Sa bilang buat mereka: “kita di Papua itu bicara pakai Bahasa Indonesia”

Di esempe saya dulu, di setiap ruang kelas ada bingkai yang agak besar terpajang di dekat papan tulis. Isinya :  “Pergunakanlah Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.” Sekolah saya itu sekolah katolik yang cukup besar, dimana smp dan smu digabung jadi satu sekolah dengan halaman luas dan fasilitas lengkap, dan siswa-siswi di sekolah itu berasal dari banyak ras. Ada batak, tionghoa, jawa, dan melayu.

Yang agak unik dibandingkan sekolah lainnya, sekolah saya itu jumlah siswanya imbang antara etnis tionghoa dan pribumi. Kalau di sekolah katolik lain, ada yang mayoritas tionghoa, dan ada juga yang mayoritas pribumi. Yang paling seru tentu saja kalau terjadi perkelahian, karena biasanya merembet jadi tawuran antar etnis. Seru!

Bersekolah di sekolah swasta memang rentan dengan yang namanya gap dan sukuisme, dan terlepas dari masalah SARA, saya yakin bila saya disuruh memilih, saya pasti memilih sekolah di sekolah pribumi. Sekali lagi ini bukan SARA, tapi memang sudah dari sananya manusia memiliki sifat untuk “berkumpul” dengan orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Seperti saat saya tamat esempe, saya melanjutkan ke smansa, sementara sahabat-sahabat saya yang orang tionghoa lebih suka lanjut ke  swasta katolik (lagi) atau sekolah ke luar negeri.

Kembali ke tulisan di atas. Bingkai bertuliskan “Pergunakanlah Bahasa Indonesia dengan baik dan benar,” itu dimaksudkan agar para siswa Tionghoa tidak menggunakan bahasa daerah selama bersekolah. Sedikit kurang fair juga karena setahu saya para guru batak di sekolah saya itupun suka berbahasa daerah antara sesama mereka.

Selain itu orang Medan sendiri tidak bisa dibilang menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Mungkin ini pengaruh dari bahasa Melayu juga ya, karena di Medan suasana etnis melayu terasa cukup kental. Jadi kalau ada teman yang baru pertama kali ke Medan biasanya suka geli dengar orang Medan bicara. Misalnya : “Cemana kabarmu?” yang artinya : bagaimana kabar kamu? atau : “Bah yang parah kali lah kawan itu…” (jangan sampai salah mengartikan kalau temannya sedang sakit parah ya, kekekeke…) atau, “Keknya aku gak ikutlah…” Pokoknya banyak sekali yang diplesetkan. Limapuluh disingkat limpul, tentara dibilang tentra, pasar dibilang pajak, mau disuntik katanya dijarum. Kekekeke…

Pertama kali pindah ke Medan lama juga buat saya menyesuaikan diri dengan gaya orang Medan bicara. Sebelumnya saya tinggal dan sekolah di Biak. Di Biak juga punya ciri berbahasa sehari-hari, juga hobi singkat-singkat, seperti : “Sa mo pi cari ikang dolo..” atau “Ko jang cari gara-garaee..” atau “Tadi katorang su datang kesana, tapi dorang bilang tete su kaluar dari pagi..”

Tapi bila bertemu orang baru, kita pasti menggunakan bahasa Indonesia yang lengkap biar lawan bicara mengerti. Begitu juga dalam tulis menulis. Jadi orang-orang Papua itu sebenarnya lebih pintar menggunakan bahasa Indonesia dibanding beberapa daerah lainnya lho. Makanya saudara saya yang pernah datang liburan dari Papua ke Medan komplen ke saya, mereka bilang “Kenapa orang-orang ini suka tanya, kita di Papua itu bicara deng bahasa apa. Ih, sa bilang buat mereka : Eh kita di Papua itu bicara pakai Bahasa Indonesia…” Hehehehe..

Setiap daerah memang punya ciri khas masing-masing, dan itu tidak bisa dihilangkan. Tapi seringkali gaya berbahasa ini juga dibawa dalam hal tulis menulis resmi, seperti menulis surat lamaran. Waktu masih di Medan, saya pernah diminta bantuan menyortir surat-surat lamaran yang masuk, dan saya menemukan beberapa surat lamaran yang isinya agak kacau balau untuk ukuran surat resmi.

Lalu jangan lupakan pula, bisa berbahasa Indonesia belum tentu mengerti artinya. Yah, kalo bahasa ibunya sendiri saja tidak mengerti, bagaimana dengan bahasa asing? Padahal tahu sendiri jaman sekarang sudah banyak bahasa asing yang diadaptasi ke pembicaraan sehari-hari.

