Ceritanya wiken minggu lalu saya pulang ke Medan untuk beberapa hari. Sendirian saja, meski tadinya sempat ingin memaksa membawa anak turut serta. Namun karena kepulangan ini bukan untuk urusan jalan-jalan tapi ada keperluan keluarga yang mendesak, jadi Vay pun tidak ikut. Takut dia kecapekan di jalan. Tapi ini saya juga gak benar-benar sendirian, karena berangkat bareng saudara-saudara lainnya. Dari Medan, kami akan langsung ke Siantar.
Memang sih, minimal sekali dalam setahun saya pulang ke Medan, dengan waktu yang bisa dibilang cukup singkat untuk mengeksplor kota. Makanya pelan-pelan merasa harus kembali beradaptasi dengan segalanya, perubahan beberapa ruas jalan, lalu lintas, hingga bahasa. Terutama yang terakhir.
Jadi begini, bagi yang belum tahu, Medan itu punya dua ciri khas berbahasa. Yang pertama dan dominan adalah logat Melayu. Dan kedua adalah logat Batak. Perbedaan utama adalah dari tekanan saat berbicara dan penggunaan kata “awak” dan “aku”. Contoh, kalau kita dengar orang ngobrol seperti ini: “Parah kalilah dia sekarang, gak bisa lagi awak minta tolong sama dia.” Berarti dia orang Medan.
Contoh lain, kalau bicaranya seperti ini: “Lapar kali perutku, bah!” dan dengan tekanan untuk menegaskan kalimat itu, sudah jelas ketahuan kan orang apa? Batak. Jadi jangan terbalik lho, ya. Orang Batak di Jakarta (or di daerah manalah) belum tentu orang Medan. Sebaliknya kalau ketemu teman baru yang berasal dari Medan dan logat Medannya kental banget, jangan salah kaprah menebak mereka orang Batak. Malu Situ nanti.
Nah, berkat bertahun-tahun tinggal di Jakarta dan bergaul dengan teman-teman dari berbagai suku, sedikit banyak telinga dan verbal saya pun mulai terbiasa dengan bermacam logat. Teman dari Makassar, Jawa, Sunda, Palembang, Padang, tetap tak bisa menanggalkan logat asli walau kesehariannya campur-campur dengan logat Jakarta. Sayangnya, di kantor saya sedikit sekali orang Medan. Kalaupun ada satu dua orang Batak, ya mereka berbahasa sangat “santun”, gak ada batak-bataknya. Keras enggak, membentak juga enggak. Hahaha…
Jadi saat kaki menjejak keluar dari si pesawat biru di Bandara Polonia, saya agak kaget dengan suara keras petugas bandara yang mengobrol di bawah tangga pesawat.
“Kau mau makan enak, gak!”
“Makan apa rupanya?”
“Pokoknya kau mau makan enak gak! Gak usah banyak kali tanya, kau ikut aja aku nanti!”
Obrolan yang apa adanya dan sedikit tak beretika karena alih-alih memperhatikan para penumpang yang menuruni tangga, mereka malah membicarakan urusan personal. Selanjutnya ketemu dengan banyak petugas porlep yang menawarkan bantuan mengangkat bagasi. “Bisa dibantu bagasinya, Kak?” dengan khas logat melayu Medan yang mendayu-dayu dan enak didengar telinga. Eniwei, saudara-saudara saya tak ada yang mau memasukkan koper ke bagasi, karena tidak percaya dengan petugas di Medan. Takut kopernya dicongkel.
Berikutnya, waktu ke Suans Bakery Medan untuk beli kue-kue kecil untuk bekal perjalanan ke Siantar. Ada satu pegawainya ibu-ibu, marah-marah saja kerjanya. “HEH! TENGOK INI! Besok-besok gak boleh basah baki kau kek gini ya!” Dia membentak si pegawai perempuan di depan saya, saat perempuan muda itu mengantar baki kue ke kasir. Woooo…. Bebas kali kawan ini bah, membentak rekan kerja di depan pembeli. Sungguh tak sopan. Nilai Suans berkurang langsung 20 poin dengan kelakuan pegawai seniornya ini.
Sekarang di Siantar. Kalau di Siantar, jelas… yang bicaranya kuat dan keras sudah pasti orang Batak. Tapi karena bicaranya berirama ada beberapa penekanan pada maksud yang ingin disampaikan dengarnya itu enak lho. Nih contohnya, waktu saya menemani mami saya belanja ke toko Mega Sari di dekat Pajak Horas. Ada dua ibu-ibu Batak, kayaknya sih mereka pembeli grosiran di toko itu yang mengobrol dengan acek pemilik toko sambil tertawa-tawa.
“Mana biii-sa kau kayak gitu.”
Lalu disambung lagi sama temannya. “Cobaklah… udah dari taa-di kami di sini, gak aa-da sikitpun kau kasih kami minum! Ya sudahlah, cepat kau bungkuskan dulu barang kami itu, mo bergerak dulu kami.”
