Karena Toleransi Itu Indah, Kawan!

Karena Toleransi Itu Indah, Kawan!

Beberapa hari lalu saya menulis status di Facebook tentang bagaimana perasaan saya tentang Papua, sebagai tanggapan atas kejadian tidak mengenakkan seminggu yang lalu.

Terlepas dari apapun pemicunya, siapa provokator dan biang di belakang kejadian itu, percayalah bahwa rasisme itu kejam. Karena itu bisa menyakiti sampai dalam sekali.

Ok. Marilah kita bicara tentang rasisme. Rasisme itu apa sih? Rasisme itu adalah satu istilah yang dibuat oleh manusia untuk membedakan perlakuan terhadap orang lain yang dilihat dari suku, warna kulit, sampai wilayah tempat tinggal. Rata-rata rasisme ini sangat terkait dengan superioritas.

Indonesia termasuk negara yang penduduknya cukup rasis. Jelas. Kenapa saya bilang begitu? Karena saya mengalaminya sejak kecil, jadi buat saya mendapatkan perlakuan rasis itu sudah biasa.

Boleh ya saya ceritakan apa saja perlakuan ini berdasarkan ingatan saya.

Dulu sekali ketika masih kecil dan tinggal di Biak, saya adalah orang Papua yang bukan asli Papua. Saya lahir dan besar di Papua, dengan mami saya keturunan Maluku dan papi saya dari Sumatera. Rambut lurus, kulit gelap, saya sering diejek hitam oleh teman-teman non Papua yang tinggal di sana. Ada rombongan anak laki-laki satu keturunan Belanda, satu lagi keturunan Manado, suka mengejek warna kulit saya.

Tapi teman-teman asli Papua tidak pernah diejek oleh mereka, itu yang saya lihat. Buat mereka, mungkin yang aneh adalah orang non Papua yang punya kulit gelap.

Namun demikian itu tidak menghalangi saya menikmati masa kecil saya, karena pergaulan saya dengan teman-teman masa kecil sungguh penuh warna. Ada orang asli Papua (orang Serui, orang Wamena, orang Nabire) lalu ada orang Jawa, orang Batak, dan juga ada orang Toraja.

Sungguh kehidupan di Biak sangat rukun. Kami saling menghormati dan kehidupan di sana juga sangat kekeluargaan. Kalau Idul Fitri tiba, yang non muslim berkunjung ke rumah-rumah orang muslim. Papi saya suka open house dan sediakan minuman kaleng buat tamu dan anak-anak muda Papua yang suka datang dan mengobrol. Ada minuman buah dan ada juga bir. Jadi tamu bisa pilih mereka suka yang mana.

Begitu Natal tiba, kami gantian keliling berkunjung ke rumah para tetangga umat kristiani. Saya dan teman-teman suka datang natalan ke rumah seorang pejabat Pertamina karena ingin dapat buah tangan setiap pulang dari sana. Ah, sungguh kenangan yang indah.

Kemudian, pindahlah kami ke Medan. Di Medan, saya jadi tahu banyak suku lain yang sebelumnya tak banyak saya temui di Papua. Ada orang melayu, lalu orang India Thamil, orang Tionghoa, dan juga ras-ras batak yang sebelumnya saya tak tahu. Excited terutama karena bahasa yang berbeda.

Pertama kali masuk SD baru di Medan, ada seorang teman orang Melayu, cowok kulit putih bersih berbadan gemuk. Dia kelihatan sangat antusias karena punya teman baru dari tempat yang sangat jauh, Irian Jaya. Pertanyaannya banyak, karena dia memang ingin tahu seperti apa sih Irian. Anaknya baik, sama sekali tidak rasis.

Pertama dia lihat saya pakai gelang khas Papua, dia tanya itu gelang apa. Lalu saya berikanlah satu gelang saya ke dia, karena sudah pasti dia tidak akan bisa menemukan gelang seperti itu di seantero Medan. Lalu kapan waktu saya bawa tas noken ke sekolah, dia tanya lagi itu tas apa.

Dan pertanyaan lain yang menggelitik saya adalah ketika dia tanya begini: “Di Irian Jaya bicaranya pakai bahasa apa?” Wow. Dan saya jawab, “Kita di sana pakai Bahasa Indonesia yang baik dan benar.”

Eniwei. Untuk ukuran anak kecil yang berasal dari pulau kecil di kepulauan di ujung sana dan langsung tiba di kota besar, satu hal yang sangat jadi perhatian saya pertama kali adalah: kenapa orang-orang di Medan tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar?

Namun kemudian seiring berjalannya waktu, saya semakin paham, bahwa inilah yang namanya keberagaman. Orang Medan memang punya ciri khas sendiri karena banyak etnis tinggal berdampingan dan tentunya saling mempengaruhi.

