Hatiku Berkecamuk di Pasar Beringharjo

Hatiku Berkecamuk di Pasar Beringharjo

“Rombongan dari mana, Mbak?”

“Dari Jakarta.” Saya menjawab berbarengan dengan Dy, teman saya.

Bapak penjual arang tertawa dan mengangguk-angguk.

“Di Jakarta gak ada yang jual arang, lho.” Kata seorang bapak penjual lainnya.

Saya tertawa sopan, menanggapi perkataannya. Saya pikir barangkali bapak itu becanda.

“Iya. Semuanya ngambil arang ke sini. Ini dikirim semua ke sana.”

“Oh gitu Pak?” Teman saya Loy menimpali, kemudian melanjutkan obrolan sedikit dalam bahasa Jawa dengan si bapak penjual arang, yang tidak saya mengerti.

Minggu lalu saya ada di Pasar Beringharjo, Jogjakarta. Berkeliling pasar bersama teman-teman untuk memotret kegiatan apa pun yang menarik di pasar itu. Sebuah kegiatan yang sebenarnya saya gemari tapi tak pernah saya lakukan sebelumnya kalau di Jakarta karena tak punya teman untuk berkeliling.

Saya dulu pernah menuliskan kegiatan ini sebagai wisata rohani bagi saya. Bertemu dengan banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat, mencoba mendapatkan banyak cerita dari mereka, dan menjadikannya pelajaran buat diri saya.

Saya duduk di kursi kayu di depan deretan kios penjual arang. Hanya duduk, melihat dua teman saya yang sedang berdiskusi mengenai komposisi foto berdasarkan jatuhnya natural light.

Bola mata ini haus akan pemandangan, berputar dan menelisik dalam segala hal yang bisa dicapai. Ibu-ibu yang mengangkat karung arang di punggung, bapak tua yang berjalan terpincang-pincang.

Lalu hati saya tercekat. Saat saya lihat kedua bapak penjaga kios arang di depan saya membuka piring makan mereka. Salah satu dari mereka memilih menutup kembali piringnya (mungkin mau di makan nanti). Yang satu lagi, yang tadi berbicara ke saya, mengangkat piringnya, bersiap mengisi perut yang keroncongan.

Piring putih berisi mie rebus. Mungkin. Ya, mungkin.  Mungkin bagi kita di sini, mie rebus adalah makanan tanggal tua, makanan pengganjal lapar saat belum gajian, makanan yang kita jadwalkan hanya dimakan sebulan sekali saja dengan alasan mie rebus itu tidak sehat karena isinya micin dan mengandung bahan pengawet. Makanan yang kita agung-agungkan saat hujan lebat. Singkat kata, makanan yang tak akan dilirik selama kita masih punya uang untuk membeli makanan lain yang lebih sehat (menurut kacamata kita).

Tapi tak semua orang punya pilihan kan? Tak semua orang punya isi kantong cukup untuk membeli lebih dari sekadar mie rebus. Sementara kita dengan mudahnya membuang puluhan ribu atau ratusan ribu demi makan siang fancy dan content sosial media.

Di sisi lain saya bertemu dengan bapak tua yang menjaga warung jualan loak. Tetap asyik merokok, sambil mengajak ngobrol teman saya, menawarkan kamera jadul jualannya. Tiap orang punya cara sendiri dalam menikmati hidup, dalam kondisi apa pun. Benar gak.

Pada kenyataannya, mereka adalah para pejuang hidup yang sebenarnya. Tetap giat berusaha, mencari rezeki yang halal buat dirinya dan keluarga.

Dan semakin lama di sana, rasanya mata ini mulai berat.

-ZD-

8 Comments

  1. foto bapak yg sedang makan, bener2 bikin terharu. apalagi baca deskripsinya :(. Ngerasa kalo selama ini kok kuraaaang bgt dlm hal memberi …. Blm lg kalo inget anak2, yg suka nyisain makan mereka :(…

    • Zizy

      Iya.
      Makanya aku suka emosi jiwa kalau lihat anakku makan gak habis, atau pilih-pilih makanan. :((

  2. I love your photo essay! Memang human interest itu kerap menyayat hati saat kita tangkap di kamera dan rangkaikan cerita pneus mana di balik itu semua. Thanks for sharing it.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *