Lama tidak updated blog dan juga tidak blogwalking, rasanya seperti putus hubungan dengan dunia. Yeah, dua minggu ini pikiran saya terkuras habis untuk my baby Vaya. Maaf buat teman-teman karena saya lama tidak blogwalking, mudah2an bisa segera ya…
Vaya sakit, dan sekarang masih dirawat di RS “Pâ€di kawasan perumahan Pantai Indah Kapuk. Untuk lengkapnya saya akan menceritakan kronologis tentang sakitnya Baby Vaya.
Jadi semuanya bermula dari imunisasi campak. Turunnya daya tahan tubuh akibat disuntik vaksin itulah yang membuat Vaya drop dan sakit. Padahal anakku ini tidak pernah sakit selama ini, cuma pernah batpil aja sekali.
Senin 5 Jan 09 : Vaya disuntik imunisasi campak. Sebelumnya saya sudah info ke Dsa Wd yang praktek di RSIA B kawasan Cikini Menteng, bahwa pada tanggal 2 Jan badan Vaya bentol-bentol kayak gejala roseola & agak diare (pup 5x dalam sehari dengan tekstur pup tidak biasa). Oleh Dsa Wd, Vaya dibilang kena virus, dan mungkin agak panas sedikit kalo divaksin saat itu. Namun bila imunisasi ditunda, Dsa Wd bilang Vaya kemungkinan akan terserang campak. Dia menyerahkan pilihan pada saya. Sebelumnya sudah googling sana sini, saya dapat info bahwa hanya 20% anak yang panas sehabis imunisasi campak. Maka saya setuju kalo hari itu Vaya diimunisasi. Vaya pulang dibekali puyer demam untuk 4hari, dan enzim pencernaan untuk memperbaiki nafsu makan.
Kamis 8 Jan 09 : Selama tiga hari vaksin, Vaya aman-aman saja. Cuma Kamis sore Vaya mulai anget. Suhunya naik sampai 38 C. Puyer demam diberikan, dan kompres tetap jalan. So far, Vaya masih mau makan dan minum. Even agak kurang selera lah yaa…
Sabtu 10 Jan 09 : Panas Vaya turun. Dia sudah asyik lagi main. Tapi puyer dari dokter tetap saya kasih, untuk mencegah panas naik. Eh ternyata malamnya suhu Vaya kembali naik jadi 38,5. Buat saya suhu 38,5 pada Vaya perlu dicemaskan, karena beberapa bulan sebelumnya Vaya kejang demam sehabis imunisasi IPD.
Senin 12 Jan 09 : Senin sore, puyer demam sudah habis tapi panas masih tetap naik turun. Terutama kalo sudah mau maghrib, pasti panas. Malamnya saya pakai obat tempra saja untuk turunkan demam dengan harapan besoknya sudah reda. Tempra diberikan hanya kalau panas naik jadi 38 C.
Hari Senin ini, Vaya sudah mulai kehilangan selera makan. Kalo biasanya makannya 8-10sdm, sekarang hanya mau sampai 6 suap saja! Minum lumayan, mungkin karena panas jadi kehausan terus. Lalu diare yang minggu lalu (kejadian tgl 2 Jan) mulai lagi. Pupnya lembek dan frekuensi pup 4-5jam sekali. Utk mengatasi ini saya coba kasih Lacto-B. Vaya juga mulai batuk-batuk khususnya pada malam hari.
Selasa 13 Jan 09 : Saya terus pantau Vaya dari kantor. Sebenarnya ingin bawa Vaya ke Dsa Wd lagi hari itu, tapi karen dari pagi hujan mengguyur Jakarta, segala urusan jadi terkendala. Sore hari setibanya di rumah, BS-nya Vaya bilang Vaya adem-adem aja. Dia barusan ukur katanya panasnya 36 C. Saat saya nyalakan ear thermometer, saya lihat angka yang tertera di situ 38,5. Astagaa….!! Rasanya mau marah. Masa dia tidak bisa bedakan 36 sama 38,5? Saat saya ukur ulang, panasnya sudah di atas 38,5. Langsung saya kompres dan kasih tempra lagi.
Rabu 14 Jan 09 : Saya sudah daftar untuk konsul ke Dsa Wd. Sebelumnya suster RSIA B bilang saya dapatnya hari Kamis, tapi saya memaksa. Enak aja lu, anak gw panas disuruh nunggu Kamis? Pagi-pagi sekali sehabis makan pagi, suami membawa Vaya ke RSIA B di Cikini Menteng. Saya sendirian menyusul dari kantor.
Hampir setiap beberapa menit saya tanya mereka sudah dimana, dan saking tidak tenangnya hati ini, saya sampai salah jalan waktu ke Menteng. Bego bener.
Nah, ternyata Dsa Wd mendadak ada keperluan sehingga tidak bisa praktek hari itu. Ya sudahlah apa boleh buat, saya langsung switch ke Dsa P, toh dulu juga sering berobat ke Dsa P ini. Dulu Vaya vaksin IPD juga dengan Dsa P ini.
Ketika ditimbang, BB Vaya turun jadi 7,5kg! Padahal baru seminggu lalu datang timbang 8kg. Aduh sedihnya hati melihat buah hati jadi “langsing†hanya dalam beberapa hari.
Saat konsul saya ceritakan bahwa Vaya habis vaksin campak dan masih panas hingga saat itu. Juga saya kasih tahu soal batuk dan diare. Dsa tidak meresepkan puyer panas, dia hanya meresepkan antibiotik (AB), puyer batuk, dan enzym cobazym, untuk buat lapar katanya. Tempra tetep kasih kalo panas di atas 38. Siang itu Vaya disuruh tes darah di lab lantai II, siapa tahu kena dbd.
Waduh wajah saya ketatttt aja. Hati tidak tenang. Dan rasanya mau ikut nangis melihat Vaya menangis ketika diambil darah. Dsa P berpesan, kami boleh pulang, tapi 2jam kemudian saya sms dia untuk tahu hasil lab. 2 jam kemudian saya langsung call ke lab untuk tanya hasil (gak sabar…soalnya gak tenang kan?), dan orang Lab bilang Negatif. Hanya saja LED nya tinggi, 65, berarti ada infeksi.
Saya sms Dsa P, dan Dsa P balasnya begini : “Bukan dbd, antibiotik minum. Sabtu kontrol.â€
Eh, ternyata setelah minum ab, suhu Vaya malah naik jadi 40. Setiap habis minum tempra, gak lama memang panas jd turun, lalu 3-4jam kemudian suhu naik lagi jadi 40. Malamnya, sayapun menggunakan stesolyd (dulu pernah dikasih sama Dsa untuk jaga2 kalau-2 Vaya kejang), yang dimasukkan dari dubur Vaya, karena Vaya terus-terusan menangis dan saya juga takut kejang demamnya (KD) terulang lagi. Diare masih, batuk masih.
Malam itu Vaya tidur agak tenang, walau kadang masih suka panas. Tetap dikompres.
Kamis 15 Jan 09 : Pagi jam 5, suhu Vaya 40 lagi. Jam 11, 40 lagi. Saya langsung call ke RSIA B untuk bicara dengan Dsa P (kan dia yang kemarin resepin ab, jadi saya harus tanya ke dia kenapa setelah dikasih ab malah suhu jadi naik?). Dsa P bilang, Vaya dibawa saat itu juga untuk dirawat inap. Langsung paniklah.
Sampai di RSIA B, Vaya masuk rawat inap di Lantai 2. Tapi saya masih bertahan gak mau pake infus. Dalam pikiran saya, Vaya saya masukin rawat inap biar lebih aman saja, karena ada suster yang akan mengecek setiap saat. Kalau besok panas sudah turun, bisa langsung pulang. Kata Dsa P, kalau suhu naik itu artinya ab-nya sedang bekerja. Obat : masih tempra tiap 4jam, puyer batuk, lacto-B, dan ab 3×1. Dia memperkirakan 2-3hari, tapi saya pede Vaya besok sudah pulang.
Pemberian obat juga harus dari suster katanya, tapi ketika suster pertama datang dan membuat Vaya muntah ketika ngasih obat (memang monyet tu orang!) saya langsung bilang bahwa saya yang akan kasih obat, suster cukup mengawasi saja. Toh anak saya juga tidak akan mau dipegang orang lain.
Malamnya, Vaya masih demam. Suhu tertinggi 39,9.
Jumat 16 Jan 09 : Kondisi Vaya tidak juga berubah. Malah sudah mulai dehidrasi, karena makan dan minum sedikit. Wajah pucat, bibir kering, ubun-ubun cekung. Dsa P pun menyarankan untuk infus.