Baca juga: Karena Hatiku Tertinggal Di Papua

Saat saya SMP, saya masuk sekolah Katolik yang didominasi oleh orang Batak dan orang Tionghoa. Saya punya dua sahabat orang Tionghoa yang tak pernah sekalipun rasis. Tapi, ada gerombolan cowok campur Batak-Tionghoa yang suka mengejek warna kulit saya, mereka bilang kulit saya seperti kulit orang Keling (India Thamil), jadi panggilan saya jadi “Keling”, lalu tak lama saya dipanggil Kamerun. Tapi karena sebagian mereka adalah teman teman saya, saya tak terlalu pusing. Mungkin mereka begitu karena naksir saya. (Eh) (LOL)

Ketika kemudian ada satu junior, laki-laki, yang ikutan mengejek saya, saya langsung marah. Saya kejar dia, yang langsung lari menabrak kursi-kursi plastik di kantin. Saya sambar sebuah kursi dan saya lemparkan ke dia. Karena dia gemuk, mudah saja saya dapati dia. Lalu dia pun minta maaf. Reputasi saya saat itu sebagai karateka rupanya membuatnya gemetar juga. Malu kan kalau sampai kena tendangan mae-geri dari perempuan. LOL.

(Biar kau tahu siapa preman di sekolah ini, ya!)
(Begitulah kira-kira)
(Huh!)

Saat saya SMA dan bersekolah di sekolah negeri, cuma ada satu teman yang suka memanggil saya “Si Ambon”. Sekilas terkesan rasis, karena tujuannya memanggil itu untuk membuat “pembedaan” diri saya dari teman yang lain, yang memang lebih mayoritas. Batak ada banyak, Karo ada banyak, Melayu ada banyak, India ada, Jawa ada, Ambon cuma satu.

Tapi saya pribadi tak merasa itu terlalu rasis. Karena dalam keseharian bergaul, tidak ada kata lain yang berkesan melecehkan orang Ambon. Dia hanya suka memanggil saya “Ambon”.

Ketika kuliah, kali ini saya berteman dengan grup baru. Grup yang semuanya orang Jawa (ada yang Jawa Medan, ada juga yang baru datang dari luar Sumatera). Di sini, karena hanya saya yang bukan orang Jawa, mereka menyebut saya, “Si Batak” karena saat kuliah itu saya mulai perkenalkan marga “Damanik” saya. Dan tentu saja tak ketinggalan ucapan soal warna kulit.

(Heran aku, ada masalah apa sih kelen sama kulit coklat tua?)

Saya bisa melihat bahwa mereka lancar sekali menjuluki orang lain dengan nama suku mereka. Bahkan tak sungkan-sungkan menyebut teman-teman lain yang datang dari kampung dengan “Batak-batak itu.”

(Padahal “batak-batak itu” gak pernah saya dengar komentar balik menyebut suku)

Kadang mereka sebut saya “Alamo” : Ambon lapar makan orang. Yang malah bikin saya ketawa.

Eniwei, ada aturan tidak tertulis dalam urusan rasis ini. Kalau kau orang batak, dan kau kesal sama temanmu si marga anu, lalu kau bilang, “Dasar batak!” Nah itu tidak termasuk rasis. Karena hanya suku sendiri yang boleh mengumpat suku sendiri, begitulah kira-kira.

Terakhir adalah cerita dari bekas kantor lama saya. Ada satu teman yang pada suatu hari protes keras karena merasa terganggu dengan gaya bicara saya dan teman saya Nad yang menurutnya “terlalu batak”, “terlalu Medan”.

Dia bilang, kenapa sih gak pakai bahasa Indonesia saja. Yang normal saja. Lho?

Saya bilang, apa yang salah dengan cara berbahasa kami? Di ruangan itu ada begitu banyak suku dari Indonesia ini. Ada orang Jawa, ada urang Sunda, ada orang Palembang, ada Makassar, ada Betawi, mestinya semua bisa bebas mengekspresikan kearifan lokal masing-masing.

Bagaimana mungkin ada orang sudah lama tinggal di Jakarta tapi masih rasis? Padahal kita semua tahu Jakarta ini adalah pusat berkumpulnya semua suku.

(Ya mungkin dia cuma cemburu karena Nad sangat populer sehingga sebagian besar terikut-ikut “ngomong Medan”. LOL)

Belajar dari pengalaman di atas, pelajaran yang saya dapati adalah bahwa rasisme itu bukanlah karena kebiasaan satu golongan tertentu, tapi memang berasal dari pribadi dan lingkungan orang itu sendiri. Tingginya pendidikan dan status sosial bukan jaminan.

Maka, perbanyaklah bergaul, berteman dengan banyak suku golongan, biar wawasan ini lebih terbuka. Biar tahu bagaimana namanya toleransi, dalam arti sebenarnya.

Jangan cuma ngomong bisa toleransi, jangan cuma ngomong gak rasis, tapi dalam hati sebenarnya menolak untuk membuka diri.

……

Saya mau cerita sedikit tentang anak-anak SabangMerauke.

SabangMerauke adalah kegiatan pertukaran pelajar dari seluruh Indonesia. Dua puluh anak, berkumpul di Jakarta, menginap di rumah keluarga angkat. Demi apa? Demi belajar tentang toleransi. Bukan cuma dengar dari orang, atau nonton dari televisi dan internet, tapi belajar langsung, mengalami langsung, bergaul dengan keluarga angkat, dari teman-teman segrup, dari kakak pendamping.

Satu bulan yang lalu, saya ada bersama mereka sehari penuh, sebagai relawan fotografer.

(Aahh…. Melihat keceriaan mereka yang tulus tanpa muatan apa-apa, hati ini rasanya rindu. Rindu sekali dengan masa-masa remaja dulu. Betapa masa remaja itu menyenangkan, terlepas dari rasisme yang pernah dialami.)

Satu siswi dari Sumba, yang jadi favorit saya karena begitu percaya diri, berkata begini di depan forum: “Saya senang sekali bisa ikutan SabangMerauke ini. Ini adalah pengalaman pertama saya mengunjungi mesjid. Di kampung saya di Sumba kan tidak ada orang muslim. Keinginan saya kalau pulang nanti, saya akan kumpulkan semua orang dan akan saya ceritakan bagaimana pengalaman saya selama di Jakarta, agar semuanya tahu.”

Demikian juga kata seorang siswi asal Dairi. Katanya: “Aku waktu itu minta sama orang tuaku, untuk ikutan SabangMerauke ini. Di sekolahku, di sekitar rumahku, kami orang Kristen semua. Jadi aku pun ingin tahulah, bagaimana rasanya berteman dengan teman-teman muslim. Kalau aku pulang nanti, rencanaku mau bikin pidato di depan kelas.”

Anak-anak yang lain juga berebut ingin berbagi pengalaman mereka di depan forum. Ada yang baru pertama kali masuk ke gereja, main ke vihara. Semua begitu excited dan senang karena bisa mendapatkan banyak teman dari latar budaya dan golongan yang berbeda.

Ah indah sekali. Saya tak bisa berhenti tersenyum selama acara SabangMerauke kemarin. Mereka ini, calon generasi bangsa Indonesia yang hebat. Teruslah pupuk semangat toleransi positif kalian, Adik-adik!

Seperti mottonya SabangMerauke:

Karena toleransi tidak bisa hanya diajarkan. Toleransi harus dialami dan dirasakan.

-ZD-

8 Comments

  1. I feel you mba! Sedih dan geraaam rasanya melihat headlines akhir – akhir ini, khususnya mengenai insiden Papua. Rasisme itu mematikan..karena dampaknya tidak hilang dalma 1 – 2 generasi. Dan please, kita semua adalah warga negara Indonesia yang bersaudara, terlepas dari penampilan fisik dan asal kita. Semoga kita semua lebih terbuka mata dan hatinya dengan kejadian terakhir ini..

  2. wah mbak. Karena berpindah jadi pengalamannya banyak ya mbak.

    Dan kegiatan sabangmerauke itu keren banget. Mudah2an terus berlanjut agar kita semua bisa bertoleransi dengan baik. Bukan menghilangkan ras, tapi agar lebih bisa memahami satu sama lainnya

  3. Sebuah pengalaman hidup yang kaya dengan pelajaran tentang toleransi dan orang-orang yang intolerance. Sama seperti pengalaman saya sewaktu masih di kampung dulu, dimana saat itu, saya dan teman-teman sebaya menganggap kami suku Minang adalah yang terbaik, karena kami punya adat istiadat yang tak dipunyai oleh suku lain. Namun begitu saya meninggalkan kampung dan merantau dari kota ke kota di Sumatera Barat dan Riau, lalu menyeberang ke Pulau Jawa, kebanggan itu mulai pudar, karena saya menemukan tatanan hidup baru yang jauh lebih beragam dan tak kalah baiknya, yang memperkaya jiwa dan kehidupan bermasyarakat saya, di tengah situasi dan suasana yang jauh berbeda dibanding saat saya masih tinggal di kampung.

    Terimakasih Zizi, sebuah penuturan pengalaman hidup yang hebat dari seorang sahabat yang juga hebat.

    • Zizy

      Benar sekali Pak Dian. Saat keluar dari zona nyaman kita, baru mata ini terbuka bahwa ada banyak sekali keberagaman di luar sana.
      Terima kasih Pak Dian udah mau sharing juga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *