Selama beberapa bulan terakhir ini, saya sudah jadi pelanggan tetap transportasi taxi, mau online atau konvensional. Kantor yang sekarang ada di jalur-jalur yang kena peraturan ganjil genap, jadi mau lewat depan lewat belakang, ya kena juga. Ditambah lagi Jakarta sekarang macetnya minta ampun. Bikin stress. Eniwei, ada untungnya juga pindah kantor ya, soalnya kalau naik transportasi umum jadi hapal jalur-jalur yang selama ini tidak pernah dilewati.
Nah, seminggu lalu, kantor kami rencananya pindah ke gedung baru. Sambil menunggu kepindahan itu, kita semua dapat trial sehari ngantor di sana. Gedung kantor yang baru nanti sebenarnya dekat saja dengan kantor yang lama, tapi karena gak pernah ke sana ya awam juga. Ini analoginya kayak kita yang kalau pergi ke satu mall biasanya cuma ke supermarket doang di lantai bawah, gak pernah ke atas-atas. Giliran harus ke lantai 4, bingung turunnya lewat mana, alias muter-muter dulu beberapa kali baru ketemu eskalator.
Alhasil, saat pulang kantor agak bingung saat mau pesan taxi. Pesan taxi online tarifnya gila-gilaan, telepon ke taxi burung biru, kosong. Sampai menyeberang ke kantor sebelah, gak ada juga. Ada satu jam tuh nungguin taxi lewat, sampai akhirnya ada taxi putih kosong lewat dan saya dengan cepat melambaikan tangan. Alhamdulillah, coba kalau taxi ini tidak lewat, bisa gak dapat-dapat transport saya.
Saya naik dan mengatakan tujuan ke driver. Bapak drivernya sudah tua, kurus tapi masih terlihat ligat. Saya sudah mulai hapal, kalau driver-driver lanjut usia itu lebih banyak ada di taxi putih daripada di taxi burung biru. Benar dugaan saya, bapak ini sungguh ligat mengemudi. Memang iya sedikit mengebut, tapi cukup pintar menyempil dengan cepat. Saya sempat menduga pak driver ini mungkin dulunya mantan supir metromini, meski sebenarnya beliau tidak terlalu ugal-ugalan.
Sampailah kami di fly over Tendean. Jalanan memang padat, dan taxi kami mulai berusaha menyempil ke kanan mau masuk, dengan pelan. Ternyata mobil di sebelah kanan tidak terima, langsung mengklakson dengan penuh emosi. Tetap tidak mau kasih jalan dan memaksa masuk, akhirnya spionnya bertabrakan dengan spion taxi. Tentu saja kemudian spion dia yang tertekuk ke dalam, lha wong mobilnya mobil lcgc. Dia melaju ke depan, mengklakson marah, membuka jendela, membetulkan spion, lalu mengacungkan jari tengah. Ya ampuunn…!
(Hanya masalah jalan aja sampai kayak gitu kau)
(Bodat!)
Raut si bapak terlihat tidak enak, terlihat tidak nyaman dan insecure mendapat perlakuan seperti itu. Saya kemudian bilang begini, “Biarkan aja, Pak. Namanya juga mobil jelek, kelakuan orangnya juga sama.” Ok ok, kenapa saya bilang begitu? Karena dari hasil observasi saya, mereka yang mengemudi mobil-mobil mpv dan atau sejenis lcgc jelas beda gayanya dengan yang mengemudi mobil cc besar. Mau itu pemiliknya langsung atau pun supir yang nyetir. Udah tahu dong yang elegan yang mana, yang kampungan yang mana. Makanya kalau ada mobil yang maksa-maksa gak mau kasih jalan misalnya, ya udah tahulah tipe mobilnya apa. Jadi saya sebenarnya penasaran juga, apakah kelakuan itu karena mobilnya memang settingan gasnya tinggi dan susah dibawa pelan, atau kelakuan orangnya yang memang banyak gaya serasa dia udah paling keren paling oke di bumi ini. Beuh!
Eh tak lama taxi kami mogok, pas di atas fly over. Alamak, bagaimana ini, pikir saya. Masa cari taxi di tengah jalan? Tapi pak driver ini hebat juga, dia biarkan taxinya meluncur mundur-mundur, lalu distater, dan mesin menyala! Syukurlah.
Selama jalan pulang itulah, saya mikir, ternyata tingkat toleransi pengemudi kendaraan pribadi terhadap kendaraan umum (utamanya taxi) sangat rendah. Beberapa kali saya naik taxi, mau taxi burung biru atau taxi putih, pasti gak akan bisa apa-apa kalau sudah ada kejadian di jalan. Pernah ada oknum aparat naik motor ngebut-ngebut dan senggol spion sampai patah, si oknum aparat santai aja kabur. Lalu pernah diseruduk mobil dengan pengemudi perempuan dari belakang, eh dianya yang nyolot, pakai bawa-bawa akan ngomong ke media. Kalau diklakson-klakson suruh minggir artinya harus minggir. Ya intinya para pengemudi taxi ini benar-benar harus berbesar hati, gak boleh terbawa untuk ikutan emosi, karena mereka membawa nama perusahaan taxi. Kalau ada yang mengadu, langsung kena denda. Begitu lho ya kata salah satu driver taxi yang pernah saya tumpangi.
But basically, untuk berbesar hati dan toleransi itu tidak mudah. Siapa pun itu, berapa pun usianya, apa pun jabatannya, tidak jaminan. Belajar terus, usaha terus, karena dengan bertoleransi, hati jadi lebih lapang, lebih ikhlas. Minimal ini yang saya rasakan.
Saya melirik driver taxi saya yang tua tadi. Karena jalan sudah agak kosong, beliau mulai mengebut, tapi saya lihat matanya agak kriyep-kriyep. Sudah terlihat mengantuk. Wah, bahaya ini.
“Pak, Bapak ngantuk ya? Pelan-pelan saja kalau begitu, Pak.”
(Atau saya yang supirin aja, Pak) (Kalau boleh)
Bapaknya terkesiap, lalu kembali sigap. Tapi kemudian dia mulai mengantuk lagi. Duh, kasihan. Sudah uzur tapi masih harus banting tulang sampai malam mengejar rezeki. Mengingatkan saya bahwa betapa pun keras dan susahnya yang dihadapi saat ini, masih banyak di luar sana yang berjuang lebih keras demi menghidupi keluarga.
Alhamdulillah, meski dengan semua drama tadi akhirnya sampai di rumah dengan selamat. Terima kasih Pak Tua, sudah mengantar saya dan sudah memberikan banyak ilham. Semoga selalu sehat dan semakin diluaskan rezekinya.
-ZD-
Aku suka kasian sama orang tua yang masih kerja mbak. Padahal sudah waktunya istirahat gitu. Tapi hidup tetep haru berjalan ?
Iya. Bagaimana pun harus kerja. Kalau tidak kerja, ya tidak makan, gitulah kira2.
Aku suka kasian sama orang tua yang masih kerja mbak. Padahal sudah waktunya istirahat gitu. Tapi hidup tetep haru berjalan ?
Hahaha… Perlu nih kayaknya jadi bahan riset hubungan antara jenis mobil sama kelakuan pengemudinya ??
Tapi jujur saya juga akui, kalau toleransi pengguna mobil pribadi sama mobil umum itu rendah. Tapi ada kalanya juga sebaliknya, kalau sudah berhadapan dengan sopir Kopaja, P20, Metromini ?
kasian ama drivernya 🙁 .. paling ga tega kalo dpt driver yg udh tua gini mba.
kalo ttg para pengemudi yg ga mu nglah, ngamuk kalo kesenggol dikit, duuuuh aku udh stress lgs kalo hrs hadapan ama mereka ini. pak suami slalu aku wanti2 jgn dihadapin org2 bgini. mndingan kita ksh jalan deh, drpd mobil kita sendiri baret2. walopun sesekali dia ga mau juga. mungkin itu juga yg bikin aku ga mau bawa kendaraan sendiri di jakarta hahahaha. ga kuat mba ama lika liku di jalannya :p
Hahahaa… emosi jiwa ya kan bawa kendaraan di Jakarta ini.