Mengakui bahwa perubahan hidup yang harus dijalani akibat pandemi global adalah satu hal. Dan kita pun harus mengakui bahwa pembatasan gerak yang kita alami ini bisa dikatakan cukup sulit bagi para gadis pra-remaja (saya percaya karena saya punya satu tween di rumah).
Maka, tak heran bila kemudian mulai mempertimbangkan apakah sekarang saatnya memperkenalkan Instagram, Snapchat, dan Titkok, pada anak gadis pra-remaja Anda sebagai salah satu solusi media yang dibutuhkan anak agar bisa tetap terhubung dan juga mendapat dukungan dari teman-temannya. Buat para tween dan remaja, mengenal dan menggunakan media sosial adalah hal yang lumrah dan wajar, namun bagi orangtua ini adalah sebuah keputusan yang harus dipertimbangkan baik-baik. Perlu diingat bahwa di luar sana juga banyak gadis remaja yang rentan dengan efek negatif dari media sosial, dan bila kita memiliki keraguan apakah anak kita termasuk di dalamnya, maka sebaiknya kita menunggu.
Baca juga: Belajar di Rumah dengan Aplikasi e-Learning
Tapi, pertanyaan sebenarnya adalah, bagaimana orangtua bisa tahu? Apa yang membuat seorang anak mampu melewati gelombang besar dan kecil media sosial dengan sedikit saja dampak negatif, sementara ada anak lain justru merasa tidak nyaman, ada kecemasan, dan mungkin lebih buruk. Saya membaca beberapa sumber yang mengatakan bahwa hasil penelitian menemukan hubungan antara media sosial dengan masalah kesehatan mental terutama pada anak-anak usia 10-14 tahun. Namun beberapa laporan lain juga mengatakan bahwa para remaja melaporkan mendapatkan banyak pengalaman positif dengan media sosial ketimbang negatif, dan media sosial justru memperkuat hubungan mereka dengan teman-teman.
Report Q-3 tahun 2020 dari GlobalWebIndex juga mencatat bahwa hanya sekitar 14% saja pengguna yang merasa bahwa waktu yang mereka habiskan untuk media sosial harus jadi concern, dan sebagian besar responden justru tidak merasa ada keterkaitan antara kesehatan mental dengan media sosial, sebaliknya menganggap bahwa media sosial adalah bagian dari support system selama beberapa bulan terakhir ini, dan juga jadi satu dari sedikit sarana berkomunikasi sambil tetap menjaga social distancing.
Lalu? Yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk membantu mengambil keputusan apakah media sosial adalah pilihan yang tepat buat anak gadis kita adalah dengan cara mencari tahu kondisi perasaannya saat ini.
Panduan mencari tahu kesiapan anak mengenal media sosial
Berikut ini adalah panduan yang bisa digunakan untuk para orang tua, mencari tahu tanda-tanda potensial tentang kondisi emosional anak, apakah rentan ataukah tidak. Jika orangtua merasa bisa mendapatkan manfaat positif dari penggunaan platform media sosial, maka tak masalah untuk dimanfaatkan. Namun bila ketika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di bawah ini ternyata tak sesuai dengan yang diharapkan, tak ada salahnya untuk menunggu sampai saat yang tepat, lalu dampingi anak dengan penuh perhatian dan berhati-hati bila memang dia sudah sangat ingin mengenal media sosial media seperti teman-temannya.
Apakah putri kita sering membandingkan dirinya dengan orang lain?
Bila anak gadis kita banyak bercerita tentang penampilan teman-temannya, si A pakai apa, punya barang-barang bagus apa saja, dan merasa lebih dari cukup terobsesi untuk bisa seperti temannya, ya mungkin dia belum siap untuk social media. Setiap hari ada terlalu banyak “kesempurnaan” di Instagram. Instagram adalah tentang apa yang kau ingin orang lain lihat tentang dirimu.
Pernahkah putri kita mengalami perundungan atau dibully temannya?
Kehidupan online pada dasarnya adalah perpanjangan dari kehidupan nyata, sama halnya orangtua yang punya teman di kantor maka biasanya teman onlinenya juga berasal dari cyrcle yang sama. Bila putri kita pernah dibully di sekolah, maka ada kemungkinan berlanjut di social media entah komentar di Snapchat atau juga via DM Instagram.
Apa putri kita punya kesulitan dalam menjalin pertemanan?
Anak bisa mengalami kesulitan saat beradaptasi dengan karakter yang tak cocok dengannya. Bila anak sering mengalami drama pertemanan secara terus-menerus, maka social media belum cocok buatnya, karena kebiasaan offline itu pun akan mengikutinya di online.
Pernah gak putri kita didiagnosis dengan gangguan kesehatan mental?
Banyak anak yang punya kecemasan dan juga stress (depresi) mencari support secara online melalui social media, namun untuk anak-anak yang sudah pernah terdiagnosis maka resiko mendapatkan pengalaman negatif di social media lebih besar.
Bila.
Bila ada salah satu dari pertanyaan di atas mendapatkan jawaban YA, maka mungkin saatnya orangtua menunggu sampai waktu yang tepat, memperkenalkan social media dengan perlahan dan super hati-hati pada anak gadisnya.
Tips mengenalkan social media ke anak
Berikut beberapa tips cara mengenalkan media sosial ke putri remaja kita. Seperti kata saya di atas tadi, kenalkan dengan perlahan dan hati-hati.
