Kemarin terjadi kerusuhan antar mahasiswa di Makassar dengan polisi dan warga setempat. Saya sedikit geram dan geli mendengar wawancara dengan seorang mahasiswa. Mahasiswa berkilah bahwa demo mereka kali ini adalah demo kasus Century, plus demo karena sekretariat mereka dirusak oleh polisi. Ditanya lagi sama wartawan, lalu kenapa warga bisa marah sama mereka. Si mahasiswa pun berkata dengan berapi-api bahwa demo mereka ini kan untuk membela rakyat jadi tidak mungkin mereka diserang oleh warga. Itu pasti oknum polisi yang menyamar sebagai warga sipil. Dalam hati saya bilang, plis deh ngakunya mahasiswa tapi kok bego banget. Ya gitu tuh kalau kuliah kagak bener, kebanyakan nongkrong berwacana tapi gak ada hasil.
Nah, kemudian ingatan saya pun melompat ke kira-kira sepuluh tahun yang lalu pada saat terjadi kerusuhan mahasiswa Nomensen di Medan. Saat kejadian itu saya sedang menunggu teman yang janjian bertemu saya di Jl. Timor. Saya menunggu di warung biasa di situ karena saya lihat mahasiswa-mahasiswa mulai menutup jalan dan menyiapkan ban-ban untuk dibakar. Waktu itu saya sudah tahu kalau para mahasiswa memang sedang mogok kuliah dan berdemo, tapi tidak menyangka bahwa demo itu akan berakhir dengan bentrokan yang mengakibatkan beberapa nyawa melayang.
Kalau di demo Makassar kemarin, warga sipil menyerang mahasiswa – tapi mahasiswa menuduh mereka sebagai oknum – sebaliknya waktu demo di Nomensen ini, mungkin sekali memang ada polisi yang berpakaian preman. Kira-kira setengah jam saya menunggu, saya mendengar suara keributan. Saya keluar dari warung ingin tahu ada apa – warung itu jaraknya hanya 5 meter dari jalan raya – dan saya melihat mahasiswa-mahasiswa berlarian menyelamatkan diri. Di tengah-tengah jalan raya itu berdiri seorang pria tegap berpakaian preman berambut gondrong menggengam pistol dengan kedua tangannya. Dia mengarahkan pistol lurus ke depannya, dan terdengar suara letusan. Doubb!! Doubb!! Saya terkejut dan lari masuk lagi ke dalam warung tenda itu, dan kena repet pula sama si ibu pemilik warung. Katanya jangan lari-lari ke dalam warung nanti semua orang ikut lari ke situ, kita semua kena. Itu adalah pertama kalinya saya mendengar suara letusan benaran – selama ini kan cuma dengar dari film di televisi – dan ternyata suara letusan peluru itu bukan dor dor kayak di televisi. Entah itu peluru karet atau bukan, tapi yang jelas mendengarnya saja kita sudah bisa membayangkan bagaimana rasanya kalau terkena di tubuh.
Saya tahu pria berpakaian preman itu. Sebut saja namanya Marlboro. Dia pernah datang ke rumah kami beberapa bulan sebelumnya, waktu itu untuk meminta izin meminjam saudara kami selama beberapa hari untuk menyelesaikan kasus narkoba karena saudara kami itu akan menjadi informan baginya. Dia memperkenalkan dirinya sebagai tim reserse polisi, tapi saudara kami bilang dia itu intel. Marlboro ini orang Manado, dengan rambut gondrong, badan tegap, berpakaian slenge’an dengan jeans, boot dan kemeja longgar yang kancing atasnya terbuka. Dia pria yang cukup sopan meskipun sekilas terlihat sangar dan urakan. Tidak pernah pakai seragam polisi, selalu berpakaian preman.
Ada yang menggelitik dalam hati saya tentang profesi intel ini. Sejak dulu saya penasaran sekaligus kagum dengan profesi ini. Mereka adalah orang-orang terpilih yang ada dan hidup di sekitar kita, bertingkah laku seperti layaknya orang normal yang pergi dan pulang kantor seperti karyawan biasa, bahkan mungkin penampilannya katrok habis, tanpa pernah kita sadari bahwa dirinya adalah agen intel , bahkan ketika dia harus tertangkap sekalipun dia tak akan pernah mengaku bahwa dirinya adalah agen intelijen tingkat tinggi. *begini nih kalau habis baca buku soal intel 😀
Beberapa tahun lalu saya juga ketemu seorang teman cowok waktu SMU. Ketemu tidak sengaja di Sun Plaza Medan. Dia berpakaian hitam-hitam dengan jaket panjang, tapi lusuh. Kulitnya yang legam semakin melengkapi kelusuhannya itu. Pipinya yang dulu biasa saja sekarang terlihat gembil seperti orang sedang mengulum permen di kedua pipinya. Kami berjabat tangan dan berbasa-basi layaknya teman lama.
