Sabtu kemarin saya bawa anak saya ke Pacuan Kuda Pulomas. Setahun lalu waktu saya bawa Vay ke dokter spesialis tumbuh kembang — karena saya merasa Vay lama sekali bicaranya — salah satu terapi yang kata dokter harus dilakukan adalah : berkuda seminggu sekali.
Lho, dimana pula mau cari kuda di Jakarta ini? Begitulah pikir saya waktu itu. **maklumlah Kakak kan anak Medan, belum hapal kali tempat-tempat di Jakarta.
Ah tapi kan ada Google? Google selalu punya jawaban untuk semua pertanyaan :). Saya pun searching di google dan dapatlah info kalau di daerah Pulomas ada pacuan kuda. Dan ternyata waktu discuss sama papi saya, eh beliau juga tahu pacuan kuda itu (ya iyalah secara beliau besarnya di Jakarta :D). Lalu cari punya cari info, ternyata kuda-kuda di sana disewakan kok untuk umum. Tapi ya sudah, info sudah didapat, tapi belum sempat mencari langsung lokasinya.
Barulah sebulan yang lalu, secara tidak sengaja saya menemukan letak pacuan kuda tersebut saat lagi cari-cari alamat dokter kecantikan di dekat Kampung Ambon. Ternyata letaknya memang agak tersembunyi di dalam, tapi sebenarnya gampang saja dapatnya kalau sudah ketemu celahnya. Kalau saya sih masuk dari samping Superindo di jalan raya Kayuputih itu. Tinggal ikuti jalannya, memutar ke kanan (jadi seperti letter P gitu), nanti langsung kelihatan lapangan besarnya.
Dan baru dua minggu lalu saya bawa anak saya ke sana. Kita bayar 2000 perak untuk mobil masuk ke dalam. Lalu parkir di pinggir lapangan, mempelajari situasi dulu. Lapangannya beraspal semua, seperti lapangan upacara modenya. Kotoran kuda berserak dimana-mana. Ada tukang jual keliling, ada orang latihan motor, ada yang bersepeda, dan di sisi lain lapangan ada yang berolahraga bola kaki.
Vay masih takut, kakinya mengikat pinggang saya dengan kuat, tak mau turun. Yah, selain jarang lihat ayam, dia juga baru sekali ini lihat kuda secara langsung. 😀
Dua orang anak kecil datang menghampiri saya dengan membawa kuda poni kecil. Awalnya Vay menolak naik karena takut, tapi setelah dibujuk akhirnya mau juga, tapi ya satu tangannya masih memegang tangan saya dengan kuat. Mukanya juga ketat banget, hehee…
Kudapun dibawa memutari lapangan. Dan ternyata lama-lama si Vay enjoy juga. Dia mulai cerewet mengomentari anak-anak lain yang naik kuda juga. Untuk sekali putar, tarifnya sepuluh ribu.
Ada tiga jenis kuda yang saya lihat di situ. Kuda poni, yang pendek banget dan biasa dinaiki anak-anak, lalu kuda lokal yang agak sedang tinggian, ini sama dengan model kuda yang ada di Puncak atau di Berastagi. Dan terakhir adalah kuda import, yang tinggi banget dan gagah bukan main. Badannya bagus dan bulunya juga mengkilap. Kata anak-anak pengangon kuda, kuda import itu khusus kuda untuk lomba. Dan saya lihat orang-orang yang naik ke punggung kuda besar itu umumnya memang hanya berfoto saja, kuda itu tidak dibawa jalan. Mungkin kuda import itu disewakan juga, tapi entahlah berapa tarifnya, belum sempat nanya.
Lalu kali kedua kesana adalah hari Sabtu kemarin. Dari Jumatnya, Vay udah minta-minta mau naik kuda. Ketagihan ternyata hehee…
Dua kuda lokal dengan empat anak laki-laki berkulit hitam datang mendekati kami, minta dipilih. “Vaya gak mau yang besar…†kata Vay geleng-geleng kepala. “Mau yang kecil ajaa…†**Oh iya, sekarang Vay sudah bisa menyebut namanya dengan benar lho : “Vaya†bukan “Paya†lagi. 🙂
Satu di antara mereka pergi lalu kembali lagi dengan seekor kuda poni. Nah, ini dia kuda yang pas. Vay langsung naik kuda dengan senang. Kali ini dia ditemani mbaknya, tapi hanya didampingi saja, karena Vay sudah berani pegang tali kekang. Udah pede dia ternyata hehee… dah gitu gak mau udahan. Ditanya, udah belum Vay? Balom, jawabnya. Padahal sudah empat kali putar.
Tak lama anak kecil pengangon kuda yang minggu lalu dinaikin Vay datang. Berharap kudanya dinaikin Vay lagi. Saat Vay lewat di putaran ke-empat, saya tanya ke Vay, mau tukar kuda gak? Mau, angguk Vay. Ya sudah, tukaran deh… muterrrr lagi mereka beberapa kali.
Vay sebenarnya belum puas tuh kemarin, masih mau muter lagi, tapi sudah mau maghrib, dan kuda-kuda lain sudah mulai kembali ke peraduan, jadi saya bilanglah kalau kudanya juga mau bobok, jadi kita harus udahan..
Anak-anak pengangon kuda itu pun berlalu membawa kudanya. Dan Vay seperti biasa bubye-bubye, dan dibalas sama anak-anak itu. Kira-kira mereka dapat bagian berapa persen ya dari penghasilan setiap hari? Kadang suka kasihan lihat anak-anak kecil itu, kepikiran apa mereka masih sekolah? Soalnya ada tuh yang kecil banget tapi rambutnya gondrong-gondrong gitu, kan gak mungkin anak sekolah rambutnya panjang toh. Yang kemarin bawa Vay keliling malah gak pakai alas kaki, dan Vay dengan polosnya suruh si abang pakai sepatu. Katanya, “Abang, pakai sepatu – lahh…†dan si abangnya menjawab dengan tersenyum, “Iyaa, besok ya..â€
“Mami, Vaya mau naik kuda lagi…”
“Iya, minggu depan ya…”
Udah lama sekali nggak kesini….
Lihat foto-foto nya…terlihat sekali kalau Vay menikmati acara berkuda nya.
Anak-anakku juga suka naik kuda, kalau ke Bandung, Puncak, Yogya, pasti selalu minta naik kuda.
Seru, kata mereka.
anak gue juga suka naik kuda, di bintaro seuka ada tiap weekend..
Vaya lucu banget sih…kayak boneka…pipinya lucu pengen cubit *eh, pasti mamanya marah deh*
ibunya kok ga naek? :p
naik kuda pengalaman yang menarik buat Vaya, buktinya minta naik kuda lagi. Btw, aku kok terharu liat pengangon kuda tanpa alas kaki itu ya…
Saya baru tau kalau menunggang kuda bisa jadi salah satu terapi bagi anak-anak yang lama bicaranya seperti Vaya.
Saya malah blum pernah menunggang kuda. Jangankan kuda, odong-odong saja blum pernah. 😛
asyik ya nunggang kuda. kalah sama vaya nih, aku aja belum pernah 🙂