Budaya cium pipi atau istilah kerennya cipika-cipiki adalah hal yang biasa di masyarakat kita. Setiap bertemu teman atau keluarga yang lama tak bertemu, misal ketemu sahabat kuliah di sebuah mall, atau saat arisan keluarga, pasti para perempuan saling menyalam dan menempelkan pipi. Sementara para pria umumnya bersalaman dan saling berangkulan tanpa cipika-cipiki — kasus ini terkecuali bagi para pria yang sudah lansia, yang biasanya jarang bertemu saudaranya, jadi saat bertemu, aturan itu tak berlaku.
Tapi sebenarnya, saya kurang begitu suka saling menempel pipi (kecuali pada teman dekat atau keluarga). Soalnya cipika-cipiki itu melelahkan. Apalagi kalau kita bertemu banyak orang dan semua saling menempelkan pipi, huaduh…. capek bo’. Pertimbangan capek ini bukan hanya karena harus maju mundurkan kepala saja, tapi juga berkaitan dengan mengatur posisi tubuh saya yang pendek ini. Kalau dapat lawan yang tinggi, kasihan banget doi harus membungkuk demi menempel pipi. Secara tidak langsung saya kan harus menyesuaikan sedikit biar gak jomplang banget.
Alasan lainnya adalah, menurut saya kulit wajah adalah wilayah yang sensitif. Kulit saya termasuk yang sensitif dan gampang berjerawat, dan saya sendiri juga tidak mau dituduh menyebarkan kuman jerawat setelah adegan cipika-cipiki itu. Dulu waktu saya masih pakai krim perawatan dari dokter, saya selalu was-was ketika hari ulang tahun saya tiba. Teman-teman pasti ingin cipika-cipiki – saya juga mau dong, namanya juga sohib-sohib – tapi krim di wajah saya itu benar-benar hanya krim, tidak ditempeli bedak (kata dokternya sih gak perlu pakai bedak, biar alami, gitu… halah..!). Artinya kalau saya tempel pipi ke teman saya, maka saya akan memindahkan minyak-minyak di wajah ini ke pipi mereka, hahaa..! Maka sebelum cipika-cipiki, saya akan berteriak dulu, woiii aku lagi pake krim dokter ini ya woi…
Saya pernah punya pengalaman kurang enak tentang cipika-cipiki ini. Ini sih kejadian waktu saya SMA dulu. Dulu ada abang sepupu dari Jakarta yang main ke rumah kami di Medan. Abang sepupu kami ini gondrong, seniman tapi baik hati. Tapi istrinya itu tuh, sombong banget. Saat itu doi kerja di salah satu bank swasta yang terkenal. Saat itu dia bersalaman dan cipika-cipiki dengan mami saya. Heboh, ramahnya luar biasa (biasa, ada maunya alias matrek). Lalu ketika bersalaman dengan saya, tangannya dia dorong ke depan. Saya pun bisa menangkap arti dorongan itu. Dia tidak sudi cipika cipiki dengan saya. Duh, sombong amat nih orang, lagian siapa yang mau cipika cipiki ama dia? *saat itu dalam hati saya berjanji, dia akan mendapatkan balasannya nanti. Dan benar sih, roda berputar. Tak lama, si Sombong itu di-phk dengan tidak hormat dari bank tempatnya bekerja karena terlibat penggelapan uang nasabah, dan berakhirlah dia dengan keterpurukan yang memang ‘terpuruk’ karena sampai sekarang terus di-subsidi oleh mertuanya. Terakhir bertemu dengan saya, mukanya semakin ‘tua’, tidak modis lagi, dan sekarang dia ramah sekali dengan saya. Maaf, saya memilih mengabaikan dia, udah ketahuan modelnya gimana. Eh kok malah curhat ya, hehe…
Terakhir kali cipika-cipiki terbanyak adalah saat resepsi pernikahan saya & hubby di Siantar, Desember 2006. Tamu-tamu ini mayoritas adalah tamu orang tua saya – jelas bukan tamu saya, mana ada teman saya di Siantar – dan mereka berbaris-baris untuk memberi ucapan selamat.
Bibir sudah capek tersenyum, gigipun sudah kering, tangan kiri sudah pegal karena terus pegang rangkaian bunga, kaki sudah pegel karena belum lama duduk ternyata sudah ada antrian tamu mau menyalam. Sementara ibu-ibu batak itu tetap saja mau tempel pipi dengan si pengantin. Saya sudah merepet-repet juga ke mami saya, “Mam, gimana ini, matilah kalau tiap salaman tempel pipi terus.†Dandanan tidak sempat cek en ricek, apakah luntur karena terus menerus cipika-cipiki, boro-boro pula mau ganti baju kedua. Tapi ada juga cewek-cewek yang “pengertian†yang tidak memaksa untuk cipika-cipiki. Para ibu yang biasanya semangat sekali mau cipika-cipiki. Beberapa kali saya akhirnya berdiri tegak saja, memasang senyum terbaik dan berusaha dengan bahasa tubuh yang sopan menolak cipika-cipiki. Maksudnya biar tahu, ini pengantin capek lho…
Tapi ternyata saya malah kena repet. Seorang inang menggerutu lalu menyentak tangan saya, “Aaahh.. sini dulu kucium pipi itu, bah!†Inang tua berbadan kurus itu menyeringai lebar dan menarik tangan saya. Saya pun menempelkan pipi saya ke pipinya. *Makjang! Direpeti inang-inang bah! LOL.
Teman, suka cipika-cipiki? 🙂
1000 ciuman…
Siapa yang tak kenal Bung Karno. Selain sebagai seorang Proklamator Kemerdekaan RI, Presiden Pertama RI, dalam kehidupan pribadinya ia adalah seorang penakluk wanita. Saya, sayalah Bung Karno yang suka mendekati orang di mana saja saya berada. Dan sifa…
Hahahaha.. tapi memang begitu kan budaya kita.
kalo gue sih seneng-sneng aja diajak cipika-cipiki. asal jangan sesama pria aja yah. hahahah
Saya dulunya nggak suka tapi setelah kenal istri saya dan keluarganya apalagi setelah pindah kemari, cipika cipiki itu hal biasa..
Malah beberapa teman bule, ketika mencium temannya yang wanita (bukan pacar) mereka cium pipi pake bibir lho..
Aku… pengen sih hahahah!
bhwakakakkkak
Seorang inang menggerutu lalu menyentak tangan saya, “Aaahh.. sini dulu kucium pipi itu, bah!â€
ngiri dia, yang lain dapet pipi, masak dia gak dapet
hehe…saya jarang sekali cipika cipiki, kecuali kalo dipaksa 😀
cipika cipiki, tapi untuk kaum adam saya rasa masih belum sering dijumpai di masyarakat
hihihi…
ada2 aja Zee 🙂
hm, kalo saya sih, cipika cipiki hanya pada mereka yang dekat dengan saya saja. tapi kadang kalo bersalaman dengan orang *yang nggak deket2 amat* saya sih antisipatif, nggak mau dibilang sok akrab.. saya mending pasif. Kalo dianya mo cipika cipiki, ya saya akn menyambut dengan baik.
nah, pernah ada kasus nih..
ketemu temen lama (cowok). Lah.. dianya langsung cipika cipiki.. saya bingung zee.. udah gak sempat mikir juga. terjadilah cipika cipiki.. hehe…
saya yg berjilbab ini kan jadi nggak enak. nggak enak ama diri sendiri ama orang yang liat 🙂