Karena Hatiku Tertinggal di Papua

Hanya karena kau berambut lurus dan berkulit kuning, bukan berarti kau lebih baik dari dia.

Saya tersinggung tadi sore. Saat ke Kota Kasablanka Mall, dan singgah ke eventnya Kompas, Jejak Ekspedisi Sabang-Merauke. Di event itu, ada dua orang Papua – satu tua satu muda – berpakaian khas suku Asmat, sedang memahat patung khas Papua. Di depannya kursi-kursi disediakan bagi pengunjung yang ingin duduk menonton. Di tengah panggung juga ada karton yang dilubangi, agar pengunjung bisa memberikan sumbangan sekedarnya. Anak-anak kecil berkerumun, ibu-ibu yang hits memberikan kode ke anaknya apakah mau berfoto dengan mereka.

Seorang ibu di sebelah saya, ternyata orang Flores. Dia ke depan, mengajak ngobrol sebentar dan berfoto. Sama halnya dengan saya, ibu itu juga merindukan bertemu dengan saudara-saudara dari Timur sana. Nah, saat si anak muda Papua berdiri, si ibu menawarkan dia duduk di depan kita, karena mau diajak ngobrol-ngobrol. Dia menolak halus, katanya mau jalan-jalan dulu keliling, capek duduk saja katanya.

Dan ketika dia ke depan, mau memberitahu panitianya kalau dia mau izin sebentar, salah satu panitianya, perempuan berambut pendek, dengan tidak sopannya menutup mulut dan hidungnya dengan kerah. Omaigat! Itu dia lakukan bahkan ketika si orang Papua ini masih berjarak dua meter dari mereka. Bisa kau percaya itu? Apa dia pikir si sobat Papua ini buta atau bodoh apa, tidak bisa melihat kelakuan dia itu. Perempuan itu, entah siapa dia, yang pasti bukan usher adalah representative Kompas, dan jelas, itu sangat tak pantas dia lakukan. Ushernya, perempuan tinggi cantik yang ada di situ, bahkan tetap berlaku sepantasnya. Sombongnya orang Jakarta ini!

orangpapua

Saya kesal. Jengkel. Lalu akhirnya ketika suasana agak sepi, saya ke depan, duduk di panggung, menyapa si bapak Papua itu. Tak lama kemudian sih banyak juga pengunjung yang berkerumun, ingin mendengarkan percakapan kami. Beberapa memberikan sumbangan juga.

Kata bapa tua Papua itu, namanya Bapa Decky, dia sebenarnya sudah tinggal 35 tahun tinggal di Jakarta. Tinggal di mana, tanya saya. Di anjungan Papua, Taman Mini, katanya. Dia bilang dia tugasnya menjaga anjungan Papua di TMII, namun tidak mendapat gaji untuk itu. Cucunya ada lima belas di Papua sana. Saya tanya, Bapa sering pulang kampung ka? Terus dia bilang, kalau saya semua tergantung yang Di Atas (tangannya menunjuk ke atas), kadang-kadang bisa pulang, kalau ada yang kasih ongkos buat sa pulang. **duh, dan saya pun berusaha keras menahan air mata yang menggenang di pelupuk.

Saya tentu saja cerita ke dia juga kalau saya lahir dan besar di Papua. Lalu katanya, anaknya yang tadi itu masih malu duduk di depan situ (mungkin malu jadi tontonan). “Sa bilang, tidak usah malu, tidak apa-apa, biar orang-orang dong tahu kalo tong di Papua itu memang macam bagini…” “Katong pu pulau paling kaya, tapi orang-orangnya semua masih begini-begini saja. Ini bukan salah pendatang, tapi salah pemerintah daerah. Karena semua korupsi.” Lalu dia terkekeh, memamerkan giginya yang tinggal dua saja. Si tete tua ini hobi cerita, dan terus sambil cengengesan, tetap cuek difoto-foto.

“Aaah, itu gigi ompong semua. Pasti dulu karena suka kupas kelapa pake gigi,” canda saya. Dia ketawa sambil menutup mulutnya, lalu katanya giginya ompong karena dulu suka makan apa gitu sambil minum-minum. Katanya anaknya ada satu yang bersekolah di sekolah pemerintahan (dia lupa namanya), juga masih ada yang SMP.

“Jadi bapa tiap hari jaga di Anjungan?”

“Iya, kalau tidak jaga, nanti anak mau sekolah bagaimana?”

“Tapi katanya tidak dapat gaji, lalu bagaimana bayar uang sekolah anak?”

“Iyoo, kadang-kadang ada datang kasih sumbangan. Kalau sa, semua tergantung yang Di Atas saja. Tuhan bisa melihat.” Dia terkekeh lagi. Vay yang gak sabaran tanya ke saya terus, Mami kenapa ngomong Irian?

