Sebuah Prolog
Ada masa-masa ketika rutinitas mulai terasa tidak menyegarkan. Bangun pagi, mengejar waktu untuk persiapan anak sekolah, mengurus kucing, olahraga sedikit, buka laptop, istirahat, buka laptop, nonton film, dan tidur. Di tengah hari-hari yang seperti diulang tanpa makna, saya mulai merasakan satu hal: aku harus pergi.
Bukan untuk pelarian, tapi untuk bernapas. Pergi ke tempat baru, ketemu orang baru, untuk mengingatkan diri sendiri bahwa dunia ini lebih luas dari screen dan to-do list.
Mencari waktu
Keinginan juga muncul karena anak saya saat ini sudah remaja, yang sedang mencari bentuknya sendiri. Masa di mana rasa sunyi dan bising ada dalam waktu yang sama. Dan karena suatu hari nanti, dia akan lebih suka pergi dengan teman-temannya, saya harus berusaha mencari waktu agar kami bisa menciptakan juga kenangan bersama.
Vietnam datang tanpa rencana. Saya hanya memilih berdasarkan negara yang belum pernah dikunjungi oleh kami. Beberapa negara lain mungkin layak dikunjungi lagi seperti Singapura, Malaysia, atau Korea, tapi saya pikir karena liburan bukanlah seperti pergi ke swalayan bisa bolak-balik jajan kapan saja, maka negara yang belum pernah dikunjungilah yang jadi pilihan. Dan tentu saja yang sesuai dengan budget.
Kami tidak ingin perjalanan yang mewah. Kami hanya ingin merasa hidup. Merasa jadi orang asing di negara orang, merasa nyasar, merasa kagum pada budaya orang, dan tentu berharap bisa makin dekat.
Saya tidak tahu sebenarnya 4-5 hari cukup atau tidak, tapi berdasarkan pengalaman traveling, pergi terlalu lama bisa jadi akan sangat melelahkan. Maka saya memilih hanya pergi 5 hari saja.
Yang penting adalah dari perjalanan Vietnam kemarin, adalah: saya ingin bisa mengingat semuanya. Bukan sekadar sebagai kenangan, tapi juga sebagai bentuk syukur, bahwa kami berdua pernah ada di sana, bersama, di waktu yang tak bisa diulang.
Maka inilah cerita kami: Vietnam Dalam Lima Hari. Saya akan menulisnya perlahan, satu hari satu cerita, sembari membongkar kembali potongan-potongan kecil yang tersimpan di sudut ruang di kepala.
Di tulisan berikutnya, saya akan mulai dari awal. Hari pertama kami menginjakkan kaki di Hanoi. Kota yang padat, panas, juga banyak suara klakson… yang menyambut kami.
Tunggu kelanjutannya, ya.
