Semangkok Semangat

Semangkok Semangat

Secangkir teh susu : Pernah gak saat sedang kerja dengan mimik serius, kemudian ada teman lewat dan berkomentar, Wah, kerjanya serius banget siiihhh. Ucapan yang kesannya ngenyek tapi sebenarnya tidak bermaksud serius, karena yang bicara juga mengerti, kalau orang bekerja memang pasti begitu. Pekerjaanmu, profesimu, adalah ibadahmu.

Setiap pagi saat pergi ke kantor, di tengah padatnya kendaraan yang merayap di depan Banjir Kanal Timur, beberapa tukang sapu jalanan saya lewati. Rata-rata pria tua dengan rambut putih memenuhi kepala. Mereka biasanya terus menyapu pasir, tanah, dan sampah apa pun, kemudian diserok ke dalam serokan. Tapi ada satu penyapu jalan, yang tidak pernah saya lihat sedang bekerja. Pokoknya setiap saya lewat, dia sedang berdiri, kadang juga duduk di batu, sambil memegang sapunya, merokok, dan mengamati kendaraan-kendaraan yang lewat. Sedang apa dia? Menunggu ada pengendara yang memberikan sedekah barangkali? Tak salah, karena beberapa bulan lalu saya lihat sebuah Fortuner putih berhenti sebentar untuk mengulurkan sebungkus nasi pada seorang penyapu jalan, saya tak ingat itu dia atau bukan. Saya sih tak akan mau memberikan dia uang atau makanan kalau melihat kerjanya yang malas-malasan sementara rekannya di depan tadi tetap bekerja.

Berbeda dengan bapak penyapu jalan tadi, beberapa hari lalu saat saya singgah ke Mall Kota Kasablanka sepulang kantor, ada petugas parkir yang terlalu bersemangat.

“Trus… truuuss…. truuss… iya, kiri sedikit, truss… trusss Bu, trusss Buuuu…!!”

Hiiih…. saya sampai gedek sendiri, karena kehebohannya itu. Ngapain sih mesti teriak-teriak begitu, kan setiap jalur parkir itu ada pembatas di belakangnya. Kita pasti berhenti begitu ban sudah menyentuh batas. Kadang suka under estimate deh sama ladies driver. Selolah, Bang. Hmm, tapi, kenapa saya harus komplen ya. Memang itu tugas dia kan?

Petugas parkir yang sangat bersemangat itu malah membuat saya jadi menerawang, sepertinya sudah lama saya tidak melihat semangat kerja yang seperti itu. Dulu waktu baru bekerja, rasanya energi gak habis-habis, kerja bareng team selalu fun, dedikasi habis-habisan buat perusahaan, meski kemudian ketika tahun-tahun berlalu dan karir tidak menunjukkan peningkatan berarti, beberapa rekan pun mulai kendor semangatnya. Dan mulailah aura negatif itu tersebar. Rasa tak puas, mengeluh, skeptis. Dan saya ingat sekali kalau dulu saya memarahi salah satu teman saya yang selalu mengeluh. Biasalah, kan saya emosional :D. Saya bilang, kalau kalian tidak puas, kenapa tidak resign saja, gue gak mau telinga gue dengar yang gak enak. Karena mendengar yang negatif itu bisa membuat hati jadi tercemar. Kerja itu tanggung jawab, ibadah, kalau kau mencurangi pekerjaanmu, tempatmu mendapatkan nafkah, apa lagi yang bisa kau jadikan pegangan dalam hidup? Yeah, mengeluh sesekali tak apalah, biasa itu dalam hidup, tapi apa enaknya ya negative thinking terus.

Di kantor ini, rekan-rekan punya semangat luar biasa dalam bekerja. Saya kagum dengan mereka. Banyak yang sudah berumur, dedikasinya malah melebihi beberapa junior yang baru bergabung. Itu sebabnya, setiap kali ada anak outsource yang diangkat jadi karyawan tetap, saya selalu menyalami mereka dengan sungguh-sungguh, sambil berkata: “Selamat ya. Semoga semangat kerja kalian terus tinggi seperti waktu dulu masih outsource. Jaga loyalitas dan dedikasi kalian buat perusahaan ini karena perusahaan sudah percaya pada kalian. Habis itu saya diledekin, dibilang sok tua, hahah…