Saya bilang ke dia, saya mau kasih bantuan sedikit, boleh tidak. Katanya tidak apa-apa. Lalu saya selipkan di tangannya, dan pamit, pergi sebentar karena ingin membelikan Vay dorayaki. Tapi saat berlalu, saya kepikiran, dan saya telepon mami saya, diskusi, apakah salah kalau saya ingin memberikan lebih? Kalau kata mami, berikanlah agak banyak, biar si bapak bisa makan agak enak untuk beberapa hari, toh tidak setiap hari bisa bertemu dengan saudara kita itu.

Saya pun kembali ke tempat itu, hendak memberikan tambahan sumbangan dalam amplop, untuk si bapa dan juga anaknya tadi. Tapi saya lihat cuma ada bapaknya saja, dan suasana mulai ramai. Aduh, gimana ngasihnya ya? Tapi untunglah ada jalan. Tak lama si bapa tua itu berdiri, dia ke belakang panggung. Saya mengikuti dan menemukan ruang sound system sebesar 2×1 meter. Ternyata itu ruang istirahat mereka juga.

Dalam hati saya, tega benar ya kasih ruangan sekecil itu. Pak security yang berjaga mengajak si bapak istirahat di tempat lain yang lebih leluasa, tapi bapaknya menolak. Ternyata dia ke situ untuk mengecek anaknya. Anaknya sembunyi di dalam. Saat saya melongok dan memperkenalkan diri, terlihat tatapan segan darinya. Bapanya bilang, ini dulu lahir di Tanah Merah, baru kemudian wajahnya berubah jadi lebih rileks. Dia bilang dia capek duduk terus di depan, padahal mereka masih harus stay sampai jam sepuluh malam.

Saya tahu, dia tidak suka jadi tontonan. Bukan karena malu jadi orang Papua, tapi saya yakin dia bisa membaca arti tatapan orang-orang yang menonton. Seperti, oohhh ini toh orang Papua, oohhh jadi mereka di sana belum pakai baju ya? Seakan-akan mereka suku tertinggal.

Padahal seperti kata si bapa tua tadi, daerahnya paling kaya, tapi penduduknya paling miskin. Dan mereka hidup dengan pendapat seperti itu.

Kalau tanya saya nih, sah-sah saja bikin pameran kebudayaan di Jakarta ini. Tapi kalau bawa orang Papua atau suku mana pun yang masih kental budayanya ke tengah hedonisme orang Jakarta, dan tidak cerdas mensiasatinya, alih-alih mengundang kekaguman, penonton malah iba atau menjadikan mereka semacam tontonan gratis dan hemat.

Kenapa tidak disiasati dengan memperlakukan mereka sebagai rekanan, berikan beberapa stan khusus untuk memamerkan patung buatan mereka, diberi pelatihan komunikasi agar dapat berkomunikasi yang baik dengan para penonton. Biar saudara-saudara kita ini merasa lebih percaya diri, bahwa meski mereka miskin di rumah sendiri, tapi minimal mereka bisa tampil membanggakan di Ibukota ini.

Bukan dipamerkan di tengah podium, disuruh berdandan pakai rumbai-rumbai, padahal mereka ini sehari-hari sudah berpakaian normal. Lihat saja apa jadinya, kan? Ketemu oknum panitia yang merasa dirinya lebih tinggi derajatnya dari mereka. Gak sadar apa dia, dia bisa dapat lemburan hari itu karena dua orang Papua itu. Cih.

Dan saat di mobil, Vay bertanya, “Mami, kenapa keluar air mata? lalu menggenggam tangan saya. Saya hanya menjawab dalam hati, “Karena hati Mami ketinggalan di Papua, Nak.”

**my emotional cake

Thanks sudah berkunjung ke TehSusu.Com. Subscribe to Get More. Enter your email address:Delivered by FeedBurner

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

47 thoughts on “Karena Hatiku Tertinggal di Papua

  1. Pingback: Karena Toleransi Itu Indah, Kawan! | | Mom Travel & Photography Blog - Zizy Damanik

  2. Debby deboraa

    Hallo saya debby Deborah kristina hahare dulu saya hidup ber sama ayah saya yang Sudan ber pulang and juga kaka saya setiap mingle bapak tua decky selalau members saya uang buat jajan and membawa makanan buat saya tidak menyangka kalo bapak tua mencari uang Susah payah seperti ini saya sedih saya anak dari adik bapak tua decky bapak tua semoga bapak tua and bapak debby tenang di Sisi Tuhan Amin..

Leave a Reply to Zizy Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *