Waktu menunjukkan jam sepuluh pagi ketika saya sampai di Pajak Horas Siantar. Bertiga dengan Vay dan mbaknya, kami diturunkan di tepi jalan oleh supir. Berbelanja ke pasar tradisional adalah hal yang jarang sekali saya lakukan. Waktu masih di Medan, sesekali saya mengantar mami atau tante saya ke pasar. Tapi sejak mami dan papi saya pindah ke Siantar, dan kemudian saya juga pindah Jakarta, which means saya semakin tidak pernah keluar rumah untuk ke pasar karena bedinde yang selalu belanja, berarti sudah sekitar empat tahunan saya tidak menginjak pasar tradisional.
Akan tetapi, melangkahkan kaki ke dalam pasar becek terkadang saya rindukan juga. Selalu ada suasana dan kehangatan yang berbeda dari tempat dan orang-orangnya.
Saat itu hari ketiga saya di kota Siantar. Dan sudah tiga kali juga ke Pajak Horas. Tapi dalam dua kali kunjungan pertama saya tidak masuk ke dalam. Mami saya sepertinya tahu saya akan ‘geli’ dengan pasar becek saking gak biasanya, jadi mendingan dia saja yang masuk sendirian ke dalam. Saya diminta tunggu di depan gang pasar. *persis preman pasar, jaga-jaga di depan.
Tapi kali ini saya masuk ke dalam pasar. Tidak banyak yang dibeli, sih, cuma mencari tahu dan tempe saja untuk Vay. Sebelum berangkat, abang saya (sok) nakut-nakutin. Katanya, hati-hati dengan kalung, nanti dicopet. Loh, itu mami pakai emas banyak di tangan juga gpp, elak saya. Kalo mami, orang tahu. Kalo kau, mana ada yang kenal, rambut merah pula, dikira nanti orang India baru turun gunung. *Kampret!
Terus terang saya buta harga bahan-bahan pokok. Tapi saya cukup pede untuk sok tahu hahahaa…. jadi saat penjual menyebut harga, saya pura-pura mengernyitkan kening. Tapi itu semua buyar ketika terdengar teriakan yang mengagetkan semua orang di situ.
“MAMI…! Ayam, mami.. Liatt..! Ayam…!†Alamakkk…. si Vay inilah. Langsung jatuh wibawa kakak sebagai preman :p. Vay yang memang jarang lihat ayam hidup kehebohan melihat ayam-ayam kampung di dalam kandang. Sontak semua penjual yang tadinya lagi bercakap-cakap menghentikan kegiatan bergosip mereka dan mengamati anak kecil yang tak pernah melihat ayam itu. Setelah itu mereka ganti mengamati saya, dengan tatapan, Oooh kakak ini bukan orang Siantar….! Huh. Dasar si Vay, aturan maminya mo nyamar jadi preman setempat, mo nawar harga dengan kejam, ketahuanlah sudah.
“Anak kamu cantik, ya.†Puji si Acek. Saya tersenyum. Si Acek langsung kesempatan menawarkan kue-kue basah jualannya. Saya pun beli beberapa potong.
Keluar dari pasar basah, di depan emperan jalan adalah deretan inang-inang penjual sayuran. Mereka ini yang tidak punya lapak di dalam jadi cukup gelar karung saja di depan toko setiap pagi. Saya pribadi lebih suka belanja pada mereka yang tak punya lapak, iba soalnya melihat ibu-ibu itu berpanas-panasan di pinggir jalan.
Saya berhenti di sebuah lapak sayuran dan pisang. Si Inang sedang menggeser badannya hendak tiduran beralaskan kain lusuh yang dilipat.
“Bu….†panggil saya. Si Inang langsung bangkit lagi. “Berapa ini pisang kepoknya?â€
“Mau yang mana, Nang?†tanyanya.
“Yang bisa langsung digoreng.â€
“Yang inilah..†dia menyodorkan sesisir pisang yang sudah kuning semua. Saya menolaknya.
“Yang ini saja. Berapa, Bu?†Saya menuding sesisir pisang setengah kuning.
Dia melihat pisang yang saya tunjuk, berpikir satu dua detik, lalu menjawab : “Sepuluh sajalah…†dengan tatapan berharap agar tidak ditawar.
“Ya sud, satu ini aja Bu.†Saya juga tidak mau menawar. Gak tega.
Lalu si Inang mengikat pisang tadi. “Cantik kalilah anakmu…†katanya sambil melihat Vay.
“Vay, sini. Kasih tahu dulu sama Inang ini, Vaya boru apa?â€
“Boru apa kau Nang?†tanya si Inang.
“Bowu Paldede….!†jawab Vay tegas.
“Haaahh! Boru Pardede?†Si Inang separuh menjerit sampai badannya terjengkang ke belakang. Saya tersenyum melihatnya. “Haduh haduh haduhh…Kok cantik kali kau, Nang. Ini… aku Simangunsong. Apaku, boumu ini… †begitulah katanya, saya tak begitu mengerti karena si Inang bicara campur-campur pake bahasa batak.
“Kalau kau boru apa, Nang?†tanyanya ke saya.
“Damanik.†Jawab saya. Seorang perempuan muda datang ke belakang Inang tadi dan menyahut. “Tapi kalian macam orang India ya, Kak.†Saya senyum saja.
Si Vaya gak mau kalah, menjawab. “Owang Batak!†Dan tawa si Inang itu pun berderai.
“Orang batak? Gak ada mukamu kek orang batak, Nang.†Kata si Inang itu lagi. Ah, betapa obrolan singkat yang hangat ini sangat langka saya temui. Setelah membayar, kami pun berlalu dari situ, sambil si Vay mendadah-dadah si Inang dengan riang.
Saya menyetop becak motor dan kami bertiga naik, pulang ke rumah.
Inilah salah satu tempat favorit saya kalau mudik ke Siantar. Ke Pajak Horas. Jadi kalau berkunjung ke kota Siantar jangan cuma cari kulinernya saja lho, tapi sempatkan juga singgah ke Pajak Horasnya. Main ke Pajak Horas hampir sama dengan melakukan kegiatan siraman rohani.
Seperti biasa. Tak lupa saya suguhkan foto Danau Toba tercinta :). Ini diambil dari kota wisata Parapat, yang merupakan bagian dari Kabupaten Simalungun.
Liburan saya singkat saja, hanya empat hari. Tapi cukuplah, bisa mengobati kerinduan saya pada papi-mami saya di Siantar. Saya di Medan hanya setengah hari saja, ketemu beberapa teman dekat hehe…. jelaslah masih belum puas, tapi apa boleh buat. Waktu terbatas. Yah, tak apalah. Masih bisa di waktu lain yang lebih panjang.
See you next holiday, Siantar….!
wah siantar sekarang banyak premannya kak,,,,
mesti hati-hati,,,hehehe
hehehehe… lucu juga ceritamu itu si..
aku ke siantar cm ke roti ganda aja bu.. nggak prnh ke pajak horas…:D
slm ya buat Vay dari nantulangnya. hihihihi…. *pardede satu marga juga dng marpaung (marga suamiku)*.
eh.. salah bu. si Vay manggil tua trnyta krn pardede di marga paling kecil. smg nggak salah lg gw…:D
hehee… g acilah salah deb… hehee… makasih ya..
ampoon, liat foto danau Toba jadi kangen pulkam T_T
cantik kali borumu kak ^^
Aku juga kalau lagi di Medan pasti menyempatkan diri jalan2 di pajak Periggan. Kalau ke Siantar cuma buat keliling naik becak 🙂