Awal Mula Memilih Hidup Freelance
Kalau dipikir-pikir sekarang, pengalaman freelance saya saat awal-awal itu ketika mulai masuk usia kepala empat, dan ini adalah keputusan yang tidak mudah. Saat itu, saya sudah cukup lama bekerja kantoran, punya ritme yang jelas, dan tentu saja, gaji bulanan yang stabil. Tapi kerja kantoran yang bukan sebagai pegawai negeri bukan status yang aman, buat siapapun itu. Selain itu, lama-lama saya merasa semakin banyak yang hilang dari yang harusnya bisa saya rintis di luar kerja profesional.
Sebut saja kreativitas yang tertahan, tidak bebas menulis atau membuat konten yang terlalu pribadi karena bisa terkait dengan perusahaan, dan tentu saja keinginan untuk menjalani hari dengan cara saya sendiri.
Tapi setelah saya lulus dari perusahaan telko itu, lalu pindah kerja di sebuah startup, tapi kemudian – namanya juga startup – perusahaannya kolaps, saya mau gak mau harus bisa survive. Saya single parent, dan jelas tak akan ada yang bisa bantu diri kita kecuali kita sendiri, ya toh.
Keputusan itu datang tidak dalam semalam. Ada banyak diskusi dengan diri sendiri, dan tentu saja, rasa takut. Apa bisa ya hidup freelance di usia segini? Masih laku gak sih saya di era jaman digital yang pemainnya juga banyak dari generasi di bawah saya? Bagaimana kalau tidak ada klien? Bagaimana kalau penghasilannya tidak cukup? Tapi akhirnya saya beranikan diri. Saya percaya bahwa lebih baik mencoba daripada menyesal tidak pernah memulai. Sudah banyak teman yang mencoba duluan, yang diuntungkan karena mereka bukan pekerja 9 to 5 seperti saya.
Dan di sinilah saya sekarang. Sudah beberapa tahun menjalani kehidupan sebagai freelancer, dan meski jalannya tidak selalu mulus, ini adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya buat.
Tantangan Menjalani Freelance di Usia 40-an

Tidak bisa dipungkiri, usia membawa tantangan tersendiri. Di usia 40-an atas banget, kita tidak lagi semuda dulu, baik secara energi maupun mungkin juga ada yang bermasalah dalam hal adaptasi teknologi. Klien sekarang banyak datang dari generasi yang lebih muda, dan kadang saya merasa harus ekstra menyesuaikan diri dengan cara mereka bekerja dan berkomunikasi.
Bila mengenai teknologi, saya masih bisa keep up, menemukan mana yang perlu saya pakai dan perdalam dan mana yang tidak perlu. Bahkan ada banyak aturan baik yang saya bawa dari kebiasaan ketika kerja dulu ke jaman sekarang, salah satunya keteraturan.
Hal lain yang cukup menantang adalah soal validasi diri. Di awal-awal, saya sering mempertanyakan, “Masih bisakah saya bersaing di dunia kerja yang bergerak cepat ini?” Apalagi sebagai wanita di usia 40-an, terkadang kita menghadapi stigma bahwa kemampuan kita mungkin sudah mulai menurun. Padahal kenyataannya, justru pengalaman dan intuisi kita semakin tajam.
Saya juga merasakan tantangan mengatur waktu antara pekerjaan dan urusan rumah. Sebagai ibu dari remaja, perhatian saya harus terbagi. Kadang saat sedang fokus menulis atau mengerjakan proyek, ada saja hal yang membuat saya harus berhenti sejenak: baru ingat kalau harus jemput anak pulang sekolah, atau ternyata belum sempat masak untuk kita di rumah.
Namun justru dari sini saya belajar pentingnya fleksibilitas dan manajemen waktu. Pengalaman freelance wanita usia 40-an seperti saya bukan berarti lebih mudah atau lebih sulit, tapi berbeda, dan harus disesuaikan dengan fase hidup yang sedang dijalani.
Dukungan yang Membantu Saya Bertahan
Satu hal yang membuat saya tetap bertahan dan berkembang dalam dunia freelance adalah dukungan, baik dari teman dekat dan keluarga, khususnya anak saya. Anak saya cukup mengerti apa yang saya kerjakan, dan menghargai waktu dan ruang yang saya butuhkan. Itu sudah cukup besar artinya bagi saya.
Anak saya sendiri sudah mulai masuk ke dunia digital, dia juga seorang artist yang memiliki beberapa klien dari luar. Kami termasuk sering berdiskusi, khususnya soal rate. Di satu sisi, sebagai pekerja lepas yang saingannya menurut saya berjibun, saya mungkin memberikan rate dengan harga masih cukup rendah bila dibanding pekerja dari luar Indonesia, tapi anak saya di sisi lain tidak pernah mau membuat harga terlalu rendah. Kami berdua memiliki pendapat yang sama: klien bagus akan menilai dari rate. Rate yang bagus berarti kita serius dalam pekerjaan kita.
Saya juga punya beberapa teman tempat saya cerita. Hanya beberapa, karena saya memang tak punya banyak teman dekat. Tapi mereka support, dan itu menenangkan.
Selain itu, saya juga mulai aktif mencari komunitas freelancer perempuan seperti di Facebook. Ternyata banyak juga wanita usia 40-an ke atas yang memulai kembali kariernya secara mandiri. Dari mereka, saya belajar bahwa tidak ada kata terlambat untuk mengejar kehidupan yang lebih sesuai dengan nilai-nilai pribadi kita. Kami saling berbagi tips klien, dukungan moral, bahkan sekadar curhat tentang hari-hari yang berat.
Dan tentu saja, teknologi adalah teman saya. Saya tidak termasuk yang lambat dalam memahami tools baru, mungkin karena memang dari di telko sampai beberapa tahun terakhir saya memang berkecimpung banyak dengan teknologi. Beberapa kelas online, webinar dan YouTube juga membantu saya.
Pelajaran Berharga dari Hidup Freelance
Saya belajar bahwa menjadi freelancer bukan berarti harus bisa semua hal sekaligus. Di awal, saya mencoba menawarkan semua yang saya bisa, karena saya berangkat dari seorang pemain digital di telko, ott, agency, sampai sekarang. Membuat social media playbook, content strategis, mengedit video, dan yang paling saya suka adalah mengaudit SEO dan menulis konten SEO.
Tapi lambat laun, saya menyadari bahwa fokus pada kekuatan utama lebih memberi hasil yang baik daripada menyebar energi ke berbagai arah.
Saya juga belajar menerima ketidakpastian. Penghasilan freelance naik-turun. Ada bulan sibuk, ada bulan sepi. Tapi kuncinya adalah bagaimana mengelola keuangan dengan bijak, agar semuanya tetap bisa dilalui. Di titik ini, saya merasa lebih damai karena tidak tergantung pada satu sumber pendapatan.
Hal lainnya adalah tentang menjaga semangat. Tidak ada bos yang memarahi, tapi juga tidak ada yang menyemangati. Jadi saya harus bisa menciptakan sistem motivasi saya sendiri: dari secangkir kopi pagi, playlist musik favorit, sampai menulis jurnal syukur tiap minggu. Hal-hal kecil ini yang menjaga saya tetap stabil.
Saya mencoba freelance pertama dari kenalan terdekat, lalu kemudian saya join di beberapa platform freelancer.
Pengalaman freelance wanita usia 40-an sampai sekarang sudah mendekati usia 50 adalah kombinasi dari kemandirian, disiplin, dan rasa percaya diri. Tidak selalu mudah, tapi sangat mungkin dijalani dengan penuh makna.
Untuk Kalian yang Ingin Mulai, Jangan Takut Mencoba
Buat kalian yang sedang berpikir untuk memulai hidup freelance di usia 40-an, pesan saya cuma satu: jangan takut. Usia bukan penghalang, justru bisa jadi kekuatan. Kita punya bekal pengalaman, koneksi, dan cara berpikir yang matang.
Awalnya mungkin berat, banyak ragu dan khawatir. Tapi begitu dilangkahin, satu demi satu, kalian akan mulai menemukan ritme sendiri. Dan percayalah, bisa kerja dari rumah dengan waktu yang lebih fleksibel, sambil tetap berkarya dan menghasilkan, itu sungguh kepuasan tersendiri. Saya, ternyata hampir tidak pernah keluar dari rumah untuk bekerja. Kalau keluar ke kafe misalnya, saya pikir nanti saya repot kalau harus ninggalin barang-barang di meja saat ke toilet atau kalau saya mau sholat. Belum lagi kadang susah konsen juga kalau orang lagi ramai dan berisik, hahah.
Kita tidak harus mengikuti jalan yang sama seperti orang lain. Kadang, justru jalan yang sedikit belok itu membawa kita ke tempat yang lebih bahagia.
Bagi sesama pekerja lepas, poke me, kita bisa join di komunitas khusus?