa… dan tawa itu memang menyegarkan 🙂
Hahaha… kan memang harus nulis Don. Merasa bersalah kalo lama gak nulis.
Kasihan sekali kamu don hari2 berlalu tanpa tawa. Mungkin blum klop dgn candaan orang bule kah?
ah rugi kalo orang gak suka ketawa ya… 😀
saya juga suka ketawa, bahkan dalam banyak postingan/komen pun sulit buat saya untuk tidak menyertakan tanda 😀 / :)) – merasa perlu aja mengekspresikan bahwa saya tersenyum atau tertawa.
aslinya memang begitu sih, tentu saja di saat2 bukan sedang marah2 lho ya hahaha …
tau dong ngadepin para asisten kayak apa
btw kenapa ketemuan di GI? Kok ga diajak ke MOI temennya? Kan bisa sekalian mantau usaha hehehe
Yup. Ketemunya siang hari saat lunch jadi emg gak bisa ke MOI. Jauh bo. Sementaara GI itu dekat sekali dari kantor… jadi ya pilihannya ke GI. 🙂
Setidaknya yang saya tau tertawa itu melegakan. Membahagiaakan buat orang yg mendapatkan senyum dan menenangkan ketika mereka senyum balik..lalu sama-sama tertawa. Dek Vai senyum sama om dong. Tapi waktu liat wajah jangan ketawa kenceng-kenceng ya… hehe
Iyaa bener banget. Kalau dapat senyuman dari orang (yg tulus tentu) hati rasanya adem…
Ketawa itu emang paling indah, bisa mengekspresikan kegembiraan gitu dengan rasa puas 😀
Lagian tertawa itu kan penghilang stress 😀
Btw, pernah lihat juga mbak ada anak kecil yang tanpa ekspresi sedikitpun.
Dianya gak ketawa, eh sayanya yang malah jadi ketawa lihat mukanya yang tanpa ekspresi itu.
Aneh soalnya 😆
Dasar ya, anak kecil diketawain. Kalau saya jadi ibunya, udah tak cekek… :p