Ceritanya saya baru saja kembali dari Siantar kemarin. Kunjungan mudik kali ini dalam rangka mengunjungi papi mami saya, dan juga untuk merayakan ulang tahun Papi, opungnya Vay. Sendiri saja, Vay tidak ikut karena lagi musim test.
(Sampai saya sendiri heran, kok sekian lama baru sadar kalau sepertinya tiada minggu tanpa test di sekolah Vay)
Satu hal yang saya suka kalau sudah sampai di Pematang Siantar adalah cuacanya yang sangat bertolak belakang dengan kota Jakarta. Kalau selama di Jakarta, gerahnya udara sungguh luar biasa sampai kipas dan pendingin udara harus bergantian menyala, maka sebaliknya berlaku di Siantar. Sepanjang hari cuacanya sejuk, sampai-sampai ketika kipas dinyalakan, saya sempat mengira kalau yang menyala itu pendingin udara.
Air keran pun rasanya dingin seperti air es, jadi kalau mau mandi ya harus pelan-pelan jangan main siram aja ke badan, pastinya kaget. Saya akhirnya harus masak air panas untuk mandi karena water heater di kamar sudah rusak dan sungguh tak tahan dengan air dingnnya. Tengah malam ketika terbangun dan harus ke toilet, begitu kaki menginjak lantai, luaaaar biasa dinginnya. Dan kemudian menyesal ya kan, karena lupa membawa kaos kaki.
Lalu hal lain yang paling saya rindukan kalau sudah main ke Siantar adalah kenikmatan kopinya. Yang sudah-sudah, setiap kali kami memasuki kota Siantar di pagi hari, kami pasti akan mampir ke salah satu kedai kopi turun temurun di kota Siantar, untuk menikmati 1-2 cangkir kopi hitam ditambah roti bakar isi selai. Namun kemarin itu saya tidak mampir ke kedai kopi karena sudah agak siang, kemudian mami dan tante sudah kelihatan lelah karena sempat macet di perjalanan. Maklumlah, namanya juga sudah oma-oma, jadi perjalanan tiga jam dengan mobil bisa sangat melelahkan.
Suasana asri menyambut ketika pagar dibuka. Well, meski tak banyak tanaman di Rumah Siantar, tapi keasrian masih tetap terlihat. Rumah Siantar memang beda dibanding Rumah Medan. Di Siantar, lahan untuk bertanam sangat sedikit karena Opungnya Vay memang menutup halaman depan dengan beton agar bisa menerima banyak tamu. Jadi kalau lagi ramai, cukup untuk ngopi sore di teras yang luas. Lahan tanam lainnya ada di sisi kiri rumah di bagian dalam, tempat pohon kelengkeng tumbuh subur.
Baca juga: Ini Cara Ngopi Yang Benar agar Dapat Manfaatnya
Sisa lahan yang sedikit di depan itu dimanfaatkan Omanya Vay untuk menanam tanaman rambat. Dan tanaman rambat itu sudah tumbuh hingga menjuntai ke tembok depan, sehingga rumah terlihat asri dan hijau baik saat dipandang dari luar ataupun saat kita duduk di teras.
Nah, di teras itulah tempat saya menikmati kopi hitam Siantar saya. Sambil ditemani suara becak motor Siantar beberapa kali lewat di depan rumah.
(Kalau di Jakarta, suka ada suara moge tetangga sesekali lewat saat tengah malam)
(Nah kalau di Siantar, tiap hari ada suara moge… dari becak. Mantap ya kan?)
Nikmatnya Kopi Siantar
Karena tidak mampir ke kede kopi, begitu tiba di Rumah Siantar, saya langsung ke dapur, membuka lemari mencari kopi. Biasanya abang saya suka menyimpan kopinya di situ. Eh ada nih sebungkus kopi bubuk di lemari, yang lalu saya cium untuk memastikan itu kopi lama atau kopi baru.
“Masih baru itu, Buk. Baru dibeli Bapak Si Kembar kemarin.” Bibik tua penjaga rumah menjawab. Yang dia maksud dengan “Bapak Si Kembar” adalah abang saya, tulangnya Vay.
Oh, baiklah.
Jadi ceritanya si bibik ini memang hobinya nimbrung dan suka ngobrol. Kalau kita ngomong 1 kalimat, pasti bibik menjwabnya 2 sampai 3 kalimat. Kadang kalau kita lagi diskusi sendiri, eh doi pas lewat langsung berhenti, kayak pasang telinga untuk nimbrung. Hahah..
Tapi saya maklumlah, mungkin butuh teman ngobrol. Gpplah. Siapa tahu nanti pas saya tua pun kayak gitu.
Ok lanjut ya ceritanya soal kopi Siantar.
Saya adalah pecinta kopi hitam yang kental, pekat, dan pahit. Dan rasa kopi Siantar itu sangat khas, sampai bisa dibilang bisa bikin ketagihan. Ada pahitnya, ada asemnya tapi juga ada manis-manisnya sedikit. Itu sebabnya saya selalu bilang sama teman-teman yang mau berkunjung ke Medan lalu ingin jalan ke Danau Toba, jangan lupa untuk mampir ke Pematang Siantar. Coba nikmati kopinya. Kopi susu, kopi hitam manis, atau mau yang pahit, rasanya nikmat!
Siantar punya banyak kedai kopi (selain juga warung mie). Namun ada dua kedai kopi terkenal yang sudah ada a long long time ago. Kedai Kopi Kok Tong dan Kedai Sedap. Mampirlah pokoknya kalau memang melewati Siantar. Kalo gak mampir, namanya belum ke Siantar. Tapi bila tak sempat juga mampir, bisa juga membuat kopi hitam sendiri di rumah (atau di penginapan), dengan membeli di toko kopi di Pajak Horas. Jangan ragu untuk bertanya, di mana kede yang menjual kopi kiloan yang enak buat kopi tubruk. Semua orang Siantar pasti tahu.
Tinggal naik becak motor, sampai langsung di depan tokonya.
Nah, untuk selalu dapat menikmati kopi hitam favorit, saya selalu membawa perlengkapan memasak kopi sendiri. Seperti pernah saya bahas di postingan lama saya di sini, saya suka membuat kopi hitam dengan Moka Pot karena jauh lebih praktis. Awalnya saat saya mencari tahu tentang Moka Pot, saya sudah aware bahwa Moka Pot memang untuk membuat kopi ala espresso, jadi tentu hasil kopi bukan segelas seperti kalau kita minum americano. Namun karena saya suka yang sangat pekat, akhirnya saya beli Moka Pot yang lebih besar lagi, yang untuk 3-4 cups espresso, which is kalau di-convert ke ukuran gelas, sama dengan satu mug coffee.
Jadi cara saya memasak kopi di Moka Pot sudah sesuai dengan selera saya, seperti takaran kopinya dan airnya.
Lalu selain Moka Pot, saya juga suka bawa French Press. Karena french press menurut saya lebih cocok untuk membuat kopi tubruk yang pekat tanpa ampas. Nah, ini yang saya bawa ketika ke Siantar kemarin. Gak repot sih, tinggal dimasukin lagi ke kotaknya (iya, saya memang masih simpan kotaknya), lalu dimasukkan ke koper kabin.
Pada dasarnya, seorang pecinta kopi memang harus punya alat seduh kopi di rumah. Untuk peralatan memasak kopi, saya biasa membelinya di Otten Coffee. Beberapa orang mungkin pernah menyampaikan concern harga alat masak kopi yang mahal, tapi sebenarnya ada banyak alat seduh kopi dengan variasi harga di Otten Coffee. Basically, saya percaya bahwa harga berbanding lurus dengan kualitas. Awetnya lama.
Langsung saja klik banner di bawah untuk mencari alat seduh kopi yang cocok buat masak kopi di rumah.
Hari kedua di Siantar, bibik penjaga Rumah Siantar bilang begini, “Buk. Ibuk minum kopi, kopi pait Buk?”
Dan saya jawab, “Iya, Bik.”
“Gak pait itu, Buk?”
“Bik, harus sering-sering kita minum kopi pait. Biar terbiasa menghadapi pahitnya hidup ini.”
Dan si bibik terkekeh.
Gimana? Setuju kan? 🙂
-ZD-
Aku bukan penikmat kopi mbak. tapi di Pontianak juga ada beberapa kopi yang khas. Dulu waktu kecil setiap ada acara di rumah, selalu disediakan kopi susu jadi lumayan sering minumnya. Tapi kalau diajak aku masih bisa bisa aja seh minum kopi 😀
aku setuju ama kopi siantar yg memang enaaaaak! aku kalo mudik ke sibolga, pasti lewatin siantar mba, apalagi di sana ada adeknya papa dan sepupuku. trakhir ksana thn lalu aku dikasih kopi siantar bubuk. dan memang enaaaaak ituuuu, ya ampuuun jd pgn pesen lagi :D. tp aku blm bisa minum yg tanpa gula :p. hrs pake susu hahahah
Iyaaa… Hehee..
Memang cocoknya pakai susu kental manis…. Lebih nikmat.
Aku pasangannya pakai roti bakar coklat, jadi dapat manisnya dari rotinya.
wah pekat banget, pengen icip dikit dong 😀
Vaya pasti sudah besar bgt ya.. anak2 SD sibuk Penilaian Harian nampaknya Mba Zee…
wah wah terasnya hijau asri bgt, jadi pengen nyobain kopi pahit deh…eh
Hehehe apa kabar Mbak?
Sekarang lagi masa2 test memang nih, tiap hari harus belajar…
Ayo Mbak harus coba kopi pahit…
sebagai salah satu penikmat kopi, rasanya wajib coba kopi yang satu ini 😀