Baca postingan sebelumnya di sini: Indahnya Danau Toba Terasa Sampai Hati – Bukit Holbung Samosir
Saat saya mengedit foto dan menulis postingan ini, lagu Boru Panggoaran pun mengiringi. Teringat dulu sekali ketika papi saya menyanyikan lagu ini buat borunya. Dan tanpa sadar ada sedikit titik air di sudut mata ini. Aah.
Ho do Boruku tampuk ni ate atekki
Ho do Boruku tampuk ni pusu-pusuki
(Kaulah anak perempuanku, sandaran/harapan hatiku.
Kaulah anak perempuanku, Harapan akhirku.)
Burju-burju ma ho namarsikkola i
Asa dapot ho na sinitta ni rohami
(Baik-baiklah kau bersekolah
agar engkau mendapat/meraih yang diinginkan hatimu.)
Molo matua sogot au, ho do manarihon au
molo matinggang au inang, ho do na manogu-nogu au
(Kalau nanti aku sudah tua, Engkaulah yang mencari/memperhatikanku.
Kalau aku capek/terjatuh, kaulah yang menguatkan/menuntunku)
ai ho do borukku, boru panggoaranki
sai sahat ma da na di rohami
(Kaulah anak perempuanku, Nama Panggilanku (yang membesarkan namaku)
Semoga tercapai yang engkau inginkan.)
Sebelum melanjutkan membaca tulisan ini, putarlah lagu Boru Panggoaran dulu dari Judika. Biar terasa suasana bataknya, serasa berada di Danau Toba juga. 🙂
Alarm berbunyi. Jam empat lewat lima belas menit. Saya langsung duduk di pinggir bed. Mengumpulkan nyawa dulu, lalu beranjak ke kamar mandi. Mandi lagi? Enggaklah! Nanti saja pas sudah kelar motret.
Saya lihat roommate saya sudah ready. Sebenarnya sejak jam empat saya sudah setengah terbangun, sudah mendengar suara orang lagi mandi di kamar mandi. Kita punya kebiasaan yang berbeda. Mbak itu tidak mandi saat malam, tapi memilih mandi saat pagi saja. Lumayanlah, jadi kita tidak tunggu-tungguan giliran mandi ya.
Cuci muka, sikat gigi, pakai pelembab, bedak, lip gloss, ganti pakai celana jeans, pakai jaket dan langsung tarik tas kamera. Saatnya mengejar sunrise.
Dan begitu naik ke mobil, blek tidur lagi, hahaa..! Semua orang juga sih. Memanfaatkan waktu untuk curi-curi tidur karena perjalanan dari resort di Pangururan ke spot Tele itus kurang lebih empat puluh lima menit. Pagi itu masih gelap, tapi jalanan tidak terlalu sepi. Seperti biasa, bus dan pickup sudah mulai beraktivitas sejak pagi buta.
Begitu sampai di Menara Pandang Tele, Bang Nov dan beberapa peserta cowok turun. Mau lihat situasi dulu. Sebagian lagi stay di mobil karena jam sunrise memang masih lama.
Saya juga turun, karena mendadak kok gak enak badan. Rasanya mual dan pusing. Entah apakah karena kemarin lama duduk di mobil lalu melewati jalanan berkelok-kelok atau makanan yang gak pas makan di Tigapanah, Karo, dan mungkin juga ditambah sedang period. Yang pasti akhirnya saya tak tahan dan pergi ke belakang pos dan memaksa diri untuk memuntahkan isi perut. Gak bisa tidak, pokoknya kalau sudah ada yang namanya mual, saya sudah tahu bahwa saya harus keluarkan sumbernya, baru kemudian minum obat. Tak terbayangkan kalau ditahan-tahan dan nanti di jalan malah jackpot, malah menyusahkan orang lain.
(Dan saya sebel, kenapa sih tiap kali udah plan ngetrip selalu pas period)
Sunrise Danau Toba dari Tele Samosir
Spot Menara Pandang Tele ini memang diakui adalah tempat terbaik untuk wisatawan menikmati keindahan matahari serta daylight dengan view Danau Toba. Saya jadi ingat aturang-nya Vay, yang pernah cerita kalau Tele itu indah betul. “Cantik kalilah pokoknya pemandangannya.” Terus kita belum jadi-jadi ke sini barengan karena memang terlalu jauh dari Medan.