Pria kate yang berjualan tisu di Menteng, juga pria berkaki satu yang jualan lem dan gunting kuku, tetap memasang senyum di wajah meski sepanjang hari berjualan di tengah panas. Kalau membeli barang jualan mereka, saya selalu teringat ayah saya yang pasti ngomel kalau saya menawar dagangan mereka. **ceritanya saya pernah pengen hemat, nawar beli kacang seharga dua ribu sebungkus jadi tiga bungkus lima ribu waktu lagi jalan sama beliau…

Seperti juga ibu pengamen tua di Jalan Sabang yang selalu tersenyum saat memainkan gendingnya, meski dia harus lesehan di trotoar, menghirup debu dari alas kaki orang yang lalu lalang.

Mereka-mereka ini yang sering mengetuk hati saya. Mengisi kepala dan hati dengan energi positif. Seperti menyantap semangkok semangat setiap hari (bukan semangkok mie ayam ya!). Harus malu kalau bekerja tidak maksimal, harus gelisah kalau tidak ada pekerjaan yang pending, harus terbuka menerima masukan dari siapa pun, harus tetap semangat untuk terus belajar.

Seperti siang tadi saat makan siang bersama beberapa rekan kerja segrup. Satu rekan cowok cerita, dia diminta atasannya memegang tanggung jawab baru. Yang satu menyahut, “Wah itu kan ribet juga.” Dan yang satu lagi menukas,”Tapi itu kan bisa dipelajari.” Yup. Sikap yang terakhir itulah sikap yang seharusnya ditunjukkan. Tetap positif. Itu pekerjaan biasa, kok. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pekerjaan tidak akan terasa susah, selama mau belajar.

***
Saya terpikir menulis tentang ini sebenarnya karena anak saya. Jadi ceritanya, minggu lalu itu, saat dia terkena cacar dan harus izin tidak masuk sekolah, saya pun dapat kesempatan untuk berangkat ke kantor lebih pagi, karena tidak ada kewajiban mengantarnya ke sekolah. Yeah, ini Jakarta, cui… pergi dua jam, pulang dua jam.

Ternyata dia kepikiran karena beberapa kali bangun pagi tidak menemukan saya di sisinya, padahal saya selalu pamit lho. Sambil cium-cium pipinya, “Mami pergi, ya,” dan dia mengangguk-angguk dengan mata tertutup. Barangkali anggukannya itu reflek kali ya, baru sadarnya pas dia benar-benar bangun dan ngeh kalau maminya sudah berangkat ke kantor.

Maka malam itu dia bertanya pada saya, kenapa perginya pagi terus. Jawaban saya (selalu sama), “Ya begitulah kalau kerja, Nak. Mami kerja, cari uang biar bisa bawa Vay main ke mall, bisa belikan baju, bisa belikan sticker.” Bla bla bla… Dan dia juga selalu mengatakan hal yang sama, dia lebih suka maminya gak kerja. Yang ditunggunya setiap maghrib adalah telepon dari saya, belum lagi saya ngomong, dia sudah tanya duluan, “Buka pagar, Mi?” Tidak sabar.

 

IMG_2024

Namun ternyata ada rahasia kecil lainnya. Saya baru tahu malam itu juga. Ternyata pagi harinya, dia sudah tanya duluan ke ayahnya, “Ayah, kenapa Mami selalu pergi kantor pagi-pagi pas Vaya masih tidur?” Lalu ayahnya bilang, “Tanyalah langsung sama Mami.” Dan tahu-tahu, air matanya keluar. Aduuhhh… leher saya sampai tercekat saat tahu cerita itu. Mungkin dipikirnya kenapa saya mendadak mengabaikan dia, ya. Padahal semua ini semata karena tanggung jawab.

Ah, Sayang Mami…. Mami juga ingin bisa ke kantor gak buru-buru dan tiba di rumah lebih cepat, tapi apa daya tak punya helikopter, Nak!

Thanks sudah berkunjung ke TehSusu.Com. Subscribe to Get More. Enter your email address:Delivered by FeedBurner

24 Comments

  1. pengen nyubit si kecil, hihi… nggemesin banget.
    kasian ya, harus segera dicari solusi itu mbak… baik itu dikasih pengertian atau sejenisnya, tapi saya tidak lebih tau, hehe
    salam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *