Ada yang bilang, satu foto bisa lebih lantang daripada seribu kata. Tapi di dunia fotografi human interest, satu foto bisa bikin kita terdiam cukup lama. Kenapa? Karena ada kekuatan emosi dalam sebuah potret seperti tatapan mata, gerakan tangan, garis kerutan di wajah. Semua bicara, tanpa perlu suara.
Sebagai seseorang yang suka jalan sambil bawa kamera (kadang hape saja cukup), saya percaya teknik foto human interest bukan sekadar soal teknis, tapi soal rasa. Yuk kita bahas sama-sama, gimana sih caranya memotret human interest dengan etika, empati, dan tentu, hasil yang menyentuh hati.
Apa Itu Human Interest Photography?
Fotografi human interest adalah genre yang fokus menangkap momen manusia—baik dalam keseharian, emosi, atau situasi sosial. Bukan hanya soal wajah orang yang difoto, tapi cerita yang disampaikan melalui ekspresi, suasana, dan interaksi.
Bayangkan ibu penjual kue di pasar yang senyum sambil menata dagangan, atau seorang anak kecil yang menatap tajam ke kamera dari balik jendela rumahnya. Foto-foto seperti ini mengandung makna yang dalam, dan sering kali menyentuh.
Berbeda dengan street photography yang biasanya lebih spontan dan acak, human interest photography lebih terarah, dan fokus pada manusia sebagai subjek utama. Genre ini kuat di sisi narasi visual.
Kalau kalian penasaran contoh-contohnya, coba lihat artikel sebelumnya tentang fotografi human interest, di situ saya cerita berbagi tentang foto-foto yang bikin hati saya hangat setiap melihatnya.
Cara Membangun Koneksi dengan Subjek
Salah satu tantangan saat memotret human interest dengan etika adalah membangun koneksi yang tulus dengan subjek. Karena kita bukan cuma datang, jepret, lalu pergi. Kita membawa tanggung jawab untuk menggambarkan seseorang dengan hormat dan empati.
Saya pernah memotret seorang bapak tua penjual mainan di pinggir jalan. Awalnya saya hanya lewat, tapi setelah menyapa, ngobrol sedikit soal cuaca dan mainan zaman dulu, baru saya minta izin untuk memotret. Hasilnya? Jauh lebih dalam dari sekadar foto “candid”.
Seperti juga foto berikut ini, saya minta izin sama bapak yang sedang membaca koran di atas becaknya, lokasi di Jogja. Beliau memang lagi santai, dan tidak keberatan sama sekali.

Beberapa hal yang bisa kalian lakukan:
- Senyum dan sapa lebih dulu. Jangan langsung angkat kamera.
- Jelaskan niat kalian. Misalnya, ingin memotret sebagai bagian dari proyek pribadi atau hobi.
- Tunggu momen. Kadang, koneksi itu muncul setelah lima menit ngobrol ringan.
- Bersikap netral dan tidak menghakimi. Terutama saat memotret komunitas marjinal.
Koneksi yang terbangun akan terasa dalam hasil akhir. Foto-foto yang berhasil biasanya punya energi yang hangat, dan terasa ‘klik’ saat dilihat kembali.
Teknik Foto Human Interest: Komposisi & Cara Tangkap Emosi
Mendapatkan foto human interest terbaik bukan cuma soal kamera mahal, tapi bagaimana kita menangkap rasa dalam satu frame. Berikut ini 5 teknik foto human interest favorit saya yang bisa kalian coba:
1. Fokus di Mata untuk Hubungan Emosional
Tatapan mata adalah jantung dari konsep foto human interest. Ketika mata subjek terlihat jelas dan tajam, kita sebagai penonton bisa langsung merasa terhubung. Gunakan aperture lebar (f/2.8 atau lebih) untuk efek bokeh di latar belakang, agar perhatian hanya tertuju pada ekspresi wajah. Tips dari saya: ambil beberapa frame agar bisa memilih sorotan mata paling kuat.