Dalam hati saya sebenarnya ingin Vaya dirawat oleh Dsa Wd, karena saya lebih sreg dengan dsa Wd. Beliau lebih sabar menerangkan, memeriksa bener-bener, dan mau dengerin curhat ibu. Kalo Dsa P, kesannya terburu-buru. Cuma kasih waktu 10mnt di dalam, udah. Kalo Dsa Wd, bisa sampe setengah jam lebih, dia gpp. Tapi karena dari awal pengobatan sudah dengan Dsa P, saya takut nanti kalo tukar ke Dsa Wd, mulai dari nol lagi. Tapi saya bilang ke suami utk bilang ke pihak rs, saya juga mau Dsa Wd ikut periksa anak saya. Oke, pihak rs bilang akan konsul ke Dsa Wd dulu sebelum pasang infus, karena pasien yang sekarang dirawat asalnya kan memang pasien Dsa Wd.
Siangnya, suster datang ke kamar, bilang kalo Dsa Wd sudah ok. Vaya bisa segera diinfus. Saya mengantarkan Vaya ke meja suster dengan hati deg-degan. Di sana sudah menunggu 5org suster (Ato lebih ya? Lupa). Seorang suster menyuruh saya menunggu saja di kamar, dia pasti tahu kalo saya tidak akan tega melihat. Vaya langsung teriak kencang.
Di dalam kamar saya menahan tangis mendengar raungan Vaya. Kalo anak-anak lain di lantai itu saat diinfus bisa teriak bilang sakit, nah kalo Vaya? Hanya bisa menangis, tidak bisa bilang dimana sakitnya. Hiks. Sampai 15mnt ke depan, tangis Vaya belum berhenti. Astaga, sudah pakai 5org suster tapi kenapa lama sekali? Tangisan Vaya mulai parau, dan pelan…mungkin karena kehabisan tenaga.
Baru akhirnya ketika suster datang ke kamar membawa Vaya dalam gendongan, baru hati saya agak lega. Saya memandang Vaya dengan rasa bersalah karena membiarkan dia disiksa seperti itu. Sempat juga saya membentak seorang suster senior karena gayanya sok ngajarin. Dia suruh saya naik ke tempat tidur baby, biar nanti Vaya dia letakkan di samping saya. Padahal saya ingin mendekap Vaya dulu biar tenang dulu. Gak perlulah dia sok tahu ngajarin secara saya ibunya tentu lebih tahu gimana caranya menenangkan anak sendiri. **emosi nih ceritanya.
Sore harinya, suster ruangan lapor ke saya. Dsa Wd tidak bisa visit. Masalahnya bla bla bla. Tapi saya mengerti maksudnya. Dsa Wd tidak enak dengan rekannya Dsa P, kalo sampe dia visit saya. Karena kesannya kok jadi rebutan pasien. Hmm… ya sudah, saya maklum saja, walaupun saya ingin bilang, saya tidak keberatan membayar ongkos kedua dokter tersebut.
Hari ini, obat tempra dan cobazym distop. Dsa P kasih puyer demam baru. Ab masih diteruskan, padahal hati saya sudah feeling bahwa dokter sudah salah memberikan ab. Ab tidak cocok sehingga tidak ada apapun yg diobati. Begitu pikir saya. Tadi dokter tanya, apa Vaya sering sakit? Saya bilang setelah ASIX hanya sakit batpil 1x, tapi KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) 2x, pertama yang KD, kedua yang ini.
Malamnya, saat sedang menggendong Vaya yang rewel, saya baru sadar bahwa cairan infus tidak jalan sejak sore tadi saat Vaya dilap. Pantas saja Vaya kelihatan begitu kehausan. Ini suster yang sama dengan yang kemarin buat Vaya muntah. Bahkan siang tadi dia lupa memberikan Vaya Lacto-B. Sebelumnya memang saya minta Lacto-B dipisah dengan puyer demam, tapi ternyata dia lupa kembali untuk kasih obat diare. Bego ga sih. Lagi begini-begini, jelas sekali saya jadi gampang emosi.
Kami langsung mengajukan komplen resmi ke RS.
Sabtu 17 Jan 09 : Pagi-pagi Dsa P sudah datang untuk visit. Karena melihat Vaya tidak ada perubahan, Dsa P bilang berarti ab tidak cocok. Katanya memang butuh waktu 3hari untuk menentukan ab itu cocok atau tidak. Lalu Dsa P bilang, dari hasil uji feasces, ditemukan bakteri.
Namun dokter tidak bisa menentukan itu infeksinya kenapa. Jadi dokter bilang akan memberikan antibiotik yang board (board ato broad ya..) spectrum (menyerang semua bakteri yang ada), namanya Clavoran, yang diinjeksi melalui infus. Jadi dia menjamin dapat menyembuhkan infeksi yang ada. Untuk menyeimbangkan bakteri baik, Vaya tetap harus minum Lacto-B. Katanya dia akan berikan Clavoran selama 3hari. Kemudian besok (Minggu), Vaya akan dites darah lagi.
Astaga ya Allah. Sampai kapan anakku akan disiksa terus? Sudah dites obat antibiotik beberapa kali, sekarang harus ambil darah lagi?
Oh iya, kami juga mengajukan komplen pada kepala ruangan yang melakukan kunjungan rutin di pagi hari. Sempat juga kami warning bahwa kami kemungkinan akan pindah rs, karena sudah 2x kecewa dengan rs ini. Pertama waktu saya lahiran kemarin, dan sekarang waktu anak saya sakit. Suster-susternya kurang berempati, kurang perhatian pada pasien, bahkan dokter jaga pun hanya satu. Waktu Vaya kembung di malam hari, dokter jaga tidak bisa datang karena ada yang urgent di tempat lain. Ya sudah. Mengalahlah.
Malam hari pun tiba, Vaya tidak menunjukkan perubahan. Ketika masuk maghrib, suhu badan meningkat. Vaya mulai rewel & batuk-batuk. Diare sudah berkurang, tapi tekster feasces masih jelek. Artinya hanya frekuensi saja yang berkurang kan, tapi bukan bakterinya.
Melihat hasil uji feasces yang positif bakteri, saya langsung curiga. Saya tanya ke BS Vaya, apakah daging giling untuk lauknya Vaya dicuci dulu sebelum diolah? “Enggak Bu.†Jujur dia menjawab. Lemaslah saya sudah. Jadi selama ini anak saya dikasih makan daging giling beberapa bulan tanpa dicuci alias langsung masak. Padahal saya sudah bilang ke BS Vaya ini agar semua harus dicuci dulu dan dibilas dengan air matang sebelum dimasak. Ikan lele, sayuran, tempe tahu, beras, memang dia cuci, tapi daging sapi yang tidak. Padahal itulah makanan utama Vaya, karena Vaya alergi dengan ayam, telor, ikan laut, makaroni, dll.
Saya diam saja. Ya sudahlah, yang penting Vaya diobati dulu. Saya lihat si mbak nya ini jadi feeling guilty karena sudah lalai soal makanan.
Minggu 18 Jan 09 : Stamina tubuh saya turun sudah. Beberapa hari begadang disertai pikiran stres membuat saya akhirnya kena flu. Vaya tidak ada kemajuan. Tetap saja panas turun panas turun.
Jam sembilan Vaya ambil darah lagi. So pasti pakai nangis bombay. Selama beberapa hari di RSIA ini, Vaya jadi berubah sensitif terhadap orang asing. Saya menduga dia trauma dengan para suster berbaju hijau yang menusuknya saaat memasang infus dan saat kasih obat, sehingga setiap ada suster masuk ke dalam kamar, even hanya untuk say hello ke saya, dia langsung menjerit menangis. Sampai badannya dibanting-banting karena takut disentuh suster.
**Saya merasa sangat bersalah karena sudah mengijinkan Vaya diimunisasi. Saya pikir, indikator anak dalam keadaan sehat adalah anak tidak demam dan mau makan minum. Kirain kemarin itu Vaya bukan diare, tapi hanya pup lbh sering aja, eh ternyata sekarang jadi kemana-mana sakitnya. Hiks.
Jam dua belas, dokter datang dan suster juga datang membawa hasil lab. Hasil lab postifi dengue. Duh, serasa dunia runtuh mendengarnya. Serasa nyawa ini hilang separuh. Dsa P bilang Vaya masih dbd primer, karena yang positif masih Igm nya. Dbd primer itu berarti Vaya baru digigit nyamuk sekali, sementara dbd sekunder artinya dbd parah yang sudah digigit nyamuk 2-3x. Saya coba tanyakan, kalo dbd kenapa trombosit Vaya tetep full? Dokter bilang, trombosit bisa berkumpul-2 sehingga saat dihitung bisa jadi banyak. Dia menyarankan lusa dites darah lagi, dan sementara ini terapi yang sekarang tetap diteruskan.
Dokter terlihat agak ragu ketika kami menanyakan lagi soal infeksi. Penasaran, kenapa panas naik turun terus. Dsa pun mengakui bahwa dia tidak tahu apa yang salah di darah Vaya, sehingga Vaya masih saja panas terus. Coba deh, kalo dokter aja bimbang, gimana pasien bisa nyaman?
Karena tidak ingin terlambat penanganan, saya minta Vaya tes darah ulang besok (Senin). Ketika dokter berlalu, air mata inipun tumpah. Sedih melihat anakku tercinta, yang kemarin-kemarin lincah sekarang harus terbaring lemah di ranjang.
Senin, 19 Jan 09 : Ini hari ke-11 Vaya panas. Pagi, Vaya ambil darah lagi. Berarti ini yang ketiga kali. Sambil menunggu hasil dengan hati was-was, saya tetap berusaha terlihat ceria selama bermain dengan dia. Berusaha tertawa saat menyuapi Vaya walau airmata ini berat sekali untuk ditahan.
Jam 11 siang, suami mengabarkan saya bahwa kita akan pindah RS. Sudah berhari-hari di RSIA B ini, Vaya tidak ada kemajuan. Setelah 3hari di rs, baru ketahuan ada dbd, tapi infeksinya tidak juga berkurang, malah hasil tes feasces menunjukkan bakteri malah makin banyak. Demam juga tidak ada perubahan, sudah ganti-ganti obat demam, tetap saja demam tidak hilang. Kasihan anakku.
Saat suami menjumpai Dsa P untuk membuat surat pengantar, suster kepala ruangan mendatangi saya di kamar. Dia minta maaf karena salah satu susternya sudah berbuat kesalahan fatal (soal obat & infus – red) terhadap kami (sejak komplen tersebut, si suster tidak pernah lagi ke kamar kami), dan juga minta maaf karena rs belum bisa berbuat maksimal untuk kesembuhan anak kami.
Saya cuma bilang, kalau pelayanan agak kurang-kurang saya tidak masalah, yang penting anak saya ada kemajuan. Masalahnya kan Vaya tidak ada kemajuan, padahal sudah berkali-kali tes darah, sudah kasih obat ini obat itu.
Di tempat lain, Dsa P akhirnya mengakui pada suami saya bahwa dia berat dengan kasus ini. Dia tidak bisa tahu virus apa yang menyebabkan infeksi pada Vaya. Menurutnya kalo cuma infeksi pencernaan mustinya mudah saja diobati, apalagi dia sudah pakai ab yang canggih. Secara klinis dan hasil lab pun sebenarnya Vaya tdk ada indikasi dbd, karena trombosit masih bagus. Hanya saja memang Igm positif, itu yang dipakai Dsa P untuk menentukaan bahwa Vaya kena Dbd.
Hmm… jadi ngaku juga ya dok kalo udah nyerah? Sempat suami menangkap bahwa Dsa P menganggap kami tidak bersabar dengan terapi yang dia beri, tapi dia paham bahwa kami berhak mencari yang terbaik.
Jam 1 siang, dengan diantar ambulans dari RSIA B, kami sampai di RS P di daerah Pantai Indah Kapuk. Disini kami sudah janji untuk dirawat oleh dokter senior di RS ini, yang sangat ahli soal darah. Di RS P ini, Vaya tetap harus ambil darah lagi, dan infus harus dibuka karena sudah 4hari. Infuspun dipindah ke kaki (ini berkaitan dengan kebiasaan Vaya ngempeng tangan sebelah kiri), dan untuk ambil darah diambil dari lengan kanan dan jari.
