Pagi ini saya sempatkan untuk menulis sebelum pergi untuk memotret sebuah kegiatan. Hari ini akan jadi hari yang sedikit padat, memotret setengah hari lalu pergi dengan Vay nonton ke bioskop, membiarkannya makan dua porsi french fries sendirian, dan saya langsung menyukainya meski baru membayangkan.
Cerita ini bermula dari satu kata: wangi.
Kemarin malam ketika sedang beres-beres keranjang berisi macam produk perawatan badan dan wajah, ternyata saya menemukan banyak juga harta karun. Ada sebotol body mist favorit yang saya kira sudah kosong tapi ternyata saat diintip dengan seksama masih bisa untuk 1-2 kali pakai. Lalu ada tiga atau empat hand cream yang saya ingat kemarin-kemarin saat dibeli alasannya karena kemasannya yang unik, dan sizenya yang cocok buat dimasukin ke dalam tas.
Lalu ada juga beberapa tempat bedak dan bb cushion yang masih ada isinya tapi tidak dipakai lagi karena ternyata tidak cocok. Belum termasuk yang lain-lain seperti Vicks, minyak kayu putih, essence oil, zambuk, deodorant, bedak tabur, foot cream, dan inhaler.
Semua harta karun itu sebagian besar masih bisa dipakai. Maka selanjutnya saya mulai menyingkirkan yang benar-benar tidak saya butuhkan dan yang sudah expired. Seperti bedak yang sudah lama sekali berada di sana dan tak dipakai lagi (saking lamanya saya gak ingat kapan tepatnya! LOL), lalu lotion-lotion lama yang sudah expired. Dan harta karun yang langsung masuk tas saya adalah hand cream dalam tube yang punya wangi segar banget, seperti wangi sabun mandi.
Lalu, inhaler. Inhaler adalah penyelamat. Bukan saja penyelamat ketika hidung tersumbat, tapi juga penyelamat kita dari bau-bauan yang tidak kita harapkan. Jadi ini adalah satu item wajib yang harus ada di rumah dan di tas.
Ketika saya membuka tutup inhaler untuk mengecek apakah masih cukup hot dan sanggup menyengat saat dihirup, saya langsung teringat pada pengalaman di atas pesawat dalam perjalanan pulang dari Medan ke Jakarta beberapa hari lalu.
Kemarin itu dalam pesawat menuju ke Jakarta, di dua sampai tiga baris kursi, ternyata isinya benar-benar orang Medan semua. Saya bilang begini karena sebelum-sebelumnya saya bertetangga dengan bukan orang Medan asli, entah dia karyawan yang sedang visit ke Medan, atau pegawai yang baru ditempatkan di Medan (dan balik ke Jakarta untuk mengunjungi keluarga), atau yang menantu dari orang Medan, atau juga orang batak yang tidak pernah tinggal di Medan.
Ok, jadi ketika saya bilang benar-benar orang Medan ya itu karena logatnya. Dua seat di sebelah saya dua ibu berjilbab, saya menduganya orang Melayu, lalu di belakang saya juga rombongannya.
Di deretan seberang, ada seorang popo (actually saya tak tahu bagaimana harus menyebut nenek dalam budaya hokkien dengan benar: ama atau popo. Tapi dulu saat kecil saya biasa memanggil mama dari tante, istri dari adik papi saya dengan sebutan Popo, so izinkan saya menggunakan panggilan itu) yang duduk di seat C, yang tadi sempat satu ruang tunggu dengan saya.
Yang membuat saya notice dengan popo ini adalah karena sejak dari duduk di ruang tunggu di Bandara Kualanamu Medan, sampai dijemput petugas pakai wheel chair, dan sampai ketemu dengan saya di pesawat, terusss saja bercerita. Dalam bahasa Hokkien.
Dan yang bikin saya terkesima adalah Si Popo bukan hanya sedang mengajak ngobrol temannya yang duduk di seat belakang saya, tapi juga mengajak ngobrol ibu berjilbab yang duduk di seat H, sederetan dengan saya. Ibu seat H itu sesekali menimpali dengan bahasa Hokkien juga, lho. Meski hanya dengan satu dua kata.
Entahlah apakah memang Ibu seat H itu memang beneran bisa bahasa hokkien, atau basa-basi menimpali obrolan popo itu, tapi dalam hati saya, saya berujar, “Duh, seharusnya dulu saya juga belajar bahasa Hokkien.” Karena apapun yang diobrolin Si Popo, pastilah sangat menarik!
(Begini kali ya yang namanya hidup pensiun yang indah)
(Ketika masih bisa jalan jauh dengan santai, dan dengan hati yang senang)
Tak lama kemudian, kereta makanan mulai lewat. Obrolan-obrolan di sekitar saya sudah meredup sedikit, dan saya mulai memejamkan mata. Layar tv kecil di depan ini bagaikan film bisu, earphone rusak, eh subtitle juga tidak ada. Untunglah tadi saya pilih nonton Aquaman, at least sudah pernah saya tonton sebelumnya. Anggaplah sedang main tebak-tebakan dialog. LOL.
Dan kemudian, hidung saya mencium bau pedas yang menyambar. Saya menoleh sedikit dan ternyata dua ibu di sebelah saya menuang berkali-kali minyak angin di telapak tangan mereka dan mulai menggosok-gosok ke dalam baju. Mungkin kedinginan. Ya sudahlah.