“Dimana sekarang?†tanya saya.
“Polda. Aku jadi intel sekarang,†jawabnya. Saya mengernyitkan kedua alis. “Intel? Gak salah? Kayaknya kau yang lebih pantas diciduk daripada sebaliknya.†Kejam memang, tapi saya memang kurang yakin dengan pengakuannya. Dia dulu hobinya menggelek kalau di kelas, joroknya bukan main karena sering meludah di bangkunya di belakang, dan bahkan suka mabuk-mabukan, bagaimana mungkin dia bisa lolos jadi intel? Setahu saya setamat SMU dia tidak melanjutkan kuliah kemana-mana, dan juga tidak ada pekerjaan tetap. Apa memang menjadi anggota intel polisi semudah itu? Masa agen intel ngaku? Hihihi… Tapi mungkin teman saya itu tidak paham betul tentang profesi intel yang sebenarnya, bisa jadi dia hanya jadi informan polisi tapi dia mengaku sebagai intel. Terakhir kali saya dengar kabarnya, dia ikutan jadi caleg, entahlah apa akhirnya dia dapat banyak suara atau tidak, saya nggak ngikutin. Intel jadi-jadian ternyata..
Tapi sejauh pengalaman saya berteman, para cowok bangga sekali bila punya kenalan intel. Apalagi kalau jadi intel ya? Bumbu-bumbu cerita mereka selalu penuh dengan cerita penangkapan dan penggerebekan di sana sini yang dilakukan oleh “teman intel” mereka. Dan sedikit-sedikit kalau ada kejadian misterius, akan dihubung-hubungkan sebagai perbuatan intel. Well, untuk yang terakhir ini saya juga sedikit begitu. Mungkin karena saya baca buku soal intelijen jadi sekarang otak terlatih untuk menelisik lebih jauh bila ada peristiwa dan kasus yang tak kunjung selesai. Selalu ada sesuatu di balik satu peristiwa.
Hmm…
Siapa yang pernah jadi informan polisi? Atau siapa yang pernah punya teman mengaku-aku sebagai anggota intelijen?
Hmm… Percaya gak kalau saya bilang saya ini punya profesi lain, yaitu sebagai intel? 😀
dengan pistol di tangan, apakah anda percaya bahwa saya Intel? 😀
Dulu pernah ketemu 2 orang intel diwarnet berpakaian lusuh. Bos warnetnya yang kasih tau aku kalo mereka itu intel.
Tapi kok sepertinya memang preman beneran, lha mampir kok minta upeti…
Tak tahu lah… -_-; Zee kamu intel ya? Woah…. *percaya banged*
Saya dulu juga seram kalau dibilang “Bapak ini punya kenalan intel!”
Tapi sesampainya di Jogja, 17 tahun silam, intel terpatahkan keseramannya menjadi indomie telur 🙂
Btw, aku juga suka geli ngeliat ada orang di kaca mobilnya ditulisin “Keluarga Besar bla bla bla”
Hahahaha!
Harusnya kalo intel gak boleh ngenalin dirinya sebagai intel ke sembarang orang donk. Sama juga ditempatku, kok yg namanya intel kok udah pada banyak dikenali orang.. lucu juga ya 🙂
Kalo masalah demo rasanya di mana2 hampir sama aja modelnya. Binun eh bingung deh jadinya 😀
Kalo saya punya pengalaman di’inteli’, sama Pas******, meski mereka bukan intel beneran dilihat dari jabatannya, tapi lucu aja bisa mengenali mereka membuat geli sendiri.
saya juga kebetulan semalam nonton berita kerusuhan itu di TV… sepertinya sekarang banyak demo mahasiswa yang ga jelas..(oknum mahasiswa) bisa jadi mereka ga ngerti apa masalah sebenarnya..tau-tau demo urakan.. katanya belain rakyat..ah..dodol banget deh..
di sisi lain..banyak polisi yang menyebalkan juga tingkahnya.. oknum polisi maksud saya 🙂 … ( jadi mana yang bener ya..? heheh..)
trus bedanya intel sama serse apa ya ? katanya klo intel/serse kan orangnya jg dirahasiakan tp saya kenal dgn beberapa orang yang katanya ( ngakunya ) intel.. tugasnya ya mmg di kepolisian…
* klo saya sih memang suka InTel alias Indomie Telor
pekerjaan yg penuh dengan dinamika, tiap hari menyamar sebagai orang lain