Postingan pertama dipublish tanggal 15 Agustus 2008
Postingan diupdate kembali pada 09 April 2018
Kali ini saya mau menulis soal pre-eklamsia. Ini berkaitan dengan kejadian yang pernah saya alami sendiri, dan juga karena seorang karyawati cabang dari kantor tempat saya bekerja ini, meninggal dunia karena pre-eklamsia.
Oke, sebelum halaman ini di-close, bacalah dulu lengkap-lengkap karena ini memang penting sekali untuk diketahui oleh ibu atau suami.
Berikut defenisi pre-eklamsia, yang saya kutip dari sini.
Pre-eklamsia kerap terjadi saat hamil, akibat tekanan darah yang tinggi dan kelebihan kadar protein dalam urin, setelah kehamilan berusia 20 minggu. Meski ‘hanya’ peningkatan tekanan darah, tapi dapat berakibat fatal yang memungkinkan terjadinya komplikasi pada ibu dan bayi yang dikandung.
Pre-eklamsi akan hilang saat melahirkan, sehingga bila pre-eklamsi terjadi di minggu-minggu akhir kehamilan, dokter akan mengambil tindakan untuk segera mengeluarkan bayi. Tapi bila pre-eklamsi terjadi di awal kehamilan, maka dokter akan berusaha memperpanjang kehamilan sampai bayi dianggap telah cukup untuk lahir.
GEJALA
Gejala terjadinya preklamsia adalah naiknya tekanan darah (hipertensi) dan kadar protein dalam urin yang berlebihan (proteinuria), setelah kehamilan mencapai 20 minggu. Kelebihan protein akan mempengaruhi kerja ginjal. Gejala lain yang bisa terjadi, antara lain:
– Sakit kepala
– Masalah penglihatan, termasuk kebutaan sementara, pandangan buram dan lebih sensitif pada cahaya/silau
– Nyeri perut bagian atas, biasanya di bawah rusuk sebelah kanan
– Muntah
– Pusing
– Berkurangnya volume urin
– Berat badan yang naik secara cepat, biasanya di atas 2 kg per minggu
– Pembengkakan (edema) pada wajah dan tangan, sering menyertai pre-eklamsia walau tidak selalu, sebab edema kerap terjadi pada kehamilan yang normal
PENYEBAB
Pre-eklamsi dulunya dikenal sebagai toksemia, karena diperkirakan adanya racun dalam aliran darah ibu hamil. Meski teori ini sudah dibantah, tetapi penyebab pre-eklamsia hingga kini belum diketahui.
Penyebab lain yang diperkirakan terjadi, adalah:
– Kelainan aliran darah menuju rahim.
– Kerusakan pembuluh darah.
– Masalah dengan sistim ketahanan tubuh.
– Diet atau konsumsi makanan yang salah.
TERAPI & PENYELAMATAN
Satu-satunya obat yang manjur adalah dengan mempercepat persalinan, tapi pada preeklamsi di awal kehamilan, yang bisa dilakukan adalah:
- Bed rest
Mengulur waktu kelahiran bayi dengan istirahat total agar tekanan darah turun dan meningkatkan aliran darah menuju plasenta, agar bayi dapat bertahan. Anda diharuskan berbaring total dan hanya diperbolehkan duduk atau berdiri jika memang benar-benar diperlukan. Tekanan darah dan kadar protein urin akan dimonitor secara ketat. Jika preeklamsia sudah parah, kemungkinan Anda diminta beristirahat di rumah sakit sambil melakukan test stres janin untuk memonitor perkembangan janin. - Obat hipertensi
Dokter dapat merekomendasikan pemakaian obat penurun tekanan darah. Pada preklamsia parah dan sindroma HELLP, obat costicosteroid dapat memperbaiki fungsi hati dan sel darah. Obat ini juga dapat membantu paru-paru bayi tumbuh bila harus terjadi kelahiran prematur. - Melahirkan
Ini adalah cara terakhir mengatasi preeklamsia. Pada preklamsia akut/parah, dokter akan menganjurkan kelahiran prematur untuk mencegah yang terburuk. Kelahiran ini juga diperlukan kondisi minimal, seperti kesiapan tubuh ibu dan kondisi janin. - Lengkapnya silahkan lihat di sini & sini.
Nah saya mau cerita bagaimana pengalaman saya juga karena saya waktu hamil tua ternyata kena pre-eklamsia. Awalnya saya sendiri tidak tahu bahwa pre-eklamsia itu berbahaya. Karena dari awal kehamilan, tekanan darah saya normal-normal saja.Waktu itu, saat usia kehamilan masuk 37 minggu, seperti biasa saya harus kontrol ke dokter pada hari Sabtu. Tapi kemudian suster mengabarkan bahwa dsog masih seminar sehingga tidak praktek hari Sabtu. Karena sudah masuk hamil tua, saya tidak berani nunggu sampai Sabtu berikutnya. Ya sudah, saya pun mendaftar untuk kontrol pada hari Rabu, 26 Maret 2008.
Hari Rabu pagi, saya malasss sekali bangun. Kepala agak pusing, kaki sakit karena bengkak. Ya udahlah, izin sajalah. Jadi hari Rabu itu saya gak masuk. Lagi pula sorenya juga mau ke dokter ini, begitu pikir saya. Jam tiga sore saya jalan dari rumah, jemput mami saya dulu di suatu tempat, lalu langsung ke RS. Bunda, Menteng. Sampai di RS jam lima, ternyata dokter belum datang, dan saya dapat nomor urut 8. Duh capeknya waktu itu…. Waktu periksa tensi, tekanan darah saya 160/80. “Loh Sus, kok tinggi banget?” Tanya saya waktu itu. Suster cuma tersenyum.
Dokter datang jam enam lewat, dan setelah menunggu 1,5 jam, akhirnya giliran saya masuk. Seperti biasa dsog saya yang cantik itu menyalami saya dan menanyakan kabar. Tapi kemudian dokter kaget melihat tekanan darah saya yang tertulis di buku. “Ini kapan ya sus?” “Jam lima tadi Dok,” Saya yang menjawab, karena saya yakin suster pasti lupa, wong pasien kan banyak.
“Wah bahaya ini, bahaya… ini gejala pre-eklamsia.” Lalu dokter menerangkan secara singkat apa itu pre-eklamsia.
“Coba ibu cek lagi ya, sama suster.” Saya pun diantar keluar sama suster, dan disuruh menunggu lagi lima menit, baru boleh cek tensi.
Setelah menunggu dengan rasa kesal karena nunggu lagi nunggu lagi, saya pun ukur tensi lagi pakai alat pengukur tensi digital. Hasilnya : 183/90! Loh loh! Kok jadi tambah tinggi? Suster ragu, lalu ambil alat tensi manual, diukur ulang. Sama saja. Masuk lagi ke dalam ruangan dokter, dsog lalu menerangkan kembali apa itu pre-eklamsia dan bahayanya, even saya sendiri masih gak begitu ngerti.
“Ibu habis ini cek urine dulu ya. Kalo hasilnya positif, berarti ibu harus dirawat disini. Harus dirawat sampai normal lagi. Kalo ternyata sampai besok belum normal juga, maka kita harus mengakhiri kehamilan.”
Hah? Mengakhiri kehamilan? Apa itu maksudnya? “Ya kita keluarkan bayinya.”
Alamak..! Langsung tambah stess saya waktu itu. Siapa yang mau stay di rumah sakit? Duh…. langsung uring-uringan. Saat itu juga saya tes urine sekaligus nebus obat di apotik untuk diminum saat itu juga. Jam 10 malam, hasilnya keluar, isinya positif 1. Saya masuk lagi ke ruang dokter. Dokter membaca hasil lab, dan tensi saya diperiksa. Sudah turun jadi 140-an. Lalu dokter bilang saya boleh pulang, minum obat saja di rumah. “Besok kalo Ibu mau cek tensi lagi, boleh singgah ke sini dulu cek sama suster.” Bayangkaaaannnn…. dari jam tiga keluar rumah, dan baru selesai urusan jam 10 malam lewat. Kek mana gak darah tinggi awakk….. LOL.
Malam itu saya dijemput hubby. Mami saya sudah saya minta pulang duluan aja karena kelamaan nungguin saya, kasihan kan. Mami juga sudah mengingatkan bahwa tensi tinggi itu berarti alarm, tapi saya tenang-tenang saja karena saya memang buta soal pre-eklamsia.
Besoknya, Kamis, saya memaksa diri pergi ke kantor biar bisa ketemuan sama Elz sahabat saya dari Medan, padahal badan rasanya masih gak fit. Siangnya (seperti yang sudah saya ceritakan), saya jalan ke Sarinah ketemu Elz disana. Nah malam harinya, saat lagi santai-santai itulah ketuban saya pecah. Sampai di RS, suster bilang dokter akan datang kalo memang ada kelainan. Jadi saya harus tetap berada di ruang observasi. Kalo diingat-ingat sekarang, saya heran juga. Bukankah dokter tahu kalo sehari sebelumnya saya pre-eklamsia, dan saya ini pecah ketuban duluan tanpa disertai kontraksi atau keluarnya bercak darah. Kenapa dokter tetap tidak mau datang saat itu? Kata suster, kalo tiba-tiba saya sudah bukaan penuh dan harus melahirkan sementara dokter belum datang, maka bidan yang akan menangani. Saya disarankan menunggu hingga pagi sampai dokter datang.
