coffee

Tentang Voice Note & Opal Coffee

Waktu ke Medan bulan lalu, saya ketemuan sama sahabat lama saya, Dek Utie. Sebagai orang yang sudah lama terbiasa menggunakan text message, saya kali ini ingin mengikuti gaya Utie kalau mengirim pesan. Dia itu hampir selalu say hello ke saya pakai Voice Note! Dan ternyata, di luar dugaan, pesan-pesan yang dia kirim dengan VN itu, membuat hati lebih warm. Saya gak bisa menahan diri untuk tersenyum saat mendengarnya. Kenangan when we were young, jaman belum jadi omak-omak, terlintas, di mana kami adalah generasi yang melewati semua teknologi, ponsel super tebal, ponsel Nokia, dan tentu saja voice note!

opal coffee medan

Isi voice note pastilah gak jelas-jelas, gak ada jaim-jaimnya. Tapi menghibur sekali kalau didengar berulang-ulang.

Kami akhirnya memutuskan untuk ketemu di hari Jumat malam. Di Opal Coffee di Jl. T. Amir Hamzah. Butuh sedikit waktu untuk mengorek sudut-sudut memori di kepala, ini tuh di mana ya, karena jalan itu sudah mengalami perubahan lumayan besar. Setelah sampai di situ dan memutar dua kali, baru saya ingat jalan ini biasa saya lewati juga dulu jaman-jaman kuliah, karena ada teman yang rumahnya dekat Helvet.

Saya tiba lebih dulu, dan memilih duduk di suatu sudut dekat dinding kaca menghadap kolam ikan. Mata langsung jelalatan, mengamati jenis tanaman dan pengaturan tamannya, mencari apa yang bisa diadaptasi nanti di rumah.

Saya gak tahu sebenarnya apa yang enak di Opal Coffee ini. Sebenarnya ingin nongkrong di Kok Tong yang sebarisan juga, tapi parkiran penuh. Padahal itu sudah jam 8 malam. Memang benar kata Utie, karena Medan makin macet, lebih aman main malam, jadi sekarang orang-orang janji keluarnya malam (seperti kami dulu pada masanya.. :p).

Kami pesan Americano dan seporsi pizza tipis kering. Saya bilang ke Utie yang khawatir kalau nanti terlalu kenyang karena order pizza, itu pizzanya cuma kelihatan aja besar, tapi sebenarnya setipis tisu. Untuk kami berdua yang tidak pernah jaim (mana ada cewek Medan jaim) urusan makan, mau makan sebanyak apa pun bodo amat. Saya gak pernah peduli apa komentar orang. Bukan kalian yang bayar semua tagihan saya, tutup mulut.

Pertemuan dengan teman lama itu beda. Saat saya ngobrol dengan Ut, saya merasa menjadi diri saya kembali. Menurut saya ini adalah perasaan yang akan dialami oleh para ibu yang biasa sehari-hari mengurus anak dan keluarga, pekerjaan, dll, dan ketika ketemu dengan sahabat yang benar-benar mengenal kita, kita bisa melepaskan dulu “tanggung jawab” yang tadi melekat di pundak. Saat bersama sahabat, saya hanya menjadi diri saya sendiri, bukan maminya Vay, bukan buk bos di kantor, bukan ibu-ibu antar anak.

Setuju kalau saya bilang itulah healing yang sesungguhnya?

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *