Kemarin waktu saya ke Periplus, saat sedang mengantri di kasir, di depan saya berdiri seorang anak perempuan chubby. Ada mamanya berdiri agak jauh. “Maaah, jangan tinggalin akuuuw,” gitu katanya waktu mamanya beranjak sebentar ke tempat adik dan papanya yang sedang main game di komputer yang disediakan di situ.
Si anak perempuan mengeluarkan dompet pink dari tasnya yang juga pink, kemudian memgambil selembar uang seratus ribu. Mengulurkan pada kasir untuk membayar pernak pernik belanjaannya yang total bayarnya sekitar 80 ribuan.
Saya refleks mengucap dalam hati, “Wah uang jajannya banyak banget.” Sempat saya berpikir, ini pasti orangtuanya terlalu berlebihan dalam memanjakan anak, tapi saya juga mencoba positive thinking. Yeah siapa tahu sebenarnya orangtuanya hanya bermaksud membiasakan anak mereka cara bertransaksi dengan uang, sekaligus juga mengajarkan bagaimana anaknya bertanggungjawab terhadap uang jajannya sendiri.
Let say, seminggu sekali mereka sekeluarga keluar jalan-jalan, berarti kemungkinannya si anak memang ada jatah minimal seratus ribu rupiah perminggu untuk belanja suka-suka. Ini diluar jajan di hari sekolah ya, karena saya tahu anak-anak SD sekarang jajannya aja bisa 20-50rb sehari. Kalah pegawai kantoran yang uang makannya hanya 10rb-15rb. 😀
Saya jadi bertanya-tanya, kira-kira apa ya yang dilakukan anak tersebut sehingga bisa dapat uang jajan gede? Apakah karena si anak berhasil menyelesaikan ujian dengan baik, maka ayahnya memberinya hadiah berupa uang? Atau mungkin itu upah buat si anak karena telah selesai memotong rumput belakang rumah?
Atau mungkin ini karakter orangtuanya saja yang terlalu memanjakan anak? Menjadikan anak sebagai simbol keberhasilan orangtua. Anak dibekali dengan uang banyak, ponsel tercanggih, apalagi kalo sekolahnya di sekolah mahal, malu kalo anak gak pake hape mahal. Bahkan ulang tahun anak juga harus mahal & mewah dengan goodie bag yang gak kalah hebohnya. (Mengingatkan saya juga agar tidak berlebihan nanti sama anak)
Bicara soal simbol keberhasilan, jadi teringat teman-teman sekolah saya dulu waktu SMA di Medan. Pulang sekolah langsung nongkrong di warung pangsit depan sekolah (sementara saya langsung pulang dan ikut bimbel), lalu buat club yang dari namanya jelas-jelas mau menunjukkan mereka anak-anak high class, tapi langsung dibredel oleh pihak sekolah yang merasa itu bullshit! Yes, saya bilang bullshit karena guru kita pun tahu tidak ada tujuan jelas dari pembentukan klub itu. Toh kita punya OSIS kan. Kemudian datang ke sekolah naik BMW bapaknya, sampai ada juga teman saya yang mogok masuk sekolah karena bapaknya belum membelikan dia mobil baru.
Call me a cynical, but… that’s true. Saya hanya orang yang suka mengatakan apa adanya.
And guess what?! Sekarang pada gak jelas kemana aja mereka semua. Cuma dua orang yang saya tahu akhirnya kerjanya beres, yang lain ancur lebur. Ada yang sudah susah payah masuk ITB malah DO, ada yang masuk DPO karena urusan narkoba, dan banyak yang jadi pengacara alias pengangguran banyak acara. Pengacara yang gak berani bersaing dengan para pelamar kerja lainnya karena gak pede, pengacara yang lebih suka berwacana saja but no action. Sampai pengacara yang inginnya kerja langsung jadi bos & bergaji tinggi karena merasa dirinya qualified, tapi sebenarnya minus pengalaman.
Seperti kata pepatah, roda hidup memang berputar. Kadang di atas kadang di bawah. Itu sebabnya saya prihatin kalo melihat anak-anak muda yang tidak memanfaatkan baik-baik fasilitas yang disediakan orangtuanya saat mereka masih dalam usia produktif. Mungkinkah, dalam hati kita yang paling dalam, kita sadar bahwa semua ini sebenarnya tidak lepas dari pola asuh orang tua?
Hmm… Mudah-mudahan saya bisa jadi orangtua yang bijaksana dan smart dalam mengasuh anak.
dulu, ak g banyak2 amat dikasi uang buat jajan…but tetep, still happy
sbaiknya jangan berprasangka buruk
lebih baik ditayain…
jadi inget jaman kuliah 300 ribu aja sebulan udah tmsk uang kos 😛