Tidak terburu-buru mengenalkan hanya karena orangtua sudah punya.
Sebelum pandemi, mungkin lebih mudah karena anak bisa dialihkan perhatiannya pada banyak hal secara langsung, tapi saat ini memaintain hubungan social cukup penting, dan platform social media adalah salah satu solusinya. Coba kenalkan anak pada media komunikasi yang lebih rileks, yang tidak ada parameter like-nya, ya contohnya mengenalkannya pada Google Hangout, Zoom untuk melakukan video conference dengan teman-teman dekat dan keluarga. Social media seperti TikTok atau Instagram bisa dikenalkan perlahan-lahan sambil melihat reaksinya. Dan… kalau memungkinkan, carilah pengganti untuk social media, misalnya games lain yang less competition secara real, hindari membuat anak merasa ketinggalan jauh.
Menggunakannya bersama-sama.
Bila orangtua setuju untuk memperkenalkan Instagram, TikTok dan Snapchat ke anak, cobalah install terlebih dahulu di ponsel dan ajak putri kita mengexplore dari ponsel kita dan kita ada di sebelahnya.
Sejak awal saya sudah melakukan ini bersama my tween, mengajaknya berdiskusi dan mencari tahu pendapatnya tentang aplikasi yang kita buka itu. Saya suka memancingnya dengan pertanyaan agar bisa mengetahui reaksinya. Seperti, “Wah kayaknya orang ini enak sekali hidupnya ya, tiap hari jalan-jalan.”
Dan since my tween anaknya cuek, dia menjawab begini, “Mungkin itu green screen.” Dan ketika saya katakan padanya apakah dia tertarik membuat akun TikTok, ternyata dia tak menyukainya. Menurutnya TikTok terlalu toxic berisi hal-hal yang konyol dan tidak jelas.
Membuat perjanjian tentang penggunaan social media.
Ketika orangtua sudah mulai memperkenalkan social media pada anak, maka saatnya membuat sebuah perjanjian screen time dengan anak, tindakan ini sekaligus akan membantunya belajar bertanggung jawab dengan penggunaan aplikasi sebaik mungkin. Berikut ini yang saya lakukan:
- Menggunakan parental controls untuk mengatur jam penggunaan, seperti screen time akan secara otomatis shutdown ketika jam tidur tiba dan baru akan menyala esok pagi.
- Memberinya waktu screen time yang cukup tapi tidak berlebihan agar anak bisa tetap menggunakan platformnya untuk berkomunikasi dengan teman-temannya atau sekadar menghibur dirinya dengan informasi (seperti juga dikatakan di report GlobalWebIndex bahwa saat ini Gen Z menghabiskan lebih banyak waktunya di social media untuk menghabiskan waktu dan mencari konten yang menghibur, dan sharing video atau foto ada di urutan terakhir setelah “stay in touch to what my friends are doing”)
- Ada waktu tertentu saat bersama keluarga untuk saling update cerita apa saja baik dari orangtua ataupun dari anak.
Luangkan waktu untuk melakukan penyetelan pada aplikasi
Setiap aplikasi pasti punya menu penyetelan yang bisa orangtua utak-atik untuk melindungi putri kita. Tinggal cari menu “Setting” dan explore apa saja isiya. Beberapa yang bisa dilakukan seperti setting “Private Account” untuk menghindari orang asing follow (mengikuti) akun social media kita. Saya menggunakan ini untuk akun personal Krasivaya, dan secara berkala melakukan pengecekan pada followernya. Kemudian menu “Notification” juga bisa dimatikan atau dibatasi agar putri kita tidak terus-terusan terganggudengan notifikasi yang muncul. Dan satu lagi adalah, “Mute”. Mute bisa digunakan untuk meminimalisir drama pertemanan.
Baca juga: Cara Blokir YouTube di Google Chrome Biar Anak Konsentrasi Belajar
Melakukan pengecekan secara berkala.
Seperti juga sudah saya katakan di tulisan tentang manajemen screen time, maka pengecekan secara berkala harus dilakukan begitu putri kita sudah mengenal social media. Karena putri kita ada di masa-masa penuh gejolak, maka pendekatan yang baik memang harus dilakukan, karena baik orangtua dan anak sama-sama belajar tentang bagaimana menyikapi social media.
Yang sangat mungkin terjadi ketika anak kita mengalami masalah dengan social media adalah keinginan orangtua untuk langsung menghapus aplikasi karena merasa itu adalah sumber masalahnya, padahal sebenarnya bukan tak mungkin sumbernya bukan dari aktivitas onlinenya. Pada dasarnya teknologi diciptakan untuk membantu dan memudahkan manusia, sehingga siapapun termasuk orangtua harus melek teknologi dan bijak dalam mengenalkannya pada anak.
Semoga bermanfaat!
Pingback: Hobi Berkebun di Masa Pandemi | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: Cara Membagikan Foto Anak di Media Sosial Tanpa Merugikan Anak | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: Bukan Tugas Mami untuk Membuat Hidup Ini Mudah, Anakku! | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: Apa itu TikTok, Orang tua Harus Tahu Lengkap | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: 5 Rekomendasi Channel YouTube untuk Mengasah Skill Fotografi | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: Cara Agar Remaja Berhenti Main HP Saat Mengemudi | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: Tips Meredakan FOMO Syndrome Pada Remaja | Life & Travel Journal Blogger Indonesia