Dan beberapa detik kemudian, suara menggelegar lain mengagetkan saya. Seorang ibu Batak dengan muka ketat, berteriak kencang dari depan pintu. “HOI, KAWAN! BERRAPA HARGA MINYAK CURAH INI!” Omaakk…. datang premannya ini, kalah suara bapak-bapak dibuatnya. Dan karena semua orang di toko itu sibuk karena pembeli lagi ramai, plus si acek juga lagi melayani dua ibu-ibu tadi, jadilah inang yang satu ini tak puas. Dia masuk ke dalam dan berteriak lagi di depan si acek sambil meletakkan tangannya di meja kayu tinggi itu. Bruk! “BERAPA HARGA MINYAK CURAH!?”
Dalam hati saya berucap … home sweet home…! Hahahaaa…
……
Medan memang unik. Kalau di Jakarta, pengemudi sudah terbiasa dengan manajemen stress saat jalanan macet yang artinya bunyi klakson tak terlalu dibutuhkan karena tak berpengaruh juga maka di Medan, suara klakson menggila di mana-mana. Plus tambahan klakson mulut. Terlambat bergerak sedikit, langsung: WOIII…. !!
Dua hari berikutnya saat kembali ke Medan, saya janji ketemu dengan teman di Sun Plaza. Saat mengeringkan tangan di hand dryer di toilet, saya mendengarkan dua pegawai toilet mengobrol dengan cueknya. Yang satu kayaknya jengkel karena toiletnya dibikin banjir mungkin oleh pengunjung. “Baaaannjiir semua ini dibuatnya. Emosi kali aku! Kalau ada tadi pisau, udah kutikamkan dia itu!” Lalu temannya tertawa. Padahal toilet sedang ramai pengunjung lho, dengan santainya si petugas akting kayak preman. Kalau kami bilang, itu preman lontong, menang cakap aja. Baru dikasih lirikan tajam sudah mengkeret, sadar akan kelakuannya yang tidak pantas.
Yeah begitulah Medan, sangat apa adanya walau sebagian dari kota itu sering kurang beretika. “Ini Medan, Bung!” adalah slogan Medan yang jelas-jelas menunjukkan ke-aku-an, ke-eksis-an, sampai ke-arogan-an orang Medan, dan mereka para pendatang diminta paham dan harus bisa beradaptasi dengan kota Medan.
“Ini Medan, Bung!” Baiklah, mari kita beradaptasi lagi.
Aku terakhir ke Medan waktu masih kuliah. Tapi perasaanku kalau pulangnya ke Samosir, entah kenapa di sana orang2nya ngomongnya lebih halus *nada suaranya tetep menggelegar, tapi pilihan kata2nya yg halus*
Kalo di Medannya, sih, yang aku inget, hampir gak pernah ada orang yang ngomong bisik2. Mau ngomongin orang di sebelahnya pun, mereka gak sembunyi-sembunyi :))
Kangen Medan dan Samosir :'(
Memang gak bisa bisik2 orang Medan ya hehehe…
Apalagi kalau berkumpul dan ketawa2… menggelegarrrrr! 😀
Haha. Rada mirip-mirip ama slogan Jakarta: “Siapa suruh datang Jakarta”. 😀
Kata kawan, di Medan sekarang banyakan Melayunya dibanding Bataknya ya, Bu? Belum pernah dikasih kesempatan mengunjungi Medan, sih. Penasaran dengan banyak cerita yang beredar tentangnya soalnya. Hwehe. 😛
hahhahaha tulisannya pun bisa awak baca pake nada iniii
jadi kangen aku sama medan
kapaaan lah awak pulang iniii
hihihihiih ngikik dah pagi2
ada2 aja deh mamanya Vay ini
perasaan aku tiap pulang ga ketemu tuh kayak gitu
apa karena aku pulangnya ke desa2 tanah Karo ya?
tapi klo pun aku ke Medan kota, ga juga sih dengar begitu,
kecuali ya klo di jalan tambahan klakson mulut, iyalah.
apa karena klo aku ke Medan ga mampir ke pasar, misalnya?
atau aku yg blom beruntung ya hahaha
mesti kucoba juga klo mudik lagi taon ini ato taon depan
mo ke pasar, pengen juga ngerasain atmosfir kek gitu hehehe
jadi pulang kapan Kak? Bawalah itu miranti ya 😀
bah, kalau ke tanah karo kan cakapnya keras tapi berlagu… kan enak kam mendengarnya…
nah makanya, kok bisa kayak gitu kemarin, mungkin krn pengaruh cuaca Medan yg terik makanya makin emosi mereka ya! LOL!
hahaha rame jadinya ya karena pada ngomongnya kenceng… 😀
Saya termasuk salah satu yang menyamakan antara Medan dengan Batak, padahal ada bedanya ya. Pantesan salah satu saudara ipar saya yang berasal dari Medan logat bicaranya berbeda dengan rekan kerja saya yang juga berasal dari Medan ( Batak ).
Ya bener Mas. Harus dipisahkan orang Medan dengan orang Batak.. 🙂
hahaa… aku ngebacanya sambil mraktekin nada/dialeknya dalam hati kak…
jadi kangen medan n siantar
horas bah… 😀
mantap kaaaaliii tulisan ini :p
Bahasanya memang bikin kangen Dep, walopun sakit kuping awak dengarnya :D.