Beberapa hari lalu habis ngobrol sama teman-teman lama saat di telco. Kita ngobrol di Clubhouse, aplikasi media sosial berbasis audio. Seru betul obrolannya, rasanya gak habis-habis obrolan itu. Baru saya sadar, ada dua orang dari mereka di room kemarin yang sudah hampir tiga tahun belum ketemuan lagi, tapi tetap bisa asyik ngobrol.
Ada sebuah topik yang kemarin sempat kita bahas, eh sebenarnya sih awalnya bukan topik. Berawal cerita tentang seorang teman lain (sebut saja A) yang menjual tas dan dompet branded tapi belakangan teman-teman curiga kalau itu adalah second grade karena ada yang baru dipakai sebulan kok sudah cobel-cobel. Tapi kemudian dari situ berlanjutlah tentang kebiasaan si A yang suka mengirim teman-temannya makanan atau sesuatu tapi sepertinya tidak selalu tulus.
Contoh, saat dia mau mengirim paket makanan ke teman kami di Tangerang (sebut saja B). Saat itu teman kami B sudah bilang kalau rumahnya jauh, kirim makanan nanti repot. Tapi si A memaksa. Alhasil ya tahulah ongkos kirim makanan pakai ojol kan mahal ya kalau dari Jakarta ke Tangerang. Berikutnya, si A katanya mau mengirim makanan lagi, tapi lalu dia bilang ke B, agar dia saja yang pesanin ojol untuk jemput makanan itu. “Lho, ya untuk apa? Kan yang mau ngirim makanan dia, aku gak minta,” begitu kata B. Ya dibatalkan saja kalau begitu. Beli sendiri juga bisa, karena itu bukan makanan khusus yang susah ditemukan.
Contoh lagi, mengenai barang jualannya yang sempat dikomplen sobek-sobek sama teman kami C. Entah karena tidak enak atau bagaimana, akhirnya A mengirimkan sebuah tas yang dikatakannya sebagai pengganti untuk C, padahal C tidak pernah minta diganti (cuma jadi pembelajaran dia saja agar di kemudian hari lebih hati-hati beli barang branded online). Lalu permintaan A, nanti review ya di Instagram. C akhirnya memang melakukan review, mengulas yang umum saja seperti harga lebih murah, tanpa mengomentari itu barang asli atau tidak. Eh iya, kata C, di dalam bungkusan itu, struk harga tas juga disertakan, sekian jeti. “Mungkin maksudnya dia biar aku tahu kalau ini beneran asli dibeli dari butiknya di Hongkong.”
Si A juga beberapa kali mengirimi saya makanan which is buat saya itu tidak perlu. Untuk apa mengirimkan makanan kalau tidak ada occasion apa-apa, seperti acara ulang tahun, atau selamatan. Soalnya saya kenal betul teman saya A ini, setiap saat dia makan entah di mana saja atau dia diberikan sesuatu maka dia akan posting di media sosial, dan dia akan dengan senang hati kalau ada yang memposting pemberiannya di media sosial. Dan itu jelas, buat saya artinya tidak tulus. Dia memang suka membeli “persahabatan” dengan materi, ini sejak jaman dulu kita semua tahu. Mulai dari membelikan makan siang atau kopi buat bos setiap hari, sampai membawa makanan untuk grup sekantor (karena waktu dia baru masuk dia tidak langsung disukai).
Saya bilanglah sama dia, jangan kirim-kirim makanan atau jajanan ke saya. Soalnya saya gak mau ada hutang harus posting hahaa…
Wong yang dia kirim itu bisa aku beli sendiri kok. Kecuali itu makanan jualan dia jadi biar teman-temannya nyicipin, ya okelah. Saya pernah mau mengirimkan dia biji kopi lho, tapi dia menolak ngasih alamat. Lho, kok gitu ya? Saya menangkap kesan kalau dia gengsi dikirimin, gengsi menerima, jadi seolah-olah dia tidak pantas menerima. Lalu kita pantas gitu?
Saya pernah bilang ke B (teman yang di Tangerang tadi), saya gak perlu dikirimi makanan supaya bisa menerima seseorang jadi teman. Sesekali mengirim ke teman dekat karena suatu occasion sih masih wajar menurut saya, ya kayak dulu orang tua kita suka saling mengirimkan masakan atau kue hasil bikinan sendiri ke tetangga atau saudara, namun saya bukan khusus beli martabak atau parsel dikirim ke orang yang dirasa pasti akan posting di medsos. Ya maksudku, kita bisa tahulah kapan orang tulus kapan tidak.
Saya gak mau lho punya hutang budi, apalagi kalau yang memberi meminta sesuatu sebagai balasan, ya seperti (secara tidak tertulis) berharap agar diposting dan mention dia lalu dia akan repost. Jelas itu tidak akan terjadi di saya kalau ketemu orang yang modelnya “minta”.
Soalnya manusia itu kalau sudah kebiasaan menerima lama-lama jadi kebiasaan dan berharap. Dan manusia juga punya sifat untuk pamer, bilang kemana-mana kalau dia sering memberi temannya ini, itu, dll. Jangan sampai ada di kedua posisi itu.
“Aku lho, gak pernah tuh lupa, tiap tahun pasti aku kirimin dia makanan untuk berbuka puasa.”
Contoh lho yaaa… contoh….