2. Cari Cahaya yang Lembut & Natural
Golden hour—pagi hari atau sore menjelang malam—selalu jadi waktu terbaik. Cahaya yang jatuh lembut ke wajah subjek memberikan kesan hangat dan intim. Kalau saya di dalam ruangan, saya suka memanfaatkan jendela sebagai sumber cahaya utama. Jangan ragu pindah-pindah posisi sampai kalian menemukan angle cahaya terbaik.
3. Perhatikan Latar & Elemen Pendukung
Latar yang mendukung bisa memperkuat narasi foto. Misalnya saat memotret tukang becak, masukkan juga becaknya, jalanan, dan suasana sekitarnya. Tapi jangan sampai latar bikin distraksi. Gunakan depth of field untuk memisahkan subjek dari background kalau perlu.
4. Tangkap Momen Saat Mereka Tak Menyadari
Kadang momen paling jujur datang saat subjek sedang tidak sadar difoto. Senyum kecil, tangan yang sibuk bekerja, atau bahkan saat mereka diam termenung—semua itu bagian dari foto jurnalistik human interest yang kuat. Gunakan burst mode dan sabar menunggu timing yang tepat.
5. Eksplorasi Angle & Jarak yang Bervariasi
Jangan puas hanya dengan foto eye level. Coba ambil dari sudut rendah untuk memberi kesan kuat, atau dari samping untuk nuansa candid. Saya juga suka bermain jarak: dari jauh untuk menunjukkan konteks, dan dari dekat untuk menangkap ekspresi. Perubahan angle ini bikin cerita visual jadi lebih dinamis dan emosional.
Etika yang Wajib Dipegang Saat Memotret
1. Selalu Minta Izin Secara Sopan
Etika dasar dalam memotret manusia adalah meminta izin. Bahkan saat memotret di tempat umum, jika subjek terlihat jelas dan menjadi fokus utama, saya akan mendekat, tersenyum, dan meminta izin dengan nada santai. Ini bukan hanya soal izin, tapi juga menghargai keberadaan mereka.
2. Jangan Mengambil Foto dalam Kondisi Rentan
Saya pribadi menghindari memotret seseorang saat mereka sedang kesulitan—misalnya menangis, jatuh, atau dalam situasi memalukan. Kecuali memang kalian jurnalis yang memiliki mandat untuk itu, lebih baik utamakan rasa empati. Foto yang berempati lebih bermakna daripada yang dramatis tapi merendahkan.
3. Tidak Mengatur Pose Palsu
Biarkan subjek tetap menjadi dirinya sendiri. Jangan meminta ibu penjual sayur untuk berlagak sedang tertawa, hanya demi mendapatkan kesan bahagia. Foto yang baik adalah yang jujur. Saya percaya keaslian itu jauh lebih kuat dari dramatisasi.
4. Jangan Mengambil Keuntungan Tanpa Memberi Balik
Kalau saya memotret seseorang dan hasilnya bagus, saya akan berusaha mengirimkan file-nya—kadang saya cetak dan kembali seminggu kemudian. Kebaikan kecil ini membuat mereka merasa dihargai, bukan sekadar objek.
5. Hormati Pilihan Mereka untuk Tidak Difoto
Beberapa orang mungkin menolak untuk difoto, dan itu harus dihormati sepenuhnya. Saya pernah ditolak beberapa kali, dan saya anggap itu bagian dari perjalanan. Jangan ngotot, karena satu penolakan bukan akhir dari cerita.
Kesimpulan: Foto yang Menyentuh Butuh Rasa
Kalau saya boleh simpulkan, teknik foto human interest yang berhasil selalu punya satu benang merah: rasa. Entah itu rasa empati, kehangatan, atau kesedihan, semua bisa hadir dalam satu frame yang sunyi tapi berbicara banyak.
Maka dari itu, memahami konsep foto human interest dan menjalankannya dengan niat baik jauh lebih penting daripada sekadar mencari gambar yang viral. Kita bukan sekadar fotografer, tapi pencerita lewat visual.Apakah kalian siap untuk mulai mencari foto human interest terbaik versi kalian sendiri? Yuk bawa kamera (atau cukup smartphone) dan mulai dengan niat menghargai setiap kisah manusia yang kita temui.