Kopi Sumatra di Starbucks. Kemarin sore, saya mampir ke Starbucks untuk WFC (work from café) di Pondok Bambu, rutinitas yang cukup umum bagi para pekerja lepas atau mereka yang ingin suasana berbeda saat bekerja.
Sebelumnya sih kerjanya di rumah, tapi mendadak saya puyeng karena anak saya bolak-balik dengan suara video dari iPadnya. Dia selalu menonton long-form video favoritnya di YouTube, dengan suara yang cukup kencang, dan membuat saya pusing mendengar obrolan cas cis cus yang cepat (dan saya gak paham). Beginilah kalau anak libur sekolah terlalu cepat. Jadi saat dia di rumah liburan, ibunya kan tetap kerja. Susah fokus Beb!
Ok lanjut.

Saat saya memesan americano reguler, sang barista berkacamata gagang tebal dengan senyum ramah menawarkan, “Kopinya mau diganti ke kopi Sumatra, gak Kak? Hari ini kami sedang highlight kopi origin dari Sumatra.”
Sebenarnya bukan sekali ini saja saya ditawari ganti biji kopi setiap datang ke tempat ini. Dan saya sudah pasti tidak mau menukar. Sebab menurut saya, di satu sisi itu menyiratkan bahwa kalau kopi regular yang dipakai tidak seenak kopi khusus. Atau menurut mereka mungkin kakak ini sepertinya gak kuat kalau minum kopi yang regular. Cocoknya yang light. Ya benar. Ketika saya bilang, saya pilih yang biasa saja, si kayak barista tetap menjawab. Katanya kopi Sumatra ini lebih light. Gak asem.
Pertanyaan yang kemudian muncul: Kenapa mereka selalu menawarkan kopi khusus seperti ini? Apakah kopi reguler sebenarnya tidak terlalu enak? Atau ada strategi tersembunyi di balik tawaran tersebut?
Apa Itu Kopi Sumatra yang Sering Ditawarkan?
Kopi Sumatra di Starbucks yang dimaksud biasanya merujuk pada single origin dari daerah-daerah seperti Mandailing, Lintong, atau Gayo. Karakteristik kopi Sumatra dikenal dengan body yang tebal, aroma rempah, earthy (tanah basah), dan kadang sedikit rasa herbal atau tobacco. Metode pengolahan yang digunakan pun khas, yakni wet hulling atau giling basah, membuat rasanya unik dan cenderung lebih “berat” dibandingkan kopi dari daerah lain seperti Ethiopia atau Colombia.
Kopi ini sering dijadikan bahan promosi karena:
- Memiliki citra premium dan eksotik
- Merupakan produk lokal yang bisa dibanggakan
- Cocok untuk penyuka kopi strong tanpa banyak susu atau gula (kayak pesanan saya)
Upselling, Strategi Lama yang Selalu Ampuh
Dalam dunia retail dan F&B, tawaran seperti ini disebut dengan strategi upselling. Artinya, staf akan menawarkan produk dengan harga lebih tinggi dari pesanan awal konsumen. Sering kali dibungkus dalam kalimat yang terlihat seperti saran baik atau kesempatan langka: “Hari ini lagi ada yang spesial”, “Kami lagi highlight kopi spesial minggu ini”, atau “Mau cobain yang baru, Kak?”
Upselling ini tidak terjadi karena kopi reguler tidak enak. Justru, kopi reguler biasanya sudah cukup standar dan aman untuk kebanyakan konsumen. Namun, dengan menawarkan kopi origin atau reserve, perusahaan seperti Starbucks bisa meningkatkan nilai transaksi rata-rata per pelanggan.
Contoh sederhana:
- Harga kopi Americano reguler: Rp38.000
- Harga kopi Sumatra Americano: Rp48.000
- Selisih: Rp10.000
Jika 100 orang per hari tertarik dengan tawaran tersebut, maka tambahan pendapatan:
100 x Rp10.000 = Rp1.000.000/hari hanya dari upselling satu jenis kopi.
Bayangkan jika itu terjadi di ratusan gerai di seluruh Indonesia. Tambah kaya ya kan.
Trik Psikologi yang Namanya FOMO dan Trust
Kenapa banyak konsumen yang “terjebak” atau bahkan merasa nggak enak nolak? Ini ada kaitannya dengan psikologi konsumen:
- FOMO (Fear of Missing Out): Seakan-akan si kopi Sumatra ini hanya ada di minggu ini, jadi rasanya sayang kalau nggak coba. Padahal minggu depan dan bulan depan tetap ada tuh dia.
- Trust: Karena yang menawarkan adalah barista dengan seragam dan senyuman profesional, kita cenderung percaya itu adalah rekomendasi terbaik. (padahal belum tentu, karena kopi itu selera)
- Ingin terlihat berkelas: Saat barista bilang, “Ini kopi premium, Kak,” ada dorongan dalam diri untuk merasa lebih sophisticated. Padahal begitu masuk gelas, gak ada bedanya. Hitam juga dia.
Jadi, Boleh Nolak Gak?
Pendapat saya pribadi, tidak ada salahnya mencoba kopi-kopi khusus, apalagi yang lokal seperti Sumatra. Oh ya, biar pada tahu, kalau Starbucks juga pakai kopi Simalungun lho, ada tuh ladangnya di Simalungun sana.
Tapi, penting juga buat kita enyadari bahwa itu semua bagian dari strategi bisnis. Jika kita memang ingin menikmati kopi berkualitas dan siap membayar lebih, why not? Tapi kalau memang hanya pengen ngopi dan sedang lagi mode hemat, jangan ragu untuk berkata, “Yang biasa saja, ya.”
Terkadang, menyadari bahwa tawaran kak barisa itu sebenarnya bukan personal recommendation melainkan sebatas skrip jualan yang dia harus hapal, bisa membantu kita membuat keputusan yang lebih sadar.
Oh ya! Saya mau berbagi sedikit cara saya menikmati americano yang cukup strong tanpa harus tambah shots. Setiap memesan americano (biasanya yang tall), kalau hot saya minta air dikurangi sebatas telinga mug, atau saya coret cupnya. Kalau yang ice, saya pesan on the rock. Espressonya dituang hanya di atas es batu, tidak ada tambahan air lagi. The best ini!
Nah, eniwei…
Barista yang menawarkan kopi Sumatra tidak sedang menipu. Mereka sedang menjalankan strategi penjualan yang sah, dan sering kali mereka memang diberikan target upselling harian. Tapi kita sebagai konsumen juga punya kendali untuk menentukan apakah kita benar-benar pengen atau kita hanya mau ikut-ikutan? Best thing untuk menikmati kopi khusus seperti itu adalah, seduh kopi sendiri di rumah! Nih, saya lagi ada kopi Wamena, oleh-oleh teman. Belum dibuka sih. Juga ada dari Excelso, Toraja dan Mandhaeling.
Next time kamu ditawari kopi spesial, jangan buru-buru menjawab. Baiknya ditanyakan dulu: “Ada tambahan biayakah?” Kalau ya, tinggal putuskan sesuai budget dan selera.
Karena di balik cangkir kopi itu, selalu ada cerita — dan kadang strategi.
