Hikmah dan inspirasi bisa datang kapan saja. Itu yang terjadi siang tadi saat saya keluar ke Sarinah untuk membeli sesuatu. Ada sebuah peristiwa yang bikin hati saya sesak, mungkin – ya mungkin – karena saya melihatnya dari profesi saya sebagai seorang ibu.
Saya sedang berjalan keluar dari gedung Sarinah, hendak mencari taxi. Tapi langkah saya terhenti saat melihat pertengkaran sengit antara seorang anak perempuan dan ibunya.
Anak perempuan itu berumur sekitar tujuh tahun. Pakai dress khas anak-anak, selop anak-anak juga, tapi sedikit berhak – yeah, you knowlah, anak-anak perempuan memang lebih cepat dewasa dan itulah umur-umur dimana mereka sudah semakin pintar berekspresi layaknya gadis remaja, padahal haid saja belum. Ia menangis, meraung-raung, sambil memukuli ibunya, seorang perempuan cantik berkerudung dan berbaju ungu. Saya pikir, anak ini pasti merajuk karena suatu hal.
“Kamu mau apa, sih?†bentak ibunya. Anaknya tentu saja tidak bisa menjawab, karena kelihatan masih sangat emosi. Ia terus menangis sambil memukuli ibunya. Sang ibu makin emosi, tapi dia sadar ada orang lain di situ yang memperhatikannya – yaitu saya – jadi saya menduga dia sedikit menjaga sikap karena ini di tempat umum. Anak perempuan itu dicubit dengan kuat di pipinya, lalu si ibu berjalan ke arah gedung – lewat di belakang saya – tetap diikuti si anak yang masih menarik-narik bajunya. Apakah dia berharap saya segera berlalu dari situ? Karena dia malu ketahuan tidak bisa mendiamkan anaknya?
Saya tidak bergeming. Saya kasihan dengan anak itu, dan saya ingin tahu bagaimana ibunya mendiamkannya. Saya menoleh melihat ke arah mereka, dan saya lihat ibu itu menggendong anaknya sebentar, berusaha mendiamkan, tapi anak itu tetap meronta, menangis, memukul ibunya. Saat itulah tiba-tiba muncul seorang pria paruh baya dari balik pilar. Wajahnya juga sama seriusnya dengan saya, dia melihat saya dan juga melihat ibu anak tadi, lalu tahu-tahu sudah hilang entah kemana. Saya menduga itu pasti bapaknya, yang mungkin membiarkan istrinya menangani anak mereka.
Si ibu menyerah. Dia menuruni tangga lobby ke arah gerbang, dan anaknya mengikuti dari belakang. Saya sempat hilang visual sesaat karena melihat BB, lalu saya pun turun, memutuskan untuk keluar mencari taxi. Eh ternyata di depan gerbang saya ketemu dengan ibu tadi. Dia sudah duduk di boncengan bersama seorang pria, dan mengancam akan meninggalkan anaknya di situ. Oalah, ternyata yang itu toh suaminya, bukan bapak-bapak yang tadi. Di depan motor mereka, saya berhenti lagi. Serius, kali ini saya terang-terangan menunjukkan keberadaan saya sebagai “pengawasâ€, kayak hei jangan macam-macam sama anakmu lho! Si bapak kelihatan sedikit tertekan, tapi dia tidak marah-marah seperti istrinya. Sementara si istri memaksa suaminya jalan saja biar anaknya kapok ditinggal sendirian (tentu saja itu cuma ancaman), anaknya terus menangis, tapi si suami tidak mau jalan. Dia panggil anaknya untuk duduk di depan. Anak itu tidak mau. Datanglah seorang bapak petugas parkir, berinisiatif menggendong paksa anak perempuan itu agar mau naik ke depan, tapi anak itu terlalu kuat. Dia berontak. Dia marah. Dia tidak mau dipaksa naik ke motor, dia tetap mencakar-cakar baju ibunya. Biarpun dipukul dan dibentak ibunya, tapi saya bisa melihat kalau anak itu hanya menginginkan ibunya. Dia meraung-raung di atas paha ibunya yang menepis tangannya karena marah bagian bawah roknya hampir terangkat.
Dan tiba-tiba pria yang tadi ada di lobby muncul lagi. Terburu-buru dia mendekati motor pasutri tadi, dan membungkukkan badannya di samping anak itu. Ia membawa paper bag kecil Dunkin Donuts, dan dia memberikannya pada anak itu. Katanya : “Dek, ini ya… sudah, jangan nangis.†Masya Allah. Hati saya rasanya penuh dan sesak melihatnya, baik sekali pria ini. *ah aku memang terlalu perasa. Anak itu sempat berhenti nangis sebentar melihat bungkusan itu tapi lalu menangis lagi. Si ibu kelihatan sedikit tidak senang, mungkin malu karena ada banyak orang melihat. “Tidak usah, Pak,†tolaknya. “Tidak apa-apa kok, Bu.†Jawab pria itu cepat. Si suami lebih bijak, dia mengangguk pada pria tadi dan mengucapkan terima kasih. Pria itu segera berlalu setelah mengusap cepat punggung anak perempuan itu. Ibunya kembali merepet, “Dari tadi ditanya maunya apa, gak mau bilang.†Saya yakin ucapannya itu ditujukan pada saya yang berdiri mengawasi mereka. Saya tersenyum saja. Saya tidak habis mengerti kenapa ibunya tidak mau berusaha memeluk anaknya dengan penuh sayang, sebentar saja, lima menit juga cukup, agar anak itu reda dulu tangisny.