Inilah yang jadi pertentangan dalam batin saya. Di satu sisi saya ingin melahirkan secara normal, tapi di sisi lain saya cemas dengan keadaan bayi saya, saya tidak tahu harus percaya sama siapa karena dsog saya tidak ada. Sudah pre-eklamsia, air ketuban bolak balik mengucur keluar, bukaan juga gak nambah-nambah masih bukaan 3, bayi terlilit tali pusar 2x, saya pun semakin stress. Akhirnya ketika saya dan hubby putuskan untuk caesar saja, barulah si dokter datang. Alhamdulillah, Vaya lahir sehat, pada usia kehamilan 37 minggu.
Coba baca quote berikut yang saya kutip dari milis:
Dalam kehamilan biasa bayi akan lahir sendiri atau melalui operasi caesar setelah cukup bulan. Demikian pula pada kasus preeklamsia-eklamsia. Bayi diusahakan dikeluarkan pada usia kehamilan setua mungkin. Namun bila kondisi ibu semakin buruk, dalam arti gejala eklamsia semakin nyata, mau tidak mau dokter harus mengeluarkan bayi berapa pun usianya. Tujuan utama menyelamatkan jiwa sang ibu, baru bayinya. Apa boleh buat kalau sang bayi tidak bisa diselamatkan,” ujar dr. Boyke, yang memang sering menangani kasus serupa. Pada situasi normal tindakan operasi untuk mengeluarkan bayi preeklamsia-eklamsia baru dilakukan bila tekanan darah ibu sudah turun.
Dokter yang laris sebagai pembicara seminar ini pernah memberi pertolongan pada seorang ibu yang mendadak koma karena ternyata mendapat gangguan eklamsia yang tidak terdeteksi (tekanan darahnya tidak tinggi dan tidak terjadi pembengkakan. Ibu ini dibedah caesar dalam keadaan koma sehingga tidak dibutuhkan pembiusan. “Begitu bayi berhasil diangkat dengan selamat, sang ibu siuman.” Kasus preeklamsia-eklamsia tanpa tekanan darah tinggi seperti itu menurut Boyke merupakan kasus langka.
Well, saya tidak tahu apakah saya terlalu tidak sabaran sebagai pasien atau memang dokternya yang menyamaratakan semua pasien, yang pasti ini jadi pelajaran buat saya di kemudian hari. Seorang rekan karyawati di kantor cabang daerah baru-baru ini meninggal dunia saat melahirkan, karena telat terdeteksi pre-eklamsia. Mudah-mudahan pengalaman ini bisa berguna juga buat teman-teman. Jangan pernah sepele dengan pre-eklamsia, periksakan kehamilan Anda atau istri Anda secara teratur demi keselamatan ibu dan bayi.
-ZD-
Istri saya kena eklampsia. Sekrng sedang koma. Tuk dedeknya alhmdllh sehat. Ada yg tau berapa lama masa koma eklamsia tuk sadar kembali
Temenku ada yg kena ini. Alhamdulillah ibu dan bayinya sampe skr sehat. Tp pas lahir dulu, trpaksa prematur, dan bayinya itu keciiiiiil banget, dan di inkubator ada sktr 3 bulanan. Aku sampe miris kalo liat perjuangan dia dulu supaya babynya bisa bertahan. Ga bisa dianggab remeh memang pre eklamsia ini. Syukurnya aku ga mengalami
Tp itu ibu yg dibedah saat koma, tanpa dibius kok serem ya. Aku takutnya kalo dia sadar saat operasi berlangsung mungkin ga sih??
Hmm harusnya saat koma jg dibius, cuma mungkin bius lokal aja.
Saya baru tahu kalau ada banyak sekali bahaya yang bisa mengancam nyawa ibu hamil, termasuk eklamsia ini 🙁
Terima kasih sharingnya yaa, mba!
serem emang ya…
dulu esther pas hamil andrew juga sampet pre eklamsia…
Iya, bahaya memang pre-eklamsia ini, karena datangnya tak terduga.
Duh, kok ngeri ya???
Bener. Ini yang disebut silent killer. Kelihatan sepele tapi tahu2 ibu collapse, kejang-kejang….
Sama pengalaman nya mba ,,minggu kemaren saya juga lahiram sesar karena freeklamsia ,, alhamdulillah anak ku sehat ,walau sekarang saya harus sabar karena penglihatan saya berbayang dan buram setelah lahiran sesar .