Tapi untuk mendapatkan foto landscape sunrise ternyata kurang perfect. Masalahnya ada pohon-pohon yang sudah bertumbuh tinggi, yang pasti akan menghalangi pemandangan nun ke depan. Kita sudah naik ke menara sampai ke lantai atas tapi ternyata masih kalah dengan ketinggian pucuk pohon. Mau turun ke bawah ngeri karena memang gak ada jalan ke bawah. Salah melangkah ya bisa langsung cusss sampai bawah, ketemu danau. Hehe…
“Dulu gak kayak gini pohon-pohonnya. Kok jadi tinggi banget ya.”
(Ya namanya juga pohon bertumbuh botou, ya tinggilah dia hahaha..)
Jadi akhirnya kami putuskan untuk pindah tempat. Ke spot di tepi jalan dekat tebing yang kemarin kami lewati saat mau ke Bukit Holbung. Tidak terlalu jauh dari situ. Ya sekitar sepuluh menitanlah.
“Yang merah jangan sampai lolos!”
Driver menurunkan kami tepat di lokasi sebelum dia berlalu untuk mencari putaran dan parkir. Nah, pendar merah sudah mulai terlihat sedikit. Semua berpencar mencari posisi. Spot ini letaknya pas di sisi jalan, berdampingan langsung dengan jurang, jadi memang harus ekstra hati-hati melangkah.
Lucky me (since kita semua kompetitif :p), begitu turun langsung menemukan batu kali besar yang cukup rata untuk berdiri dan meletakkan tripod. Dan ternyata tempat itu memang bisa dipakai untuk foto in frame.
Perlahan tapi pasti, sinar keemasan matahari muncul dari balik bukit. Wow. Just wow. Tak ada yang bisa melukiskan perasaan saat itu. Entahlah. Namun, bagaimana ketika matahari terbit (dan terbenam) selalu bisa membuat hati ini seakan mau pecah karena terlalu penuh oleh rasa kagum dan syukur. Bersyukur akan setiap hari baru yang diberikan.
Tak lama, beberapa mobil pribadi yang lewat pun berhenti, ikut parkir di tepi. Segarnya udara pagi ditambah pemandangan indah, siapa sih yang sanggup skip? Inilah surga kecil di dunia.
“Watching sunrise is the best way to lift your mood.”
Ternyata benar dugaan saya dan sebagian besar landscaper. Pergi ikutan trip botou Saragih dan Bang Nov pasti cetar. Sepertinya matahari dan langit sudah jadi teman baiknya si botou, begitu melihat idolanya datang langsung gak sabar mau keluar. Bersinar. Biar bagus kalau difoto.
Tele, adalah nama daerah yang berada di Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir. Bukan tempat yang bisa dicapai dengan mudah dari Medan. Perjalanan kami kemarin untuk sampai ke sini kami tempuh kurang lebih lima jam, dengan rute melewati Berastagi, Sidikalang, lalu Samosir.
Namun effort ke sini juga akan dapat pemandangan Danau Toba dari sisi yang berbeda. Lebih alami, lebih murni, tidak sepadat Danau Toba di Prapat. Prapat memang sudah terkenal sebagai destinasi wisata yang ramai dengan wisatawan dan juga kapal-kapal, tapi di sini sepi. Selain itu kita juga bisa menikmati cantiknya Gunung Pusuk Buhit yang terkenal sebagai asal muasal suku Batak, dengan bagian bawahnya terhampar pedesaan dan persawahan. Bahkan kalau kita berjalan lagi memutari sekitar Samosir ini, akan kita temukan air terjun-air terjun kecil yang mengalir.
Aah… Sungguh saya tak bisa beralih dari Danau Toba.
Dalam perjalanan kembali ke resort untuk sarapan dan beres-beres sebelum melanjutkan perjalanan, mata ini rasanya tak ingin berpaling dan berpisah dengan Danau Toba. Keindahan (dan kengerian) yang luar biasa darinya mampu membius mata yang melihatnya. Kalau biasanya saya melihatnya dari Prapat, dan suka kecewa ketika hilang pandang dalam perjalanan kembali ke Siantar, kali ini tidak. Sepanjang perjalanan, bukit dan hamparan luasnya danau memanjakan mata ini, dan saya merasa terus didampingi raja-raja penjaga Danau Toba.
Saya tak tahu dan tak peduli apakah semua merasakan hal yang sama. Yang pasti pagi itu sesuatu perlahan merayap ke dalam hati ini. Membuatnya lebih hangat.
-ZD-
Pingback: Drama Sebelum Naik Pesawat | Life & Travel Journal Blogger Indonesia