Dalam hati saya sempat berkata, bagaimana mungkin orang lain lebih tahu apa yang diinginkan anakmu daripada kamu? Saya berlalu meninggalkan mereka, menaiki taxi. Saat taxi mulai melaju, saya lihat ibu dan bapak tadi tetap belum berhasil membujuk anaknya untuk naik ke motor.
Di dalam taxi, saya terdiam. Tiba-tiba saya malu dengan perkataan saya tadi. Kok bisa ya saya menjudge ibu itu dengan begitu mudah, padahal saya sendiri mungkin tidak lebih baik dari dia. Baru saja dua hari lalu saya memarahi putri saya. Saat sedang sujud sholat rakaat terakhir, anak saya memeluk dan memanjat saya dari belakang, dan ujung-ujungnya dia tersungkur membentur lantai. Dan dia menangis dengan sukses. Alih-alih membujuknya saya malah memarahinya dengan keras karena sudah mengganggu saya sholat. *setelah marah, jadi menyesal, masa baru sholat langsung marah-marah. Dan ternyata bibir Vay berdarah dan jontor karena kebentur lantai. Tapi karena dia lihat maminya marah dan dia tahu itu salahnya, dia berusaha keras menghentikan tangisnya. Saya tidak bicara apa-apa, dingin saja saya usap bibirnya pakai handuk kecil lalu saya kasih ke mbaknya. Saya menenangkan diri dulu di kamar, biar emosi turun. Saya dengar sambil terisak Vay cerita ke mbaknya kalau dia tadi nakal karena ganggu mami sholat.
Sepuluh menit kemudian emosi saya reda dan penyesalan itu pun muncul. Baru deh bisa berpikir jernih. Kenapa tadi Vay memanjat-manjat maminya? Tentu saja bukan karena mau mengganggu, tapi karena dia kangen sekali dengan maminya yang seharian gak ketemu, jadi ingin dipeluk-peluk terus, disayang-sayang terus. Dan kenapa sih saya tidak menahannya sedikit dengan tangan saya padahal saya sudah merasa dia meluncur ke depan. Tuhan juga mengerti kalau itu untuk melindungi anak saya. Ah teganya saya membiarkan anak jatuh. Beginilah kalau sedang jengkel karena satu hal, jadi kena ke anak. 🙁
Saya keluar kamar lalu saya panggil dia. Saya usap bibirnya yang bengkak itu pelan-pelan, lalu saya peluk erat-erat dan saya minta maaf karena sudah marah padanya. Vay balas memeluk saya dengan eraaaat sekali. Tidak ada rasa dendam atau sakit hati karena sudah kena marah. Ah, apakah saat anak-anak besar nanti hatinya masih bisa sejernih saat masih balita, dimana hanya ada cinta di hati, belum ada rasa dendam atau sakit hati.
Ada dua pelajaran yang saya dapat dari peristiwa tadi. Pertama, jangan pernah membiarkan setan menguasai dirimu saat sedang bersama anak. Itulah doa tambahan saya setiap malam. Saya minta diberi tambahan cinta lebih banyak untuk anak saya, agar setiap kali saya mau marah, saya akan berpikir beberapa kali sebelum menumpahkan kemarahan tidak jelas padanya. Pelajaran kedua, pria baik hati itu telah membuka mata saya, bahwa anak-anak adalah sumbernya cinta. Seorang pria asing yang mau membelikan donat untuk anak kecil yang tak dikenalnya agar anak itu tidak menangis lagi, itu karena ada cinta. Dan saya tidak ingin menyia-nyiakan cinta saya, anak saya.
Ah.. Mami cinta kamu, sayang… always.
menghakimi memang mudah, beberapa kali saya salah faham dengan kelakuan anak yang saya fikir berbuat salah dan nakal. padahal …………
.
.hikss… hikss… hikss…
yak ampun, trenyuh aku … hampir nangis, hiks T_T sulit ya jadi Ibu, harus banyak yang dikorbankan, perasaan juga T_T
well…semoga kita semua bebas dari setan 😀 dan tetap sayang anak 😀
huaaaaaa zy…
gua baru aja semalem nyesel abis marahin si andrew.huhuhu…
tapi emang penyesalan selalu dateng terlambat ya…
anyway, thanks for sharing… masalah begini walaupun kita sebenernya udah tau, tapi emang harus sering2 diingetin lagi, lagi, dan lagi ya… karena kita suka lupa…
Sama-sama ya Man. Yah gitulah, kita sih udah tahu itu salah, tapi tetep aja suka lupa… *namanya juga manusia ya..
hmmm, emang musti extra sabar ya, mbak klo punya analk. gak kebayang ntar aku gmana ….
Zi, aku juga pernah marah-marah ama anak2 apalagi saat aku pulang kerja, kerjaan di rumah numpuk anak2 rewel kayaknya udah ngga karu-karuan lagi, abis itu beristigfar deh…liat dua bocahku meringkuk ketakutan, makanya sekarang aku kalo udah ngga bisa mengendalikan emosi lansung ke kamar dinginin hati dulu, soalnya saat seperti ini bisa-bisa anak jadi pelampiasan padahal salah mereka apa coba?
Iya, anak2 gak salah tapi jadi sasaran.. duh emang kudu stok sabar sebanyak mungkin…
menurut pak Irwan Rinaldi jangan memakai otak reptil yang mudah marah. itu teori sih mbak kenyataannya aku juga susah. apalagi kalau sholat ya ada aja gangguan dari anak2
Ya kalo bicara teori sih gampang ya, tapi giliran kita menghadapinya :(, susah…