Siang tadi, sepulang dari Grand Indonesia, di dalam lift gedung SarJa, saya berdua dengan seorang ibu yang saya perkirakan usianya di atas 40 tahun. Rapi seperti layaknya pegawai kantoran. Kami sama-sama masuk dari B1, dia memencet tombol angka 1, dan saya ke lantai 6.
Sesaat sebelum lift tiba di lantai 1 dan pintu lift akan terbuka terbuka, tiba-tiba terdengar suara, “Eeeekkkk.” Ternyata ibu itu bersendawa dengan keras! Saya refleks mengerutkan kening dengan mimik : Haa? Apa gue gak salah dengar nih?! Saya pun menahan diri setengah mati untuk tidak menoleh padanya.
Sendawa. Lumrah sekali. Jelas. Karena saya juga sering sendawa. Karena sendawa adalah proses dimana keluarnya gas dari saluran cerna atau kerongkongan ke mulut, yang umumnya disertai dengan suara dan kadang berbau. Kalau kata ilmu kedokteran, sendawa terjadi karena terperangkapnya udara di dalam perut. Banyak hal yang dapat memicu terjadinya sendawa, seperti makan makanan yang banyak mengandung gas, minum minuman berkarbonasi, atau ketika tubuh kita stress maka dapat memicu meningkatnya asam lambung. Namun secara praktis bisa dikatakan sendawa berawal dari adanya rasa tidak nyaman di dalam perut. Dengan bersendawa, orang mengharapkan mendapat rasa nyaman di perutnya (selain dengan kentut tentu saja π ).
Nah, back to ibu-ibu tadi. Dengan tenang dia keluar dari lift tanpa merasa bersalah. Dan saya masih berkaca narsis di depan pintu lift memandang wajah saya dengan alis mengerut itu sambil berpikir kok si ibu pede banget sendawa sembarangan ya?
Eh..! Dan lalu saya pikir-pikir lagi, kenapa pula dia harus merasa bersalah? Bukankah tidak ada peraturan tertulis — seperti larangan merokok — yang menyatakan “Dilarang Sendawa Sembarangan.” Masalahnya hanyalah, setiap orang punya standar yang berbeda dalam hal manner.
Saya, jelas bukan model orang yang jaim. Makan angkat kaki bersila itu biasa. Ketawa ngakak membahana, biasa. Namun untuk urusan sendawa di depan orang (dan satu lagi…makan berdecap-decap) itu pantang buat saya. Saya pasti lihat-lihat kalau terpaksa harus sendawa di depan umum. Misalnya pas toilet sepi. Atau kalaupun ramai, ya saya usahakan agar tidak berbunyi. Rasanya malu kalau sampai ada yang menoleh karena mendengar sendawa kita. Kalau di rumah ya bantailah situ. Atau kalau sama teman-teman dekat yang sudah akrab, mungkin no problem kalau sudah terbiasa.
Mami saya dulu suka cerita, waktu beliau kecil, bapa mamanya (a.k.a. Opa-Oma saya) melarang keras anak-anaknya bersendawa dan berdecap saat makan di meja. Yang secara tidak langsung cerita mami saya itu adalah ‘himbauan’ bagi kami anak-anaknya agar menjaga tata krama di depan keluarga dan juga di depan umum.
Biasanya nih, yang suka sendawa sembarangan itu pria. Ya mungkin karena pria pada dasarnya cuek dan sering kurang peduli dengan “remeh-temeh” begitu. Walaupun tidak semua sih. Tapi ya mostly, apalagi kalau pada habis makan di warteg. Seandainya mereka tahu betapa menjijikkannya suara sendawa itu terdengar bagi kami para perempuan.
Di kantor saya, ada satu teman pria yang kalau udah start bersendawa gak berhenti-berhenti. Sendawanya pendek-pendek — jeda antar tiap sendawanya sekitar 5-6 detik — tapi terdengar sampai ke telinga kami cewek-cewek yang berjarak 3-4 meter dari mejanya. Ek. Ek. Ek. Ek. Ek. Ek.
Kalau sudah dengar begitu, teman cewek yang sederetan dengan meja saya langsung bersuara. “Ck…” atau “Iihhh.. ganggu!” Dan kalau kita pura-pura tanya kenapa (padahal kita sudah tahu kenapa), dia bakal mengomel — dengan suara rendah agar teman cowok tadi tidak dengar — betapa jijaynya dia mendengar suara sendawa itu. Hahahaha…
Hmm… tapi saya rasa ibu tadi berani sendawa sembarangan karena se-lift dengan perempuan juga. Mungkin kalau isi lift tadi bapak-bapak, dia akan setengah mati menahan diri agar gas lambungnya tidak buru-buru keluar. π
Sendawa kalau tidak salah ada di iklan apa gitu… dan sepertinya mereka bangga.
dulu, Bapak saya suka berdecap dan bersendawa, itu bikin saya sebal…
dulu saya juga bermasalah dengan decapan teman saya ketika makan, tapi akhirnya memaklumi, karena menurutnya, di daerah asalnya, decapan itu tanda penghargaan buat tuan rumah, bahwa makanan yang disajikan enak.. Meski pun awalnya selalu “geleuh” kalo makan bareng dia, akhirnya saya terbiasa juga. Caranya ya.. konsentrasi aja ke makanan, daripada ngeliatin dia dan mendengarkan decapannya..hehehe
kadang juga risih juga seh ngedenger sendawa,tapi mau bagaimana,mungkin dianya udah ndak tahan π
kalau sudah sendawa gitu, tips orang tua dulu adalah makan nasi putih π ehmm dan sepertinya berhasil dan berhasil π hehehe