Saya mulai merasa pusing menghirup udara dengan bau minyak angin, dan mulai membuka pouch, mencari inhaler.
(Udara yang masuk ke hidung mulai naik ke pangkal hidung, lalu menyebar ke dahi dan kening)
(Duh please mana inhalerku….)
Akhirnya ketemu juga dan saya bisa bernapas sedikit lega. Dan bisa melanjutkan menonton film bisu. Sambil memandang juga ke luar.
Tak lama saya dengar Popo mulai bercerita lagi. Saya pikir saya mendengar ada kata “Korea” dan ketika saya menoleh, saya lihat Si Popo sedang bercerita sambil memegang wadah seperti lotion. Lalu dibuka, diambil lalu digosok ke telapak tangan. Setelah itu wadah dipindah ke temannya yang duduk di baris belakang seat seberangnya.
(Oh mungkin lagi cerita tentang lotion Korea)
(Yang pasti, gara-gara itu saya jadi teringat koleksi hand cream asal Korea yang ada di rumah)
Kenapa Hand Cream Korea Laku Keras
Jadi ceritanya ketika saya ke Korea dua tahun lalu, saya kan beli cukup banyak hand cream dan lotion dalam kemasan lucu untuk jadi oleh-oleh. Dan ternyata ketika saya coba sendiri, lotion dan cream buatan Korea itu bukan hanya wangi tapi juga lembut sekali di kulit. Gak lengket juga.
Baca juga: The Painters Hero Show Korea
Pantas saja kenapa kosmetik dan produk perawatan tubuh dan wajah dari Korea laku keras di Indonesia.
Ok, mungkin setiap orang punya online shop langganan untuk membeli kosmetik. Tapi saya mau bilang, kalau beberapa produk Korea favorit saya seperti hand cream Korea itu saya beli di Koinshop. Silakan klik banner di bawah untuk melihat banyaknya pilihan produk Korea yang bisa kamu pilih. Belilah dua atau tiga sekaligus! 🙂
Saya akan menutup tulisan ini dengan momen manis ketika akan turun pesawat.
Saat itu, seperti biasa, semua penumpang yang duduk di belakang selalu tak sabar untuk keluar sehingga sering tak ingin memberi jalan bagi penumpang di seat-seat depan yang ingin keluar. Biasanya kalau naik kereta kan rebutan naik dan rebutan kursi, ini kebalik, rebutan keluar dan seakan tak rela orang lain duluan keluar.
(Heran, mau kemana sih buru-buru?)
(Kami aja belum keluar, lho.)
Saya duduk di seat 27, dan setelah dua tetangga saya keluar, saya juga langsung keluar memotong sebelum bapak-bapak dengan cabin bag besar memotong.
Dan, ternyata saya kesulitan mengambil cabin bag saya. Hahaha… Yeah, beginilah nasib orang pendek ya. Cabin bag saya kecil jadi agak terdorong ke dalam, mau gak mau kalau sampai tak terjangkau oleh tangan maka saya harus memanjat kursi (maaf ya diinjek).
Lalu suara Si Popo (yang masih duduk di seat) terdengar di belakang saya, “Dibantu, dibantu.” Ternyata Si Popo paham dengan kepayahan saya dan menyuruh si bapak yang cuma diam menonton itu untuk membantu.
(Ya maksudnya kalau dibantu kan jadi cepat lancar)
Si bapak seperti tersadar dan kemudian mengulurkan tangannya. Tapi saya sudah mengambil koper saya yang ternyata baru saya sadar bertambah berat, karena ada 2 KG kopi oleh-oleh di dalam.
Lalu saya menoleh dan memberikan senyum terima kasih pada Si Popo yang sedang menatap saya dengan mata abu-abunya yang bersinar dan senyum manisnya. Ah.
See?
Yang kamu butuhkan untuk membuat hari dan mood-mu kembali cerah hanyalah sebuah ketulusan kecil.
Semoga nanti kita bertemu lagi ya Po, di lain waktu.
Salam,
-ZD-
Aku juga menyesal gak belajar bahasa Hokkien. Padahal di Pontianak banyak banget yang berbahasa itu dan dulu temen SD dan SMP aku banyak yang bisa bahasa itu.
Iya, dulu kita malas gitu belajar, sekarang baru dirasa eh seru juga kalau bisa. *sorryyyy lama reply komennya 🙂
bener mbaaa, 1 ucapan manis aja sbnrnya bisa ngerubah mood kita seketika. Aku pernah ngalamin bad mood yg ntah karena apa dulu, tp kemudian di jalan papasan ama kakek tua yang ngajakin ngobrol ttg cucunya. Biasanya aku paling males ngobrol ama org asing, tp ntah napa, dgn kakek itu beda. parasnya teduh, cara bicara juga lembut dan teratur, yg bikin dgrnya juga jd adem :D. dan setelah itu ntah napa ilang aja bad moodku :D.
ga kebayang kalo dlm perjalanan ketemunya ama org2 yg ga sabaran, rebut2an naik transj, mungkin aku bisa lbh uring2an di kantor , yg efeknya bisa merembet kemana2.
Iya… senggolan sama orang aja bikin mood gak enak, apalagi klo orangnya gak ada rasa empati entah say sorry misalnya. Jadi hal2 kecil yang bisa bikin mood naik itu sungguh diperlukan.
inspiratif banget, boleh juga di coba, memang sulit menaikkan mood padahal kerjaan kadang lagi banyak
Sippp…. 🙂