Beberapa hari lalu sebuah email masuk, dari seorang rekan kantor di Medan. Bukan dari teman yang dekat dengan saya atau pun teman dalam small circle saya juga, tapi tentu saja saya mengingatnya, karena kami pernah berada dalam departemen yang sama. Saya mengingatnya sebagai seseorang yang cukup usil atau istilah sekarang kepo ingin tahu urusan orang, dan saya juga ingat saya pasti menghadiahinya dengan kata-kata yang pedas pula.
Rekan saya ini mengucapkan selamat atas pencapaian saya di tahun lalu, dan kemudian saya menyadari bahwa ternyata sebagian teman di sana itu masih memperhatikan saya, alias masih mengikuti perkembangan, padahal saya sendiri bisa dikatakan kurang aware dengan hal-hal seperti ini. Kalau misalnya ingat, baru deh buka Facebook agak lama untuk cari tahu kabar teman-teman di sana, tapi seringnya tak sempat. Tak sempat? Iyaaaa… karena aku tertimbun berkarung-karung pekerjaan setiap hari! Mulai lebay.
But actually ya, setelah kami saling berbalas beberapa email, saya mulai merasa tertohok. Tertohok dan bertanya pada diri sendiri, seberapa jauh sebenarnya saya memperhatikan kehidupan sosial saya, menjaga silaturahmi dengan teman (dan keluarga), menjaga kualitas hidup. Karena saya seorang digital marketer, kurang lebih saya sebenarnya mempertanyakan real engagement rate saya sendiri. Apa sih yang sudah saya lakukan selama ini? Sharing dan komen di social media (sebagai bukti eksistensi diri)? Ada. Sering. Whatsapp-an di tiga empat grup setiap hari? Ada. Sering.
Tapi bukan sekadar engagement di dunia online yang dibutuhkan. Tapi real engagement. Offline. Bertemu, bertatap muka, mengobrol, tertawa, merengut, merepet. So kita bisa tahu bahwa emosi itu real, bukan fake, bukan emoticon palsu di social media.
Dan, kemarin sore, berawal dari janjian – tanpa harapan – seminggu yang lalu dengan seorang teman yang juga lama tak bersua, saya mengajak sekalian beberapa teman untuk bertemu di Gandaria City. Sesuatu yang bisa dikatakan luar biasa sih buat saya karena saya selama ini paling malas kalau diminta janjian di mall di Selatan. Tapi kan ini gak tiap hari juga, dan pas pula semuanya pada bisa datang. Bercerita, bergosip, tertawa, dan kali ini real. Tidak ada yang semu. Tidak ada emoticon palsu.
Setelah pertemuan kemarin, kami semua sepakat bahwa momen itu benar-benar quality time, dan kami harus sering-sering melakukannya. Karena berkirim pesan saja, tak akan cukup. Karena real engagement, itu hanya bisa diukur oleh hatimu, perasaanmu, dan pikiranmu.
#sebuahjanji
saling bertemu itu lebih baik, tapi kalau memang gak sempat ya surat menyurat mungkin boleh lah sebagai pengganti sementara
Wah, asyik ya bisa ketemu d dunia nyata.
Bener banget…
Ngobrol lewat pesan (aja) emang menarik, tapi kalau udah ketemu itu banyak hal yang sulit diungkapkan dari sekedar ngobrol lewat pesan..
Bener mbak. Alhamdulillah kpn hari juga sempet ketemuan sama bbrp tmn yg 17 tahun lamanya gak ketemu. Awalnya cuma saling komen di FB, lanjut WA, lanjut kopdar. Enakan tatap muka. Eh, tapi skrng krn hp pd punya kamera, kdng obrolan diselingin wefie trus upload di medsos trus sibuk balasin komeng deh hehe. Hedeehh…
Menyenangkan ya, kalau sudah ngobrol2 terus jadi ketemuan
hi mbaaa…dah lamaa ngga main ke sii. Happy happy New Year yaaa. Dan I can’t agree more, such quality time is needed to balance our life. Cheers 🙂
Makasih Mbaa
real engagement rate …
Ini istilah yang powerfull banget …
di perusahaan lama kami yang dulu … nama field marketing sudah mulai agak di tinggalkan … diganti dengan “Consumer Engagement”
Dan betul … rasanya kirim pesan lewat gawat rasanya kok tidak cukup … jika belum (sekali-sekala) bertemu langsung dan tertawa bersama
(BTW … kita belum pernah bertemu ya Zee … )(hahaha)
salam saya Zee
Iya benar kalau gak ketemu ga puas.
Eh Om, di-arrange dong, ketemuan….
Iya ketemuan dan ngobrol in person itu perlu banget ya..,