Waduh kasihan sekali Vaya. Dalam sehari sudah 2x ambil darah, ditusuk infus lagi, dan suntik tes antibiotik lagi. Ketika infus lama dibuka, terlihat 4 luka bekas tusukan jarum. Itu pasti tusukan-tusukan yang gagal ketika coba infus di RSIA B kemarin, bekasnya merah dan biru. Kasihan anakku. Di RS P ini, Vaya ditusuk sekali di kaki, dan berhasil meskipun melalui perjuangan berat menahan rontaan Vaya.
Sore harinya, Vaya kembali panas tinggi sampai 39 C. Suster datang membawa puyer demam baru, dan Vaya diminumkan (tenggang waktu dari terakhir minum di RS B adalah 5jam). Suster lalu mengkompres badan Vaya. Caranya, baju dibuka semua, lalu wajah & badan dilap dengan air suam suam kuku. Ternyata tak lama kemudian panas mereda. Alhamdulillah. Ternyata sejauh ini obat demam di RS P ini cocok dengan Vaya. Saya juga dapat ilmu baru tentang kompres badan itu.
Di RS P ini Vaya tidak boleh dikasih makan, hanya boleh dikasih susu saja. Oh iya Vaya sudah campur sufor sejak umur 8bln, soalnya asi saya turun drastis gara-gara saya sempat diet kemarin itu. Hiks. Nyesel banged, gara2 diet asi langsung turun. Sudah coba relaktasi, minum ini itu tidak bisa full lagi. Jadi terpaksa campur.
Malamnya, Vaya tidur pulas sekali. Insya Allah obatnya cocok. Baru malam ini Vaya bisa bobok tenang sampai pagi tanpa menangis rewel dan terbatuk-batuk.
Selasa 20 Jan 09 : Hari ini dr. BL yang merawat Vaya visit untuk pertama kali. Beliau bilang, dari hasil tes darah, Vaya bukan kena dbd, tapi demam dengue disertai komplikasi infeksi pencernaan yang menyebabkan diare tidak sembuh. Entahlah, mungkin ada dbd tapi mungkin juga cuma dd, tapi yang penting tepat penanganan.
Sebenarnya di RS P ini pun susternya lebih bodat daripada di RSIA B. Tadi siang juga salah kasih obat, masa jadwal obat batuk dia kasih obat panas. Saya langsung komplain berat, dan mereka mengakui kalau mereka salah. Akhirnya saya minta saya saja yang kasih obatnya karena tidak mungkin kan saya lalai kasih obat ke anak sendiri.
Cuma saya sedikit bersyukur karena setidaknya disini Vaya ada kemajuan. Hari ini panas cuma dua kali saja, menjelang maghrib dan malam, mungkin karena kurang minum. Diare masih ada sedikit. Batuk juga sedikit. Untuk memastikan bahwa dia sudah baik, suhunya harus stabil, dan Vaya harus cek darah lagi sebelum pulang ke rumah. Kalau di RSIA B, Vaya tetap dikasih makan bubur tim, disini Vaya diharuskan puasa makan, biar ususnya istirahat dulu begitu kata dokter. Dokter yang ini bilang Vaya sudah salah antibiotik makanya infeksi gak sembuh-sembuh. Ahh… speechless.
Semoga cepat sembuh ya sayang… biar kita bisa segera pulang. Mami sudah rindu pengen denger ketawa Vaya…
Waduh…Sekali posting puanjjanng… Seklian lepaskan kangen ya mbak.
JAdi Sedih juga bacanya.
Vaya, udah kluar dari RS blom Zee? Moga2 cepet sehat lagi ya.. Mami Zee jgn stress ya.. jgn sampe ikutan sakit..
Wah, kok bisa sakit anaknya mbak?
Cepet sembuh ya, coz di musim hujan ini banyak banget penyakit yang datang menghapiri…
SEMANGAT
aduuh baca ceritanya bener-bener nggak tega bu. saya jadi inget pas zia sakit. meski laki-laki tetep juga nangis.
Semoga vaya cepet sembuh yaa
semoga cepat sembuh Vaya…
maaf kak, ga baca semua nih postingannya. gi pusing.
tapi intinya si dedek atit ya. semoga lekas sembuh ya.
kalo abis vaksin emang anak2 suka demam.
vaya lekas sembuh ya say..
sabar yah zee
aku tau banget stressnya kalau anak sakit.
apalagi penyakit demam dengue itu. bagus deh lgsg di rawat di RS…menghindari hal2 yg gak diinginkan
aku ikut doa degh..moga cepet sembuh.