Gak percaya? 🙂 Kemarin siang saya dan rekan-rekan kantor makan bersama di sebuah resto di Kebon Sirih. Tunggu punya tunggu, sudah hampir lima belas menit kok minuman yang saya pesan gak datang-datang jugaa….. padahal saya cuma pesan air mineral. Pesanan teman-teman lain kayak jus dan milkshake udah datang duluan. Lalu saya panggil mbaknya.

“Mbak tadi saya  pesan air mineral, kok belum datang juga ya?”

“Oh, kita gak punya air mineral, mbak.”

Saya terdiam. Bingung & sebel. Sebel, kalo emang gak ada kenapa baru dibilang sekarang? Bingung karena, ini kan restoran masa iya gak ada air mineral? Di warung kecil pinggir jalan aja ada.

“Emmm… kalo gitu, soft drink. Adanya apa aja Mbak?”

“Ada es cendol, es campur, blewah….”

Loh! Loh! Es campur kok dibilang soft drink.

“Bukan bukan… arrr… eerr…. itu aja deh, air, air putih aja, deh. Ada gak?” Saya mulai ragu, jangan-jangan air putih biasapun mereka gak punya.

“Air putih? Ada mbak. Mau… Aqua…mbak?”

Dan sayapun kehilangan kata-kata, Saudara-Saudara. Speechless.  Teman di sebelah saya juga membelalak, pengen ketawa tapi terperangah.

“Ya sudahlah, Aqua.”

“Dingin atau gak mbak?”

“Dingin.” Jawab saya, juga dingin. Udah gak mood lagi mo marah. Biarlah, biarlah dia dengan air putih, air mineral, soft drink atau es blewahnya itu.

Jadi ingat pelayan di sebuah resto di Medan.

“Saya pesan ice lemon tea satu.”

“Dingin atau panas mbak?”

Pada kesempatan lainnya, masih resto yang sama.

“Jus jeruk ajalah mbak…”

“Jus jeruk gak ada. Yang ada orange juice.” Menjawab dengan tampang belagu.

Juga pelayan di sebuah resto di Sarinah.

“Ini ada daging asap-nya ya Mbak…”

“Oh enggak… ini pakai smoke beef.”

Pesan buat para pemilik RESTO : Tulislah MENU dalam bahasa Indonesia saja, atau bila memaksa ingin lebih keren, jangan lupa lengkapi pegawai Anda dengan product knowledge yang baik.

Lalu, seperti apa sih bahasa Indonesia yang baik dan benar? Kalo dulu katanya harus sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan), sekarang bagaimana? Kan sekarang sudah banyak tambahan kosa kata yang berasal dari bahasa daerah, bahasa asing, dan bahasa gaul. Novel, cerpen, blog, sekarang kelihatan sudah lebih bebas dan kreatif dalam bertutur tulisan, tidak melulu menggunakan gaya bahasa yang sangat baku. Any idea?

81 Comments

  1. sep, bner bgt… rada aneh memang yak klo di rumah makan gtu, saya juga pnah tuh kayak gtu. Yg air mneral itu….

  2. Hmmmm kalo bahasa daerah yg beragam kayaknya seru ya.. Memperkaya khasanah budaya… Kayaknya justru perlu dilestarikan lah yang bahasa daerah dan bahasa2 hasil leburan bahasa Indonesia dan bahasa daerah..

    Klo bahasa Indonesia yang berbaur dgn bahasa asing… Hmm.. namanya juga efek globalisasi, ya… Asal di forum dan media resmi tetap aja dipakai bahasa Indonesia baku.. Tapi mungkin EYD yang dibuat tahun 1974 juga udah perlu diperbaharui kali yaa…

  3. Maklum mbak….mereka gak diikutkan pelatihan di tempat kerjanya…kalau air mineral aja gak tahu mungkin mereka wong ndeso yang mungkin lulus smu aja enggak….yang sabar mbak….kalau soal mereka agak belagu…mungkin karena sedang tanggal tua…maklum gaji kecil…bayar ini..itu…gaji gak cukup…*kok jadi ngelantur*

  4. hahahaaha……… aku juga pernah tuh punya pengalaman begitu…rasanya mau dilempar aja tuh buku menu… odob buangedd pramusajinya… sepertinya pemilik resto harus hati2 seleksi karyawannya.. haiyahhhh….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *